Senin, 22 Juli 2013

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DI LINGKUNGAN MASTARAKAT DESA SOMBA PALIOI KECAMATAN KINDANG KABUPATEN BULUKMBA



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Bahasa menunjukkan pribadi seseorang, karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, memaki, memfitnah, mengejek atau melecehkan akan mencitrakan pribadi yang tidak berbudi. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungannya. Ada dua cara untuk dapat melakukan komunikasi, yaitu secara tertulis dan secara lisan.

Penggunaan bahasa secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan penggunaan bahasa secara lisan adalah hubungan langsung. Dalam hubungan langsung akan terjadi sebuah tuturan antar individu atau kelompok. Tuturan yang terjadi mengakibatkan adanya peristiwa tutur dan tindak tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam bentuk ujaran yang melibatkan dua pihak atau lebih, yaitu menurut penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu.

Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai tujuan. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala individual, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur merupakan dua gejala yang terjadi pada satu proses, yaitu proses komunikasi. Dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya.
Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial. Dalam penyampaian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan atau tulis maupun non verbal yang dipahami kedua belah pihak, pembicara dan lawan bicara, sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan, ungkapan implisit dan basa-basi.
Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etika dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etika yang berlaku secara baik di masyarakat tempat orang itu mengambil bagian sebagai anggotanya.
Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penelitian itu dilakukan secara seketika maupun secara konvensional. Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepada masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.
Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi demi kelancaran komunikasi.
Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi oleh norma-norma budaya, suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau disamping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Dalam hal menjalin hubungan sosial, tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya faktor-faktor linguistik yang harus dipertimbangkan oleh pembicara dan lawan bicara, namun faktor nonlinguistik juga memegang peranan penting. Seorang pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosiokultural juga harus menjadi pertimbangan.
Strategi komunikasi merupakan faktor nonlinguistik dalam proses komunikasi, disamping itu juga ada faktor lain yang sangat penting, yaitu faktor kesantunan berbahasa. Faktor kesantunan berbahasa lebih banyak terkait dengan aspek sosiokultural pemakai bahasa daripada dengan aspek kebahasaan (linguistik). Dalam proses komunikasi, pembicara dan lawan bicara tidak hanya dituntut taat pada cooperative principle (prinsip kerja sama) saja, tetapi bahkan keduanya dituntut untuk saling harus memahami, dan mengerti maksud yang diinginkan tanpa mengucapkannya secara eksplisit.
Sementara di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi merupakan desa yang baru terbentuk sehingga penulis memilih untuk melakukan penelitian tentang realisasi kesantunan berbahasa. Bahasa yang digunakan sangat bervariasi dengan latar belakang sosial penutur yang berbeda-beda.
Penulis sering mendengar bagaimana kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba dalam percakapan sehari-hari, seperti dalam percakapan berikut ini :
Ambo                          : “Saya mau pinjam cangkulta, Pak.”
H. Haro                       : “Iye kita ambilmi”!
Ambo                          : “Terima kasih banyak, Pak”
H. Haro                       : “Sama-sama.”
Ambo                          : “Mariki pale.”
H. Haro                       : “Iye.”
Berdasarkan uraian di atas dan fenomena kebahasaan yang diucapkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi, ada rasa penasaran yang kuat untuk mengetahui lebih mendalam tentang kebahasaan tersebut. Fenomena inilah yang membuat penulis sangat tertarik meneliti realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi kecamatan Kindang Kabupaten  Bulukumba.
B.       Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini akan dikaji realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Sehubungan dengan hal tersebut, masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian adalah bagaimanakah realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba?

C.      Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini tentu disesuaikan dengan rumusan masalah. Adapun tujuan penelitian yang dimaksud adalah untuk mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.

D.      Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut:
  1. Untuk kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data tentang penelitian kesantunan berbahasa.
  2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan berbahasa yang dituturkan di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi.
  3. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bacaan bagi masyarakat ilmiah khususnya dalam mengkaji tentang kesantunan berbahasa di dalam lingkungan masyarakat khususnya dalam masyarakat Desa Somba Palioi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A.      Tinjauan Pustaka
1.    Definisi Kesantunan
Fraser dalam (Gunarwan 1994:100) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”, dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser (1994:100) mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu, pertama kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran, jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini diukur berdasarkan:
a)      Apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan
b)      Apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
6

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut tatakrama. Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari- hari.
Pertama kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru,  antara  dosen dan mahasiswa,  antara  atasan dan bawahan dan   sebagainya.
Keempat kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak) dan cara bertutur (berbahasa). Santun dalam bsantun dalam berpakain misalnya menggunakan pakaian yang bagus dipandang oleh mata dan dinilai baik oleh orang lain. Santun dalam berbuat seperti tidak melakukan perbuatan yang dapat melanggar nilai-nilai kesopanan dan santun dalam hal cara bertutur, yaitu menggunakan bahasa sesuai dengan etika kesopansantunan.

2.    Kesantunan Dalam Berbahasa
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena di dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka. Kesantunan (politeness), kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa, dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut:
1.      Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2.      Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3.      Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan setelah diterapkan.
4.      Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5.      Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6.      Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri individu dalam sebuah masyarakat. Itulah perbedaaan-perbedaan tatacara berbahasa dari setiap penggguna bahasa baik bahasa Inggris, dan lain  sebagainya.
3.    Teori- Teori Kesantunan Berbahasa
a.    Teori Lakoff (1972)
Lakoff (1972:9) yang dianggap sebagai ibu teori kesantunan, menghubungkan teorinya dengan teori kerjasama dari Grice. Selain keempat teori
yang telah disebutkan diatas, Lakoff juga menambahkan beberapa prinsip yang diukur dengan parameter sosial. Dalam prinsip kesantunannya, menawarkan tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan menjadi santun. Ketiga kaidah itu adalah :
  1. Formalitas
Kaidah formalitas, dimaknai “jangan memaksa” atau “jangan angkuh”. Akibat logis dari kaidah itu adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang memaksa dan angkuh seperti ”Bodoh, percuma kau belajar,” dapat melahirkan reaksi frontal pada kejiwaan anak, yang aksesnya melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan.
  1. Ketidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. TuturanJika masih bersemangat dan ingin nilaimu baik, rajin-rajinlah belajar, sebenarnya merupakan tekanan dari si penutur (dalam konteks itu orang tua) terhadap mitra tutur (anak). Namun, tekanan itu disampaikan dengan santun karena memberikan pilihan kepada anak, sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan.
  1. Persamaan/kesekawanan
Kaidah persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain membuat mitra tutur merasa senang. Ujaran “Nilai rapormu lumayan baik, sebaik semangat belajarmu,” selain sebenarnya mengkritik juga mengajarkan kesantunan kepada anak.
Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff (1972:9) meliputi :
            1.      Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang berbeda dalam komunikasi.
            2.      Penggunaan muka (face) dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif.

b.   Teori Yuego Gu (1990)
Prinsip kesopanan Yuego Gu (1990:78) berdasar pada nilai kesantunan orang Cina yang mengaitkan kesantunan dengan norma-norma masyarakat yang bermoral. Kesantunan dalam masyarakat Cina terikat pada sanksi yang akan diberikan oleh masyarakat apabila kesantunan itu dilanggar dan bersifat perspektif   atau  lebih  dikenal  dengan kata  pandangan  ketika   berkomunikasi.
Teori kesantunan ini menekankan pada pemenuhan harapan masyarakat mengenai sikap hormat, kerendahan hati dan ketulusan. Sehingga perilaku individu disesuaikan dengan harapan tersebut. Kesantunan yang dianut di negara Cina hampir mirip dengan norma-norma sopan santun yang ada pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia juga masih menjunjung nilai kesantunan. Terutama di daerah pedesaan dan di kota-kota kecil.
Apabila ada seseorang yang melanggar norma maka orang tersebut juga akan mendapat sanksi dari masyarakat. Sanksi yang biasa diterapkan adalah digunjingkan atau dikucilkan oleh masyarakat. Norma yang harus dipenuhi tidak hanya terbatas pada perilaku tetapi juga pada tutur kata. Apabila ada seseorang tidak santun dalam penggunaan bahasa maka orang tersebut akan dianggap tidak sopan dan akan dicap sebagai orang yang kasar dan tidak baik. Hal tersebut masih sangat terasa di kota-kota kecil dan pinggiran. Karena orang tua dan lingkungan mengajari untuk menggunakan bahasa yang santun.
Berbeda dengan lingkungan di kota besar yang masyarakatnya cenderung tak acuh dan banyak orang tua yang kurang memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Sehingga banyak anak dan remaja yang tidak mengetahui cara berbahasa Indonesia yang santun.
Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan norma-norma kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat deskriptif dalam konsep Cina limao (politeness) dan  terikat pada  ancaman sanksi moral dari  masyarakat. Sanksi moral tersebut bisa mengucilkan individu dari pergaulan dalam masyarakat karena dianggap melanggar dengan  norma-norma tatabahasa.
1.      Nosi  muka  (face) di dalam konteks Cina tidak dianggap sebagai keinginan   psikologis,   tetapi   sebagai   norma-norma   kemasyarakatan.
2.      Kesantunan    tidak     bersifat    instrumental   tetapi    bersifat   normatif.
3.      Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam jika individu gagal memenuhi standar yang ditentukan masyarakat. Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenai sikap hormat (respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus (warmth and refinment).
Ada    empat   maksim   dalam   teori   Yuego   Gu   (1990:78)  berikut   ini.
1.      Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk merendahkan diri dan meninggikan orang lain.
2.       Maksim sapaan yaitu sapalah lawan bicara anda dengan bentuk sapaan yang sesuai.
3.       Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur.
4.       Maksim kedermawanan yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan keuntungan antara penutur dan mitra tutur.

c.    Teori Pranowo (2009)
Pranowo (2009:8) mengungkapkan teori mengenai tanda-tanda komunikasi yang tidak santun. Karena komunikasi tidak santun sering kali terjadi meskipun ada banyak cara agar dapat berbahasa dan berkomunikasi dengan santun. Tanda-tanda tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Penutur menyatakan kritik secara langsung dan dengan kata-kata kasar. Dalam budaya Indonesia, terutama budaya Jawa selalu menekankan pada unggah-ungguh. Sehingga dalam bertutur kata dengan orang lain harus diberi penjelasan terlebih dahulu baru kemudian mengungkapkan intinya. Sehingga mitra tutur bisa mengerti dan tidak tersinggung dengan apa yang dituturkan. Apalagi jika hal itu berisi kritikan. Meskipun demikian, ada orang yang tidak menyukai hal yang tidak disampaikan secara langsung. Karena terkesan berputar-putar. Jadi lebih baik jika kritik atau tutur kata disampaikan dengan penjelasan seperlunya dan tidak bertele-tele sehingga mitra tutur tidak merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang lebih sering secara langsung mengungkapkan apa yang dipikirannya.
2.      Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur.
Seringkali terjadi perselisihan dalam berkomunikasi yang menimbulkan timbulnya emosi. Orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya maka dapat dipastikan pembicaraan akan berujung pada pertengkaran mulut. Jika demikian maka tutur kata yang dikeluarkan oleh masing-masing penutur adalah tutur kata yang tidak sopan dan cenderung kasar. Contoh paling umum yang terjadi adalah pada orang tua dan anak yang memiliki perbedaan pendapat dan pada pasangan. Untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik supaya dapat mengendalikan tutur kata yang akan diucapkan. Sehingga tidak saling menyakiti.
3.      Penutur protektif terhadap pendapatnya.
Dalam mengeluarkan pendapat, baik dalam forum formal maupun informal, ada beberapa orang yang terlalu ngotot dengan pendapatnya pribadi dan tidak bisa menerima saran, kritik atau sanggahan dari orang lain. Orang yang demikian apabila pendapatnya disanggah maka akan menunjukkan raut muka yang tidak senang dan berujung pada penggunaan tutur kata yang cenderung kasar dan tidak sopan. Meskipun banyak juga orang yang masih mampu mengendalikan emosi jika pendapatnya disanggah. Penutur dan petutur berbeda-beda cara menannggapi tentang pendapat-pendapat dalam melakukan pembicaraan atau dalam percakapan.
4.      Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dalam bertutur.
Hal ini kadang terjadi jika seseorang ingin memenangkan pendapatnya dan ingin dianggap benar mengenai pendapatnya tersebut. Kasus yang lain terjadi pada saat interogasi atau pada saat sidang. Penyidik atau pengacara biasanya memojokkan saksi atau tersangka untuk dapat mengetahui kebenarannya. Akan tetapi hal ini biasanya diikuti dengan tindakan dan tutur kata yang kasar oleh penyidik dan menimbulkan tekanan serta rasa tidak nyaman pada mitra tuturnya.
5.      Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
Hidup bermasyarakat selalu didasarkan pada asas kepercayaan. Sekali keprcayaan itu hilang maka sulit untuk membangun kembali kepercayaan tersebut bahkan akan menimbulkan rasa curiga. Contohnya terjadi pada sepasang kekasih. Apabila salah satu pihak mengkhianati kepercayaan dari pihak lain maka pihak lain tersebut akan selalu menaruh curiga. Orang tersebut tidak akan percaya dengan kata-kata pasangannya dan menanggapinya dengan sinis. Sehingga kata-kata yang dikeluarkan juga menjadi  kasar  dan sinis. Itulah yang sering terjadi ketika selalu menuduh.

d.   Teori Grice (1978)
Grice (1978:10) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus memperhatikan prinsip kerja sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus memperhatikan beberapa prinsip berikut ini:
1.      Prinsip kualitas
 Jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasi yang diberikan harus didukung dengan data. Dengan dukungan data yang ada maka informasi tersebut akan lebih sah dan memang benar adanya. Sehingga lawan bicara tidak merasa tertipu. Prinsip ini sulit diterapkan dan dilanggar karena memiliki kesan sedikit kaku dan mungkin akan membatasi komunikasi antara satu orang dengan yang lainnya.
2.      Prinsip kuantitas
Artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip ini menuntut agar seseorang memberi sesuatu sesuai yang diminta oleh lawan bicara. Misalnya jika lawan bicara menginginkan diberi 1 Kg gula maka gula yang diberikan juga harus 1 Kg dan tidak dikurangi. Saat ini banyak pedagang yang melanggar prinsip kuantitas dan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan pelanggan. Hal ini dimaksudkan agar pedagang tersebut memperoleh lebih banyak keuntungan.
Saat ini cukup sulit untuk bisa menerapkan prinsip ini. Karena gaya hidup saat ini yang cukup sulit sehingga banyak orang yang bertutur kata dan memberi informasi yang terkadang kurang dan bahkan dilebih-lebihkan. Hal ini hanya dimaksudkan agar orang tersebut dipandang sebagai orang yang pintar dan untuk memperoleh keinginan pribadi. Fenomena seperti ini akan melahirkan kesombongan bagi  diri  individu karena ada kepentingan dan kebutuhan sehingga merasa  dirinya yang  paling  pintar dan  hebat  ketika   menyampaikan  informasi.
3.    Prinsip relevansi (hubungan)
Prinsip ini bermakna ketika berkomunikasi dengan orang lain maka harus relevan dan berkaitan dengan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara. Apabila dipikir dengan logika, hal ini memang benar adanya. Karena percakapan yang tidak relevan dan tidak nyambung tidak akan menghasilkan apa-apa dan malah akan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada lawan bicara. Contoh kasus yang kadang terjadi adalah apabila ada dua orang yang sedang berbicara dan ada orang lain yang hanya mendengarkan sebagian dan tiba-tiba menanggapi hal tersebut dan tanggapannya ternyata tidak relevan dengan yang dibicarakan. Kasus yang lain terjadi karena pembicara kurang jelas dalam menyampaikan apa yang ingin dibicarakan. Sehingga terkadang lawan bicara menanggapi dengan berbeda
4.      Prinsip cara
Prinsip ini berarti ketika berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain haruslah memperhatikan cara penyampaian. Tidak semua orang dapat menerima cara berbicara yang sama. Orang yang sensitif tidak bisa diajak bicara dengan kasar. Tutur kata yang digunakan juga harus dipilih agar orang tersebut tidak merasa tersinggung. Cara penyampaian informasi kepada orang yang lebih tua dan kepada orang yang sebaya atau yang lebih muda juga harus berbeda. Kepada orang yang lebih tua, cara bicara yang digunakan haruslah   penuh  dengan  rasa  hormat  dan  halus  agar  tidak   menyinggung.
Meskipun saat ini banyak anak remaja dan kaum muda yang kurang memperhatikan cara bertutur dengan orang yang lebih tua. Contoh kasusnya adalah mahasiswa yang ingin bertemu dengan dosen pembimbingnya. Seringkali mereka kurang sopan dalam menyampaikan keinginannya tersebut karena mereka menyamakan berkomunikasi dengan dosen dan berkomunikasi dengan teman. Hal ini menyebabkan banyak dosen yang merasa tersinggung dan mungkin tidak menanggapi mahasiswa tersebut. Kasus seperti ini dapat terjadi antara lain karena dengan orangtuanya sendiri mahasiswa tersebut kurang benar cara berbicara dan menganggap seperti berbicara dengan teman.
Selain keempat prinsip diatas, (Grice dalam Sukmawan, 2009:3) juga memberikan beberapa pedoman untuk memperlakukan mitra tutur yaitu sebagai berikut:
  1. Jangan memperlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur.
  2. Jangan mengatakan hal -hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.
  3. Jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
  4. Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.
  5. Maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur.
  6. Minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasa senang.
Prinsip-prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice sering kali dilanggar dan diabaikan. Hal ini dikarenakan kondisi yang memungkinkan untuk memenuhi keempat prinsip tersebut tidak selalu ada. Bahkan saat ini semakin sulit untuk ditemui. Penyebabnya karena ada keadaan atau situasi tertentu yang secara sengaja dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi prinsip tersebut. Kesantunan berbahasa menjadi hal terpenting ketika bekomunikasi khususnya dalam sebuah masyarakat tertentu. Kesantunan berbahasa ini harus berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ada agar kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat tidak mengalami pergeseran nilai.
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu objek kajian pragmatik. Pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas pemakaian bahasa di dalam proses komunikasi (Levinson, 1962:90). Oleh karena itu, teori pragmatik dinilai cocok untuk memahami masalah, menganalisis data, dan mendeskripsikan hasil analisis data tentang cara berperilaku santun berbahasa, termasuk cara berprilaku santun dalam meminimalkan paksaan penutur kepada  petutur  ketika  berkonunikasi langsung.
Austin (1996:30), mengelompokkan tindak tutur menjadi tiga, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk menyampaikan pesan  yang  pesan  penutur itu sama dengan makna leksikal atau makna  gramatikal  kata-kata  yang  digunakan  untuk  mengungkapkan  tuturan  itu,   dengan   kata  lain,  lokusi   digunakan   untuk  menyampaikan  pesan penutur  kepada  petutur secara  harfiah.  Ilokusi   adalah   tindak   tutur   yang     digunakan     untuk     menyampaikan    pesan    penutur    secara   tersirat.
Dalam ilokusi, pesan penutur tersembunyi di balik pernyataan yang harfiah. Untuk memahami pesan di dalam ilokusi, penutur perlu menghubungkan tuturan dengan konteks tuturannya. Perlokusi adalah tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk mendapatkan efek tertentu dari petutur. Teori kesantunan berbahasa banyak dipengaruhi oleh konsep muka (face) yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987:78).
Menurut Brown dan Levinson, muka mengacu kepada citra diri. Muka atau citra diri seseorang dapat jatuh. Oleh karena itu, muka perlu dijaga atau dilindungi. Agar muka tidak jatuh, muka perlu dijaga baik oleh pemilik muka itu sendiri maupun orang lain yang sedang berkomunikasi. Salah satu faktor yang berpotensi untuk menjatuhkan muka pelaku tutur adalah tindak tutur, tindak tutur perlu dilengkapi dengan peranti penyelamat muka yang berupa kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa bisa membuat muka menjadi muka positif. Sebaliknya jika tidak ada kesantunan, muka bisa berubah jadi muka negatif. Sehingga muka dikelompokkan menjadi dua, yaitu muka positif dan muka negatif.
Muka positif berupa kehendak diri untuk dinilai baik atas semua yang ada pada dirinya atau semua yang dimiliki. Muka negatif berupa kehendak diri untuk dibiarkan bebas melaksanakan apa yang dikehendaki. Perilaku yang santun adalah perilaku yang dapat memenuhi kehendak muka, baik muka positif maupun muka negatif. Karena muka yang perlu dilindungi ada dua jenis, kesantunan berbahasa pun ada dua jenis, yaitu kesantunan positif dan kesantunan negatif.
Perilaku santun berbahasa dapat dicapai dengan memilih strategi bertutur sesuai dengan tingkat keterancaman muka pelaku tutur. Tingkat keterancaman muka terutama dihitung berdasarkan dua parameter, yaitu kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). Perbedaan hubungan kekuasaan antara penutur dan petutur (perbedaan jabatan, perbedaan pangkat, perbedaan umur, dan perbedaan peran); dan perbedaan tingkat hubungan keakraban atau solidaritas antara penutur dan petutur (kualitas keakraban dalam pergaulan) akan membentuk lima konteks situasi tutur, yaitu:
1.      petutur lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya  hubungannya dengan penutur akrab;
2.      petutur lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dan hubungannya dengan penutur tidak akrab;
3.      petutur dan penutur sama usianya atau sama kedudukannya, dan hubungan keduanya akrab;
4.      penutur lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tetapi hubungannya dengan penutur akrab; dan
5.      petutur atau orang yang diajak bicara lebih muda atau lebih rendah kedudukannya dan hubungannya dengan penutur tidak akrab;

e.    Teori Leech (1993)
Leech (1993:4) dalam bukunya “From Communicative Competence to Communcative Language Pedagogy” ada enam kesantunan berbahasa dalam masyarakat yaitu kearifan/kebijaksanaan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan dan kesimpatian. Berikut ini akan diuraikan satu persatu mengenai kesantunan tersebut.
Ada enam kesantunan berbahasa di dalam lingkungan masyarakat menurut Leech (1993:4) yakni:
1) Kearifan/kebijaksanaan (Tact Maxim)
     a. Kurangi kerugian orang lain.
     b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Kedermawanan (Generosity Maxim)
     a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
     b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Pujian/Penghargan (Approbation Maxim)
     a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
     b. Tambahi pujian orang lain.
4) Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
      a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
      b. Tambahi cacian pada diri sendiri. 
5) Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
      a. Kurangi  ketidakcocokan antara diri sendiri dengan oranglain.
      b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri  dengan orang lain.
6) Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)
a. Kurangi antipati antara dir sendiri dengan orang lain.
b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.

B.       Kerangka Pikir
Salah satu tujuan penelitian ini yaitu merupakan implementasi dari tujuan mempelajari bahasa di luar linguistik  terutama dalam kajian sosiopragmatik adalah meningkatkan kesantunan berbahasa Indonesia. Peningkatan kesantunan berbahasa merupakan tanggung jawab dan amanah yang besar bagi dunia pendidikan termasuk lembaga pendidikan dan pendidik di sekolah maupun masyarakat bahasa. Lembaga pendidikan atau pihak sekolah serta masyarakat bahasa tentunya harus pandai menentukan langkah yang tepat dalam melaksanakan proses pembelajaran atau berkomunikasi.
Bahasa merupakan alat komunikasi untuk berinteraksi dalam sebuah masyarakat, tentu harus memperhatikan kesantunan dalam berbahasa. Tiap-tiap pengguna bahasa atau penutur harus mampu melihat situasi dengan siapa mereka berbicara. Bahasa yang digunakan dalam masyarakat sangat bervariasi sehingga bentuk kesantunan juga bervariasi dengan latar belakang penutur/pengguna bahasa yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, penelitian tentang realisasi kesantunan berbahasa ini bisa melihat fakta secara langsung di lapangan tentang pengguna bahasa ketika berkomunikasi. Kesantunan berbahasa mempunyai nilai moral yang tinggi dalam sebuah masyarakat.
Bahasa
Berbahasa
Realisasi
Kesantunan

Pengguna Bahasa
Temuan
 







Bagan  Kerangka Pikir Realisasi Kesantunan Berbahasa
BAB III
METODE PENELITIAN

A.      Jenis dan Variabel Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hal ini didasarkan pada data dalam penelitian ini berupa hasil percakapan dalam masyarakat. Data yang diperoleh berupa data kualitatif. Data kualitatif menunjukkan analisis kesantunan berbahasa. Selanjutnya, data tersebut dideskripsikan sesuai dengan aspek kajian yang difokuskan dalam penelitian ini realisasi kesantunan berbahasa dalam  masyarakat  Desa  Somba  Palioi  Kecamatan  Kindang  Kabupaten Bulukumba.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan  atau mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.

2.    Variabel Penelitian
24
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu realisasi kesantunan berbahasa yang bersifat deskriptif atau menggambarkan. Variabel ini bertujuan untuk mengungkap kesantunan berbahasa dalam di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba. Untuk memperjelas variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada definisi operasional variabel untuk menghindari salah penafsiran dalam  variabel  penelitian  ini  tentang  kesantunan  berbahasa dalam masyarakat.
B.       Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang akan dilakukan atau dilaksanakan. Desain penelitian ini adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini akan diuraikan desain penelitian. Desain pada penelitian ini yaitu dengan melakukan observasi terhadap bahasa yang digunakan masyarakat desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba bersifat deskriptif dan termasuk penelitian kualitatif. Meleong (1997:6), menjelaskan bahwa penelitian yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang memiliki beberapa ciri, yaitu konteks alamiah, metode kualitatif, analisis data secara induktif, bersifat deskriptif, dan beberapa kriteria khusus untuk data.
Setelah melakukan observasi, penulis akan terlibat langsung dalam percakapan (simak libat cakap) sehingga secara tidak langsung, penulis dapat memunculkan data penelitian. Untuk mendapatkan data penelitian yang lengkap, penulis akan mencatat hasil percakapan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Penelitian kualitatif ini diangkat karena bersesuaian dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan secara lengkap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba. Artinya dideskripsikan berdasarkan fakta yang ada dalam masyarakat mengenai kesantunan berbahasa ketika berkomunikasi atau dalam percakapan. Deskripsi tersebut berupa kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data yang didapat.
C.      Definisi Operasional Variabel
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda mengenai istilah penelitian ini, maka definisi dari tiap-tiap istilah adalah sebagai berikut:
  1. Realisasi kesantunan berbahasa adalah proses menjadikan bahasa yang halus, baik, dan sopan.
  2. Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional masyakarakat desa Somba Palioi karena di dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungannya.

D.      Populasi dan Sampel
1.     Populasi
Populasi disebut juga keseluruhan semesta (universe) dan dapat didefinisikan sebagai semua anggota dari suatu kesatuan orang, kejadian, atau benda yang akan kita jadikan sasaran generalisasi hasil-hasil penelitian yang dilakukan (Borg dan Gall melalui Sunarto, 1988: 64). Populasi menjadi sumber asal sampel diambil. Sugiyono (melalui Purwanto, 2008: 241), mengemukakan populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Sementara Hadjar (melalui Purwanto, 2008: 241) menyatakan bahwa populasi adalah suatu kelompok besar individu yang mempunyai karakteristik umum yang sama. Menurut Arikunto (1992:102) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis menetapkan suatu populasi, yaitu keseluruhan masyarakat desa Somba Palioi kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Jumlah dari tiap dusun yang dijadikan sebagai populasi cukup bervariasi. Mengenai keadaan populasi yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Keadaan Populasi
No
Dusun
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
Pabbontoang
173
200
373
2
Balleangin
205
210
415
3
Buhung Batua
205
400
850
Jumlah
828
810
1638
Sumber : Kantor Desa Somba Palioi Tahun 2012
Dari tabel 1 tersebut, tampak dengan jelas jumlah populasi dalam penelitian ini. Jumlah tersebut tersebar dalam tiga dusun, yaitu dusun Pabbontoang sebanyak 373 orang, dusun Balleangin sebanyak 415 orang, dusun Buhung Batua sebanyak 850 orang. Jadi, jumlah populasi secara keseluruhan adalah 1638 orang.

2.      Sampel
Sampel berarti contoh. Soenarto (melalui Purwanto, 2008: 242) menyatakan bahwa sampel adalah suatu bagian yang dipilih dengan cara tertentu untuk mewakili keseluruhan kelompok populasi. Sampel yang diambil dari populasi bukan semata-mata sebagian dari populasi, tetapi haruslah representatif, sampel diambil sebagian dari populasi dengan cara tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jumlah populasi dalam penelitian ini cukup besar. Oleh karena itu, penulis akan menarik suatu sampel penelitian yang akan menjadi sumber dalam proses pengumpulan data penelitian. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam mengumpulkan data. Penelitian ini khususnya dalam proses penarikan sampel, penulis akan menetapkan sebanyak 10 orang dari tiap dusun.
Tabel 2
 Keadaan Sampel
No
Dusun
Jumlah Penduduk
Jumlah Sampel
1
Pabbontoang
373
10
2
Balleangin
415
10
3
Buhung Batua
850
10
Jumlah
30
 Sumber: Hasil penarikan sampel
Dari tabel 2 tersebut, terlihat dengan jelas jumlah sampel yang digunakan. dalam penelitian ini adalah 30 orang yang tersebar dalam tiga dusun yakni Dusun Pabbontoang, Dusun Balleangin dan Dusun Buhung Batua. Tiap-tiap dusun sampel yang diambil sebanyak 10 (sepuluh) orang. Untuk lebih jelasnya sampel dalam penelitian ini dari tiga dusun serta nama-nama sampel yang telah ditentukan sebelumnya, dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3
Daftar Nama-Nama Sampel Dusun Pabbontoang, Dusun Balleangin dan Dusun Buhung Batua
No.
Nama
No.
Nama
No.
Nama
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pance
Hamsina
Baco
Sina
Haro
Adda
H. Asso
Supi
Asis Padawali
Tanri

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Ansar
Salo
Haro
Rosmina
Tamuddin
Salbia
Baco Kaci
Sania
Hadasin
Marda
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
H. Sulle
Sabo
Maring
Cummi
Sammang
Sanneng
Boko
Sawi
Tahir
Salpa

E.       Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, peneliti melakukan pengumpulan data dengan mengunjungi rumah warga yang sudah ditentukan dalam sampel penelitian. Tempat yang dipilih dalam meneliti, itu disesuaikan dengan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam pembahasan. Dalam mengumpulkan data, akan digunakan teknik penelitian yang disesuaikan dengan tempat penelitian yaitu teknik observasi, teknik simak libat cakap dan teknik catat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian-uraian tentang teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Teknik Observasi (Pengamatan)
Setelah data tertulis didapat, selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Melalui teknik ini penulis akan mendapatkan data tentang kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh masyarakat desa Somba Palioi kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Teknik ini digunakan untuk mengamati objek penelitian agar lebih memudahkan penulis dalam memperoleh dan mengumpulkan data.

3.    Teknik Simak Libat Cakap
Teknik penelitian ini, penulis ikut terlibat langsung dalam dialog pembicaraan, sehingga secara tidak langsung penulis terlibat memunculkan data penelitian. Data penelitian yang diteliti adalah dalam bentuk percakapan yang melibatkan penutur dan lawan tutur. Adapun petutur dan lawan tutur berasal dari tiga dusun ( Dusun Pabbontoan, Dusun Balleangin dan Dusun Buhung Batua).

3.    Teknik Catat
Teknik catat dalam penelitian bertujuan mencatat hasil dari proses percakapan dalam masyarakat kemudian ditranskripsi beserta konteks yang dituturkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Setelah itu, akan didapatkan data tentang wujud ragam bahasa yang santun yang diucapkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Data yang sudah ditranskripsi akan lebih memudahkan dalam menganalisis data tersebut. Sehingga dapat menghasilkan deskripsi dan kesimpulan yang sesuai dengan rumusan masalah.

F.       Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah dikumpulkan, penulis menggunakan tekhnik analisis deskriptif kualitatif. Hal ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam menganalisis data penelitian yang ditemukan. Dalam penelitian ini beberapa hal untuk mencapai sasaran penelitian. Hal yang dimaksud adalah:
1.      Mengidentifikasi data primer berupa data realisasi kesantunan berbahasa dalam masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
2.      Mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa berdasarkan kategorinya dengan melihat variasi dari berbahasa tersebut.
3.      Memaparkan data penelititan berupa realisasi kesantunan berbahasa yang telah diidentifikasi dengan teknik analisis deskriptif kualitatif sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya.





BAB IV
DATA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.     Data Penelitian
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pokok pembahasan yang dijadikan rumusan masalah adalah realisasi kesantuna berbahasa di lingkungan masyarakat desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Kesantunan berbahasa dikategorikan sebagai tuturan yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian data penelitian yang disesuaikan dengan rumusan masalah.
Dari hasil pengumpulan data dalam penelitian, dapat dikatakan bahwa sejumlah kesantunan berbahsa yang ditemukan dalam percakapan cukup bervariasi. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi masyarakat penutur di Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba cukup beragam atau bervariasi latar belakang kehidupannya. Ada beberapa variasi kesantunan berbahasa di lingkungan Masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba. Variasi Kesantunan  yang dimaksud meliputi:
1.      Kearifan/kebijaksanaan (Tact)
2.      Kedermawanan (Generosity)
3.      Pujian (Approbation)
4.      Kerendahan hati (Modesty)
5.      Kesepakatan (Agreement)
6.     
32
Kesimpatian (Sympath)
Tabel 4
Daftar Nama-Nama Sampel Warga Dusun Pabbontoang dan Pelaksanaan Observasi
(Kesantunan Kearifan/Kebijaksanaa dan Kedemawanan) 01 s/d 03 April 2013

No.
Nama
Kode
Percakapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pance
Hamsina
Baco
Sina
Haro
Adda
H. Asso
Supi
Asis Padawali
Tanri

01
02
03
04
05
06
07
08
09
010

1)      Mari saya bawakan buku Anda.(01)
2)      Jangan, tidak usah.(02)
3)      Pinjam saja ini cangkul.(03)
4)      Tak usah memikirkan ojek! Pakailah motorku ini.(04)
5)      Iye tidak apa-apaji, lewatmaki!(05)
6)      Saya maklumi kekuranganta.(01)
7)      Saya tidak keberatan kalau mau membantu.(02)
8)      Sudahmi, saya ambil RP. 5000,- saja.(06)
9)      Tapi Puang butuh banyak uang.(07)
10)  Ambilmi beras pembagian ini.(08)
11)  Tidak apa-apaji uang Rp. 50. 000,- ini sudah cukup buat saya.(09)
12)  Saya ikhlas sumbangkan uang ini untuk pembangunan masjid.(010)




Tabel 5
Daftar Nama-Nama Sampel Warga Dusun Balleangin dan Pelaksanaan Observasi
(Kesantunan Pujian dan Kesantunan kerendahan Hati) 04 s/d 07 April

No.
Nama
Kode
Percakapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ansar
Salo
Haro
Rosmina
Tamuddin
Salbia
Baco Kaci
Sania
Hadasin
Marda
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020

13)  Bagus sekali motorta.(011)
14)  Warna bodinya saja yang kurang menarik. Suaranya bagus sekali silong.(012)
15)  Wajah bapak jadi awek muda ini bela.(013)
16)  Bagus sekali carata memelihara sapi karena gemuk-gemuk semua.(014)
17)  Saya ikut gembira atas keberhasilanta mendapat hasil panen sawah yang bagus puang.(015)
18)  Ya, saya tidak terlalu pandai juga.(016)
19)  Ah...cuma pake motor cicilanji kodong.(017)
20)  Ya...sudah sampai di siniji kemampuanku.(018)
21)  Tidak cukup uangku untuk beli motor baru.(019)
22)  Seperti biasa saja penampilanku.(020)
Tabel 6
Daftar Nama-Nama Sampel Dusun Warga Buhung Batua dan Pelaksanaan Observasi
(Kesantunan Kesepakatan dan Kesantunan Kesimpatian) 02 s/d 06 Mei 2013

No.
Nama
Kode
Percakapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
H. Sulle
Sabo
Maring
Cummi
Sammang
Sanneng
Boko
Sawi
Tahir
Salpa
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
23)  Satu saja yang tidak setuju Daeng. Lainnya saya setuju semua.(021)
24)  Saya bisa bekerja sesuai dengan jadwal yang diberikan.(022)
25)  Saya juga bisa ikut kerja bakti hari ini.(023)
26)  Saya sangat setuju kalau diadakan pembersihan halaman rumah setiap warga.(024)
27)  Saya sepakat kalau setiap sabtu diadakan kerja bakti umum.(025)
28)  Kenapa bisa jadi begitu? Tapi saya bangga kalau kamu kecewa, karena dengan begitu berarti kamu punya semangat yang tinggi untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik.(026)
29)  Saya ikut berduka atas meninggalnya tettamu.(27)
30)  Saya turut prihatin atas kecelakaan yang menimpamu siana’.(028)
31)  Saya bangga kalau bisa bertahan dalam menghadapi hidup yang dengan penuh cobaaan ini.(029)
32)  Kenapa kaku di depan Pak Desa tapi dengan begitu kamu bisa lebih akrab dengan Pak Desa.(030)
Bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang ditemukan tersebut, cukup membuktikan bahwa dalam percakapan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang cukup beragam. Keragaman tersebut menandakan bahwa maksud atau tujuan melakukan kesantunan berbahasa juga cukup bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut dalam komunikasi. Mengenai variasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatam Kindang Kabupaten bulukumba, berikut ini diuraikan secara berurut sesuai dengan jenis data penelitian yang ditemukan.

1.     Kearifan/kebijaksanaan (Tact)
Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau memecahkan suatu masalah. Tuturan kearifan/kebijaksanaan adalah kesantunan yang sifatnya membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan membuat keuntungan sebesar mungkin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(1)   Mari saya bawakan buku Anda.(01)
(2)   Jangan tidak usah.(020
(3)   Pinjam saja ini cangkul.(03)
(4)   Tak usah memikirkan ojek! Pakailah motorku ini.(04)
(5)   Iye tidak apa-apaji, lewatmaki!(05)
(6)   Saya maklumi kekuranganta.(01)
(7)   Saya tidak keberatan kalau mau membantu.(02)
Kalimat tuturan (1) sampai dengan tuturan (5) termasuk tuturan yang bersifat kearifan/kebijaksanaan. Hal tersebut terlihat dari ciri yang ada pada kalimat tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)      Kalimat (1) ditandai oleh kesantunan tuturan yaitu meminjamkan sebuah cangkul.
b)      Kalimat (2) ditandai oleh kesantunan tuturan yaitu membuat keuntungan orang lain dengan meminjamkan motornya.
c)      Kalimat (3) ditandai kesantunan tuturan yaitu menganggap tidak ada masalah.
d)     Kalimat (4) ditandai dengan memaklumi kekurangan orang lain.
e)      Kalimat (5) ditandai kesantunan tuturan yaitu mau menerima bantuan orang lain walaupun sebenarnya dia bisa mengerjakan pekerjaannya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa ciri yang menandai kalimat (1) sampai dengan kalimat (7), sehingga dikategorikan dalam kearifan/kebijaksanaan.

2.    Kedermawanan (Generosity)
Kedermawanan adalah tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan keuntungan antara penutur dan mitra tutur. Kedermawanan adalah jenis kesantunan yang sifatnya memberi keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(8)    Sudahmi, saya ambil RP. 5000,- saja.(06)
(9)    Tapi Puang butuh banyak uang.(07)
(10)   Ambilmi beras pembagian ini.(08)
(11)    Tidak apa-apaji uang Rp. 50. 000,- ini sudah cukup buat saya.(09)
(12)    Saya ikhlas sumbangkan uang ini untuk pembangunan masjid.(010)
Kalimat tuturan (8) sampai dengan kalimat tuturan (12) termasuk kesantunan yang bersifat kedermawanan. Hal tersebut dapat dilihat dari satuan bahasa dan muatan makna yang ada dalam kalimat tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)      Kalimat (8) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu bagaimana membagi uang.
b)      Kalimat (9) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu mengambil uang RP. 500,- saja.
c)      Kalimat (10) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu memberikan beras.
d)     Kalimat (11) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu menganggap uangnya sudah cukup.
e)      Kalimat (12) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu ikhlas dalam memberikan sumbangan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa ciri yang menandai kalimat (1) sampai dengan kalimat (7), sehingga dikategorikan dalam kesantunan kedermawanan. Hal ini terlihat melalui satuan kalimat yang terdapat dalam kesantunan tersebut. Satuan kalimat yang dimaksud dapat berupa kata, kelompok kata atau frase, dan klausa. Situasi penggunaan satuan kalimat tersebut tergantung dari siapa penuturnya. Penutur ikhlas memberikan sesuatu kepada lawan tuturnya.
3.    Pujian (Approbation)
Pujian adalah kesantunan yang sifatnya memberi nilai tambah  tujuan agar orang lain tidak merasa tersinggung terhadap hal yang dimaksud. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(13)     Bagus sekali motorta.(011)
(14)     Warna bodinya saja yang kurang menarik. Suaranya bagus sekali silong.(012)
(15)     Wajah bapak jadi awek muda ini bela.(013)
(16)     Bagus sekali carata memelihara sapi karena gemuk-gemuk semua.(014)
(17)     Saya ikut gembira atas keberhasilanta mendapat hasil panen sawah yang bagus puang.(015)
Kesantunan tersebut di atas, termasuk kesantunan yang sifatnya memberikan pujian. Mengenai ciri yang menandai kesantunan tersebut, berikut ini akan diuraikan secara berurut sesuai dengan makna yang tedapat dalam kalimat tersebut.
a)      Kalimat (13) ditandai oleh pemakaian kata bagus dengan maksud memuji bahwa motornya bagus sekali.
b)      Kalimat (14) ditandai bagus sekali dengan maksud memuji bahwa suara oleh pemakaian kata gitarnya bagus.
c)      Kalimat (15) ditandai oleh  pengggunaan kata awet muda.
d)     Kalimat (16) ditandai oleh penggunaan kata bagus sekali.
e)      Kalimat (17) ditandai oleh penggunaan kata gembira. 
Uraian tersebut, menandakan bahwa kalimat (13) sampai dengan kalimat (17) termasuk kalimat kesantunan yang sifatnya memuji. Hal ini terlihat melalui satuan kalimat yang terdapat dalam kesantunan tersebut. Satuan kalimat yang dimaksud dapat berupa kata, kelompok kata atau frase, dan klausa. Situasi penggunaan satuan kalimat tersebut tergantung dari siapa penuturnya. Penutur memberikan pujian kepada lawan tuturnya dengan tetap santun agar tidak terjadi rasa   kekecewaan  baik  penutur  maupun  petutur  ketika  sedang  berkomunikasi.

4.      Kerendahan Hati ( Modesty)
Kesantunan berbahasa kerendahan hati adalah jenis kesantunan yang sifatnya tidak menyombongkan diri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(18)   Ya, saya tidak terlalu pandai juga.(016)
(19)   Ah...Cuma pake motor cicilanji kodong.(017)
(20)   Ya...sudah sampai di siniji kemampuanku bekerja.(018)
(21)   Tidak cukup uangku untuk beli motor baru.(019)
(22)   Seperti biasa saja penampilanku.(020)
Kesantunan tersebut, termasuk jenis kesantunan yang dapat dikategorikan dalam kelompok kesantunan kerendahan hati. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)      Kalimat (18) ditandai oleh pemakaian satuan kalimat cuma.
b)      Kalimat (19) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa sampai di siniji.
c)      Kalimat (20) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa tidak cukup .
d)     Kalimat (21) ditandai oleh adanya pemakaian satuan bahasa tidak cukup uangku.
e)      Kalimat (22) ditandai oleh adanya satuan bahasa seperti  biasa saja .
Uraian tersebut, menandakan bahwa kalimat (18) sampai dengan kalimat (22) termasuk kalimat kesantunan berbahasa yang sifatnya kerendahan hati. Artinya penutur tidak menyombongkan diri atau egois dan bangga. Hal ini terlihat melalui satuan kalimat yang terdapat dalam kesantunan berbahasa tersebut. Satuan kalimat    dimaksud   dapat  berupa  kata,  kelompok  kata  atau frase,  dan  klausa.

5.      Kesepakatan ( Agreement Maksim )
Ksantunan berbahasa kesepakatan adalah jenis kesantunan yang sifatnya setuju dengan sesuatu baik itu pekerjaan, usulan,  saran, ajakan dan sebabainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(23)        Satu saja yang tidak setuju Daeng. Lainnya saya setuju semua.(021)
(24)        Saya bisa bekerja sesuai dengan jadwal yang diberikan.(022)
(25)        Saya juga bisa ikut kerja bakti hari ini.(023)
(26)      Saya sangat setuju kalau diadakan pembersihan halaman rumah setiap warga.(024)
(27)        Saya sepakat kalau setiap sabtu diadakan kerja bakti umum.(025)
Kaimat kesantunan tersebut, termasuk jenis kesantunan dalam kategori kesepakatan. Hal tersebut terlihat dari muatan makna dari kalimat tersebut. Selain itu, ciri pemakaian kalimat yang teridentifikasi lewat satuan bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut. Dalam satuan kalimat tersebut ditandai dengan kata setuju dan kata sepakat. Sepakat dengan pekerjaan, ajakan, usulan, saran dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya mengenai kesepakatan dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)      Kalimat (23) ditandai oleh pemakaian ciri satuan kalimat yaitu lainnya setuju semua. Maksud dari pemakaian satuan kalimat tersebut adalah satu orang saja yang tidak setuju tapi yang lain setuju semua.
b)      Kalimat (24) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu  bisa bekerja berdasarkan . Satuan kalimat tersebut digunakan dengan maksud yaitu setuju selain dari satu hal.
c)      Kalimat (25) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu bisa bekerja. Maksud tersebut tampak dengan jelas lewat satuan bahasa saya bisa bekerja sesuai dengan waktu yang diberikan.
d)     Kalimat (26) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu saya sangat setuju. Maksudnya adalah dalam pemakaian satuan bahasa tersebut sangat setuju kalau diadakannya pembersihan di lingkungan rumah warga.
e)      Kalimat (27) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu sepakat dengan kerja bakti. Maksud dari satuan bahasa tersebut adalah adanya kesepakatan akan diadakannya kerja bakti umum.
Dari uraian di atas tentang kesantunan berbahasa dalam hal kerendahan hati, dapat dikatakan bahwa kesantunan berbahasa dalam percakapan tetap dapat teridentifikasi lewat pemakaian satuan bahasa. Pada kalimat (23) sampai dengan kalimat (27) ciri yang tampak adalah sangat setuju, setuju dan sepakat.Iitulah sebabnya sehingga jenis kesantunan ini dikatakan kesantunan kesepakatan.
Itu dapat membuktikan bahwa kesantunan berbahasa dalam hal kerendahan hati perlu dimiliki oleh setiap individu dalam suatu masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman   ketika   melakukan konunikasi antara satu dengan yang lainnya. Kesantunan dalam hal kerendahan hati sangat penting dimiliki oleh  masyarakat.

6.      Kesimpatian (Sympath)
Kesantunan berbahasa kesimpatian adalah jenis kesantunan berbahasa yang sifatnya mengurangi rasa antipati kepada orang lain sedikit mungkin. Mengenai data penelitian kesantunan berbahasa kesimpatian dapat dilihat pada kalimat berikut ini.
(28)      Kenapa bisa jadi begitu? Tapi saya bangga kalau kamu kecewa, karena           dengan begitu berarti kamu punya semangat yang tinggi untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik.(026)
(29)        Saya ikut berduka atas meninggalnya tettamu.(027)
(30)        Saya turut prihatin atas kecelakaan yang menimpamu siana’.(028)
(31)       Saya bangga kalau bisa bertahan dalam menghadapi hidup yang dengan 
   penuh cobaaan ini.(029)
(32)        Kenapa kaku di depan Pak Desa tapi dengan begitu kamu bisa lebih
akrab dengan Pak Desa.(030)
Pada tuturan kalimat (28) sampai dengan kalimat (32) tersebut termasuk kesantunan berbahasa yang sifatnya kesimpatian. Adapun ciri yang menandai kesantunan tersebut, dapat dilihat melalui maksud dari kalimat tersebut. Maksudnya yaitu memberikan rasa simpati walaupun sebenarnya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Rasa simpati itu bisa memberikan suppor dan semangat kepada lawan tutur atau lawan bicara ketika melakukan komunikasi dan saling menjaga perasaan antara penutur dan petutur tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai kesantunan dalam hal kesimpatian dapat dilihat uraian-uraian pada penjelasan berikut ini.
a)      Kalimat (28) ditandai oleh pemakaian ciri satuan bahasa yaitu bangga dan semangat. Maksud dari pemakaian satuan bahasa tersebut adalah satu orang saja yang tidak setuju tapi yang lain setuju semua.
b)      Kalimat (29) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu  bisa bekerja berdasarkan. Satuan kalimat tersebut digunakan dengan maksud yaitu setuju selain dari satu hal.
c)      Kalimat (30) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu ikut berduka cita. Maksud tersebut tampak dengan jelas lewat satuan bahasa merasa sangat simpati dan ikut berduka.
d)     Kalimat (31) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu bangga karena bisa bertahan. Maksudnya adalah dalam pemakaian satuan bahasa tersebut bangga kalau dalam menghadapi hidup masih bisa bertahan.
e)      Kalimat (32) ditandai oleh pemakaian satuan bahasa yaitu merasa bangga dengan usaha agar bisa akarab dengan Pak Desa. Maksud dari satuan bahasa tersebut adalah adanya rasa simpati agar bisa dekat dan akrab dengan Pak Desa. Simpati dimaksudkan seakan-akan orang merasa dia sendiri yang mengalami hal tersebut, walaupun secara tidak langsung merasakannya.
Dari uraian di atas tentang kesantunan berbahasa dalam hal kesimpatian, dapat dikatakan bahwa kesantunan berbahasa dalam percakapan tetap dapat teridentifikasi lewat pemakaian satuan bahasa. Pada kalimat (28) sampai dengan kalimat (32) ciri yang tampak adalah bangga, turut berduka dan turut prihatin. Rasa simpati dideskripsikan dalam masyarakat sebagai hal yang sangat penting dalam melakukan komunikasi atau berinterakasi antara anggota masyarakat atau kelompok masyarakat demi terciptanya kesantuan berbahasa  dalam  hal simpati.

B.     Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian, ditemukan sejumlah kesantunan berbahasa dalam percakapan di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi  masyarakat  penutur di Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten   Bulukumba   yang   cukup   beragam    latar  belakang kehidupannya.
Bentuk-bentuk kesantunan berbahasa tersebut termasuk dalam kategori realisasi kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tersebut mempunyai fungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan, bagaimana mewujudkan kesopanan/kesantunan  dan  saling  menghargai antar penutur dan penutur di dalam   masyarakat  Desa  Somba  Palioi Kecamatan  Kindang  Kab.  Bulukumba.
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa cukup difungsikan oleh masyarakat ketika melakukan aktivitas percakapan atau komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa kesantunan berbahasa  tersebut merupakan salah satu bagian dari kesaharian bagi anggota masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Topik-topik pembicaraan yang dimunculkan oleh anggota masyarakat    turut    mendukung   munculnya   jenis  kesantunan    berbahasa ini.
Kesantunan berbahasa yang ditemukan dalam percakapan masyarakat adalah kearifan/kebijaksanaan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan kesimpatian. Semua kesantunan berbahasa ini yang ditemukan dalam percakapan masyarakat cukup tinggi. Dikatakan demikian karena situasi dan kondisi yang memunculkan kesantunan berbahasa tersebut dalam lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba tidak dibatasi oleh penggunaan tuturan kesantunan tersebut.
Kesantunan berbahasa frekuensi pemakaiannya cukup tinggi. Hal ini didukung oleh situasi dan kondisi masyarakat dalam percakapan di lingkungan masyarakat Desa Somba Paloi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Kesantunan berbahasa ini hampir setiap saat muncul dalam beragam situasi. Hampir setiap aktivitas percakapan tersirat makna dengan berbagai macam situasi sehingga dapat dikatakan bahwa, semua jenis tersebut cukup mayoritas kemunculannya dalam komunikasi atau percakapan sehari-hari di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kab. Bulukumba.
Pada uraian di atas tampak dengan jelas bahwa realisasi kesantunan berbahasa cukup mewarnai percakapan masyarakat dalam lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan, frekuensi kemunculan kesantunan berbahasa  tersebut cukup membuktikan bahwa kesantunan berbahasa cukup dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengungkapkan pesan dan kesan, gagasan dalam percakapan. Hal ini berdasarkan realitas penggunaannya dalam masyarakat.
Semua kategori kesantunan berbahasa lazim digunakan dalam percakapan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menyertai proses komunikasi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat tersebut. Misalnya, faktor tujuan pembicaraan, topik pembicaraan, situasi pembicaraan, dan lingkungan percakapan di mana komunikasi tersebut berlangsung. Hal ini dapat dipahami dengan jelas bahwa kedua faktor tersebut saling menunjang sehingga saling kait-mengait ketika menyertai komunikasi.
Tabel 3
Frekeunsi Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Wujud Kesantunan Berbahasa
Jumlah

Kearifan/kebijaksanaan (Tact)
Kedermawanan (Generosity)
Pujian ( Approbation )
Kerndahan Hati (Modesty)
Kespakatan (Agreement)
Kesimpatian (Sympath)
7
5
5
5
5
5

Jumlah
32


Sumber : Hasil Pengumpulan Data

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan
Berdasarkan seluruh uraian tentang realisasi kesantunan berbahasa dalam percakapan di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba, dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.      Masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba umumnya santun dalam berbahasa.
2.      Wujud realisasi kesantunan berbahasa dalam percakapan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba meliputi: kearifan/kebijaksanaan, kedermawanan, pujian,  kerendahan hati, kesepakatan, dan kesimpatian. Keragaman kesantunan berbahasa tersebut cukup dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dalam percakapan, serta faktor eksternal kebahasaan (nonlinguistik), dan sistem sosial yang melatari masyarakat pemakai bahasa atau penutur tersebut.
3.     
48
Semua  kesantunan  berbahasa  dalam percakapan masyarakat Desa Somba Palioi  Kecamatan  Kindang  termasuk  kategori  kesantunan  berbahasa yang frekuensi pemakainya  cukup tinggi. Kesantunan berbahasa tersebut hampir setiap  percakapan  digunakanan  walaupun  latar  belakang sosial yang berbeda-beda. Hal ini didukung oleh situasi dan kondisi masyarakat dalam percakapan di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba.
B.       Saran
Dengan selesainya penelitian tentang realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba palioi. Penulis ingin memberikan saran-saran sebagai berikut:
1.      Dalam kajian nonlinguistik khususnya mengenai kesantunan berbahasa dalam bahasa Indonesia, diperlukan suatu pemahaman yang mendalam tentang teori yang relavan dengan masalah yang akan dikaji. Supaya lebih memudahkan dalam melakukan penelitian.
2.      Mengidentifikasikan jenis dan kategori kesantunan berbahasa  itu harus  sesuai dengan tuturan dan makna percakapan, dan wawasan kebahasaan yang dimiliki oleh pengguna bahasa/penutur itu tetap harus diasah untuk membantu dalam berkomunikasi sesuai dengan situasi dan kondisi.
3.      Bagi peminat bahasa dan sastra harus menguasai jenis dan kategori kesantunan berbahasa secara mendalam, baik melalui referensi maupun realisasi contoh-contoh yang telah ada. Hal ini bertujuan untuk membantu memahami dan mengerti tentang kesantunan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari.
4.      Kesantunan berbahasa merupakan hal terpenting dalam berkomunikasi, baik dalam situasi nonformal maupun formal, sehingga komunikasi terjalin dengan baik.
5.      Penulis berharap ada penelitian lanjutan yang lebih spesifik terhadap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten. Bulukumba, dengan kajian yang menarik sample yang lebih besar, dan teknik analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan hasil kajian yang sempurna.
6.      Seiring dengan masih jarangnya penelitian mengenai kesantunan berbahasa, maka penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para ahli bahasa. Terutama pihak yang berwenang dalam bidang ini mampu memberikan bantuan demi melancarkan penelitian.
7.      Agar dalam melakukan penelitian secara langsung ke lapangan penulis diberikan kemudahan dalam mendapatkan data dari sumber yang dituju.
8.      Berharap jika ada penelitian lanjutan, peneliti selanjutnya lebih berani mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan, tidak terpaku pada apa yang dilihat dan didengarsaja.



DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 1992. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rieka Cipta.
Austin. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Timur

Brown dan Levinson. 1987. Theory of Using Language. Jakarta: PT. Balai Pustaka

Borg dan Gall. 1988. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fraser. 1994. Teori Kesantunan Berbicara dan Berbahasa. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Grice. 1978. Language. Jakarta: PT. Rineka Cipta dan Pustaka Studi Sunda.

Grice dalam Sukmawan, 2009. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka.

Gunawarman. 1994. Teori Kesantunan Berbicara dan Berbahasa. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Gu, Yuego. 1990. Language Communication . Sunda: Pustaka studi          

Lakoff. 1972. Sociology of Education. Jakarta: PT. Rineka Cipta dan Pustaka Studi Sunda.

Leech. 1993. From Communicative Competence to Communicative Language Pedagogy. London: Logman.

Levinson. 1962. Teori Pragmatik. Surabaya: PT. Usaha Nasional.

Meleong. 1997. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Pranowo. 2009. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: PT. Usaha Nasional.

Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sunarto. 1988.  Metodologi Penelitian dalamPendidikan Bahasa Suatu
Pengantar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan.
51
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar