BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa
menunjukkan pribadi seseorang, karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat
diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah
lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan
pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang
sarkasme, memaki, memfitnah, mengejek atau melecehkan akan mencitrakan pribadi
yang tidak berbudi. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk
dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungannya. Ada dua cara
untuk dapat melakukan komunikasi, yaitu secara tertulis dan secara lisan.
Penggunaan
bahasa secara tertulis merupakan hubungan tidak langsung, sedangkan penggunaan
bahasa secara lisan adalah hubungan langsung. Dalam hubungan langsung akan
terjadi sebuah tuturan antar individu atau kelompok. Tuturan yang terjadi
mengakibatkan adanya peristiwa tutur dan tindak tutur. Peristiwa tutur adalah
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam bentuk ujaran yang
melibatkan dua pihak atau lebih, yaitu menurut penutur dan lawan tutur dengan
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu.
Setiap
peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan
terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu. Tujuan kita
berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin
hubungan sosial. Dalam penyampaian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa
verbal baik lisan atau tulis maupun non verbal yang dipahami kedua belah pihak, pembicara dan
lawan bicara, sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial
dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan
ungkapan kesopanan, ungkapan implisit dan basa-basi.
Kesantunan
dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Kesantunan
memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etika dalam
pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang itu
tergambar nilai sopan santun atau nilai etika yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat orang itu mengambil bagian sebagai anggotanya.
Ketika
dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penelitian
itu dilakukan secara seketika maupun secara konvensional. Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang
ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepada masyarakat. Kesantunan berbahasa tercermin
dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.
Ketika
berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan
ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur
budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa
dalam berkomunikasi. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para
peserta komunikasi demi kelancaran komunikasi.
Tatacara
berbahasa seseorang dipengaruhi oleh norma-norma budaya, suku bangsa atau
kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah
mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah
sebabnya kita mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau
disamping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti
norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Dalam
hal menjalin hubungan sosial, tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks.
Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya faktor-faktor linguistik yang harus
dipertimbangkan oleh pembicara dan lawan bicara, namun faktor nonlinguistik juga memegang
peranan penting. Seorang pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan
pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosiokultural juga harus
menjadi pertimbangan.
Strategi komunikasi merupakan faktor nonlinguistik dalam
proses komunikasi, disamping itu juga ada faktor lain yang sangat penting, yaitu faktor kesantunan berbahasa. Faktor kesantunan berbahasa lebih banyak terkait dengan aspek
sosiokultural pemakai bahasa daripada dengan aspek kebahasaan (linguistik).
Dalam proses komunikasi, pembicara dan lawan bicara tidak hanya dituntut taat
pada cooperative principle (prinsip
kerja sama) saja, tetapi bahkan keduanya dituntut untuk saling harus memahami, dan mengerti maksud yang diinginkan
tanpa mengucapkannya secara eksplisit.
Sementara di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi merupakan desa
yang baru terbentuk sehingga penulis memilih untuk melakukan penelitian tentang
realisasi kesantunan berbahasa. Bahasa yang digunakan sangat bervariasi dengan latar belakang sosial penutur yang
berbeda-beda.
Penulis sering mendengar bagaimana kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh
masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba dalam
percakapan sehari-hari, seperti dalam percakapan berikut ini :
Ambo : “Saya mau pinjam
cangkulta, Pak.”
H. Haro :
“Iye kita ambilmi”!
Ambo :
“Terima kasih banyak, Pak”
H. Haro :
“Sama-sama.”
Ambo :
“Mariki pale.”
H. Haro :
“Iye.”
Berdasarkan uraian di atas dan fenomena kebahasaan yang
diucapkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi, ada rasa
penasaran yang kuat untuk mengetahui lebih mendalam tentang kebahasaan
tersebut. Fenomena inilah yang membuat penulis sangat tertarik meneliti realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan
oleh masyarakat Desa Somba Palioi kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba.
B.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian
ini akan dikaji realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat
Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Sehubungan dengan hal tersebut, masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian
adalah bagaimanakah realisasi
kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan
Kindang Kab. Bulukumba?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini tentu disesuaikan dengan
rumusan masalah. Adapun tujuan penelitian yang dimaksud adalah untuk mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan
Kindang Kab. Bulukumba.
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini sebagai berikut:
- Untuk kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data tentang penelitian kesantunan berbahasa.
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan berbahasa yang dituturkan di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi.
- Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bacaan bagi masyarakat ilmiah khususnya dalam mengkaji tentang kesantunan berbahasa di dalam lingkungan masyarakat khususnya dalam masyarakat Desa Somba Palioi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.
Tinjauan Pustaka
1.
Definisi Kesantunan
Fraser
dalam (Gunarwan 1994:100) mendefinisikan kesantunan adalah “property
associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any
obligation”, dengan kata lain kesantunan adalah properti yang
diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar,
si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi
kewajibannya.
Beberapa
ulasan Fraser (1994:100) mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu, pertama kesantunan itu adalah properti
atau bagian dari ujaran, jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua pendapat pendengarlah yang
menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah
ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di
telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula
sebaliknya. Ketiga kesantunan itu
dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta interaksi. Artinya, apakah
sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini diukur berdasarkan:
a)
Apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan
bicaranya dan
b)
Apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan
bicaranya itu.
6
|
Pertama kesantunan memperlihatkan sikap yang
mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika
orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan
santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat
seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun,
masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara
seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama).
Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan
nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua kesantunan sangat kontekstual, yakni
berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu
berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu
dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan
suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau
seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut
berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah
perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan
di rumah.
Ketiga kesantunan selalu bipolar, yaitu
memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang
yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan
wanita, antara murid dan guru, antara dosen dan mahasiswa, antara
atasan dan bawahan dan sebagainya.
Keempat kesantunan tercermin dalam cara
berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak) dan cara bertutur (berbahasa). Santun dalam
bsantun dalam berpakain misalnya menggunakan pakaian yang bagus dipandang oleh
mata dan dinilai baik oleh orang lain. Santun dalam berbuat seperti tidak
melakukan perbuatan yang dapat melanggar nilai-nilai kesopanan dan santun dalam
hal cara bertutur, yaitu menggunakan bahasa sesuai dengan etika
kesopansantunan.
2.
Kesantunan Dalam Berbahasa
Kesantunan
berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional penuturnya karena di dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut
menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga
keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing
peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan perkataan lain,
baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk
menjaga muka. Kesantunan (politeness),
kesopansantunan atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat.
Kesantunan
berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau
tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide
yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya
yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam
berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh
sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tatacara
berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan
komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara
berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa, dengan mengetahui tatacara berbahasa
diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi
karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal
berikut:
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu
dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya
dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran
berbicara dan pembicaraan setelah diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara
ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika
berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri
pembicaraan.
Tatacara
berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun
mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa
berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama
berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah
daging pada diri individu dalam sebuah masyarakat. Itulah perbedaaan-perbedaan tatacara
berbahasa dari setiap penggguna bahasa baik bahasa Inggris, dan lain sebagainya.
3.
Teori- Teori Kesantunan Berbahasa
a. Teori Lakoff (1972)
Lakoff
(1972:9) yang dianggap sebagai ibu teori
kesantunan, menghubungkan teorinya dengan teori kerjasama dari Grice. Selain
keempat teori
yang
telah disebutkan diatas, Lakoff juga menambahkan beberapa prinsip yang diukur dengan parameter sosial. Dalam
prinsip kesantunannya, menawarkan tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan
menjadi santun. Ketiga kaidah itu adalah :
- Formalitas
Kaidah formalitas, dimaknai “jangan memaksa” atau “jangan
angkuh”. Akibat logis dari kaidah itu adalah bahwa tuturan yang memaksa dan
angkuh merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan yang memaksa dan angkuh
seperti ”Bodoh, percuma kau belajar,” dapat melahirkan reaksi frontal pada
kejiwaan anak, yang aksesnya melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan.
- Ketidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra
tuturnya dapat menentukan pilihan. Tuturan “Jika masih bersemangat dan ingin
nilaimu baik, rajin-rajinlah belajar”, sebenarnya merupakan tekanan dari si
penutur (dalam konteks itu orang tua) terhadap mitra tutur (anak). Namun,
tekanan itu disampaikan dengan santun karena memberikan pilihan kepada
anak, sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan.
- Persamaan/kesekawanan
Kaidah
persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk bertindak seolah-olah mitra tuturnya
itu sama, atau dengan kata lain membuat mitra tutur merasa senang. Ujaran
“Nilai rapormu lumayan baik, sebaik semangat belajarmu,” selain
sebenarnya mengkritik juga mengajarkan kesantunan kepada anak.
Kesantunan
dalam berbahasa menurut Lakoff (1972:9) meliputi :
1.
Cara mengungkapkan jarak sosial dan hubungan peran yang
berbeda dalam komunikasi.
2.
Penggunaan muka (face)
dalam komunikasi, yaitu strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif.
b. Teori Yuego Gu (1990)
Prinsip
kesopanan Yuego Gu (1990:78) berdasar pada nilai kesantunan orang Cina yang mengaitkan kesantunan dengan
norma-norma masyarakat yang bermoral. Kesantunan dalam masyarakat Cina
terikat pada sanksi yang akan diberikan oleh masyarakat apabila kesantunan itu dilanggar dan bersifat perspektif atau
lebih dikenal dengan kata
pandangan ketika berkomunikasi.
Teori
kesantunan ini menekankan pada pemenuhan harapan masyarakat mengenai sikap
hormat, kerendahan hati dan ketulusan. Sehingga perilaku individu disesuaikan
dengan harapan tersebut. Kesantunan yang dianut di negara Cina hampir mirip
dengan norma-norma sopan santun yang ada pada masyarakat Indonesia. Masyarakat
Indonesia juga masih menjunjung nilai kesantunan. Terutama di daerah
pedesaan dan di kota-kota kecil.
Apabila ada seseorang yang melanggar norma maka orang
tersebut juga akan mendapat sanksi dari masyarakat. Sanksi yang biasa
diterapkan adalah digunjingkan atau dikucilkan oleh masyarakat. Norma yang
harus dipenuhi tidak hanya terbatas pada perilaku tetapi juga pada tutur kata.
Apabila ada seseorang tidak santun dalam penggunaan bahasa maka orang tersebut
akan dianggap tidak sopan dan akan dicap sebagai orang yang kasar dan tidak
baik. Hal tersebut masih sangat terasa di kota-kota kecil dan pinggiran. Karena
orang tua dan lingkungan mengajari untuk menggunakan bahasa yang santun.
Berbeda
dengan lingkungan di kota besar yang masyarakatnya cenderung tak acuh dan
banyak orang tua yang kurang memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Sehingga
banyak anak dan remaja yang tidak mengetahui cara berbahasa Indonesia yang
santun.
Berdasarkan
kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan norma-norma
kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat deskriptif dalam konsep Cina limao (politeness) dan terikat pada ancaman sanksi moral dari masyarakat. Sanksi moral tersebut bisa mengucilkan
individu dari pergaulan dalam masyarakat karena dianggap melanggar dengan norma-norma tatabahasa.
1. Nosi muka (face)
di dalam konteks Cina tidak dianggap sebagai keinginan psikologis, tetapi sebagai
norma-norma
kemasyarakatan.
2. Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif.
3. Muka tidak terancam jika keinginan
individu tidak terpenuhi, namun terancam jika individu gagal memenuhi standar yang ditentukan masyarakat. Perilaku individu harus disesuaikan
dengan harapan masyarakat mengenai sikap hormat (respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus (warmth
and refinment).
Ada empat
maksim dalam teori Yuego
Gu (1990:78) berikut ini.
1.
Maksim denigrasi diri yaitu menuntut penutur untuk
merendahkan diri dan meninggikan orang lain.
2.
Maksim sapaan yaitu sapalah lawan
bicara anda dengan bentuk sapaan yang sesuai.
3.
Maksim budi pertimbangan keuntungan nyata pada diri mitra tutur.
4.
Maksim kedermawanan yaitu tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan keuntungan antara penutur dan mitra tutur.
c.
Teori Pranowo (2009)
Pranowo
(2009:8) mengungkapkan teori mengenai
tanda-tanda komunikasi yang tidak santun. Karena komunikasi tidak santun sering
kali terjadi meskipun ada banyak cara agar dapat berbahasa dan
berkomunikasi dengan santun. Tanda-tanda tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Penutur menyatakan kritik secara
langsung dan dengan kata-kata kasar. Dalam budaya Indonesia, terutama budaya Jawa selalu menekankan pada
unggah-ungguh. Sehingga dalam bertutur kata dengan orang lain harus diberi
penjelasan terlebih dahulu baru kemudian mengungkapkan intinya. Sehingga mitra
tutur bisa mengerti dan tidak tersinggung dengan apa yang dituturkan. Apalagi
jika hal itu berisi kritikan. Meskipun demikian, ada orang yang tidak menyukai
hal yang tidak disampaikan secara langsung. Karena terkesan berputar-putar. Jadi lebih baik jika kritik
atau tutur kata disampaikan dengan penjelasan seperlunya dan tidak bertele-tele sehingga mitra tutur tidak
merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
masyarakat yang lebih sering secara langsung mengungkapkan apa yang
dipikirannya.
2. Penutur didorong rasa emosi ketika
bertutur.
Seringkali terjadi perselisihan
dalam berkomunikasi yang menimbulkan timbulnya emosi. Orang yang tidak dapat mengendalikan emosinya
maka dapat dipastikan pembicaraan akan berujung pada pertengkaran mulut. Jika
demikian maka tutur kata yang dikeluarkan oleh masing-masing penutur adalah tutur kata
yang tidak sopan dan cenderung kasar. Contoh paling umum yang terjadi
adalah pada orang tua dan anak yang memiliki perbedaan pendapat dan pada
pasangan. Untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik supaya dapat
mengendalikan tutur kata yang akan diucapkan. Sehingga tidak saling menyakiti.
3. Penutur protektif terhadap
pendapatnya.
Dalam mengeluarkan pendapat, baik dalam forum formal maupun
informal, ada beberapa orang yang terlalu ngotot dengan pendapatnya pribadi dan
tidak bisa menerima saran, kritik atau sanggahan dari orang lain.
Orang yang demikian apabila pendapatnya disanggah maka akan menunjukkan raut
muka yang tidak senang dan berujung pada penggunaan tutur kata
yang cenderung kasar dan tidak sopan. Meskipun banyak juga orang yang masih
mampu mengendalikan emosi jika pendapatnya disanggah. Penutur dan
petutur berbeda-beda cara menannggapi tentang pendapat-pendapat dalam melakukan
pembicaraan atau dalam percakapan.
4. Penutur sengaja memojokkan mitra
tutur dalam bertutur.
Hal ini kadang terjadi jika
seseorang ingin memenangkan pendapatnya dan ingin dianggap benar mengenai pendapatnya tersebut.
Kasus yang lain terjadi pada saat interogasi atau pada saat sidang. Penyidik
atau pengacara biasanya memojokkan saksi atau tersangka untuk dapat mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi hal ini biasanya diikuti dengan tindakan dan tutur
kata yang kasar oleh penyidik dan menimbulkan tekanan serta rasa tidak nyaman
pada mitra tuturnya.
5. Penutur menyampaikan tuduhan atas
dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
Hidup bermasyarakat selalu
didasarkan pada asas kepercayaan. Sekali keprcayaan itu hilang maka sulit untuk
membangun kembali kepercayaan tersebut bahkan akan menimbulkan rasa curiga.
Contohnya terjadi pada sepasang kekasih. Apabila salah satu pihak mengkhianati
kepercayaan dari pihak lain maka pihak lain tersebut akan selalu menaruh
curiga. Orang tersebut tidak akan percaya dengan kata-kata pasangannya dan
menanggapinya dengan sinis. Sehingga kata-kata yang dikeluarkan juga menjadi kasar dan sinis. Itulah yang sering terjadi ketika
selalu menuduh.
d. Teori
Grice (1978)
Grice
(1978:10) mengidentifikasi bahwa komunikasi
secara santun harus memperhatikan prinsip kerja sama. Ketika berkomunikasi,
seorang penutur harus memperhatikan beberapa prinsip berikut ini:
1. Prinsip kualitas
Jika seseorang menyampaikan
informasi kepada orang lain, informasi yang diberikan harus didukung dengan
data. Dengan dukungan data yang ada maka informasi tersebut akan
lebih sah dan memang benar adanya. Sehingga lawan bicara tidak merasa
tertipu. Prinsip ini sulit diterapkan dan dilanggar karena memiliki kesan
sedikit kaku dan
mungkin akan membatasi komunikasi antara satu orang dengan yang lainnya.
2. Prinsip kuantitas
Artinya
ketika berkomunikasi dengan orang lain,
yang dikomunikasikan harus sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip ini menuntut agar
seseorang memberi sesuatu sesuai yang diminta oleh lawan bicara. Misalnya jika
lawan bicara menginginkan diberi 1 Kg gula maka gula yang diberikan juga harus
1 Kg dan tidak dikurangi. Saat ini banyak pedagang yang melanggar prinsip
kuantitas dan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa
yang dikatakan pelanggan. Hal ini dimaksudkan agar pedagang tersebut memperoleh
lebih banyak keuntungan.
Saat
ini cukup sulit untuk bisa menerapkan prinsip ini. Karena gaya hidup saat ini
yang cukup sulit sehingga banyak orang yang bertutur kata dan memberi informasi yang terkadang kurang dan bahkan
dilebih-lebihkan. Hal ini hanya dimaksudkan agar orang
tersebut dipandang sebagai orang yang pintar dan untuk memperoleh
keinginan pribadi. Fenomena seperti ini akan melahirkan kesombongan
bagi diri individu karena ada kepentingan dan kebutuhan
sehingga merasa dirinya yang paling
pintar dan hebat ketika
menyampaikan informasi.
3. Prinsip relevansi (hubungan)
Prinsip ini bermakna ketika berkomunikasi dengan orang lain
maka harus relevan dan berkaitan dengan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara. Apabila dipikir dengan logika, hal
ini memang benar adanya. Karena percakapan yang tidak relevan dan
tidak nyambung tidak akan menghasilkan apa-apa dan malah akan menimbulkan perasaan
tidak nyaman pada lawan bicara. Contoh kasus yang kadang terjadi
adalah apabila ada dua orang yang sedang berbicara dan ada orang lain
yang hanya mendengarkan sebagian dan tiba-tiba menanggapi hal tersebut dan
tanggapannya ternyata tidak relevan dengan yang dibicarakan.
Kasus yang lain terjadi karena pembicara kurang jelas dalam menyampaikan apa
yang ingin dibicarakan. Sehingga terkadang lawan bicara menanggapi dengan
berbeda
4. Prinsip cara
Prinsip
ini berarti ketika berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain haruslah
memperhatikan cara penyampaian. Tidak semua orang dapat menerima cara berbicara
yang sama. Orang yang sensitif tidak bisa diajak bicara dengan kasar. Tutur kata yang
digunakan juga harus dipilih agar orang tersebut tidak merasa
tersinggung. Cara penyampaian informasi kepada orang yang lebih tua dan kepada
orang yang sebaya atau yang lebih muda juga harus berbeda. Kepada orang yang
lebih tua, cara bicara yang digunakan haruslah penuh dengan rasa hormat dan halus
agar tidak menyinggung.
Meskipun
saat ini banyak anak remaja dan kaum muda yang kurang memperhatikan
cara bertutur dengan orang yang lebih tua. Contoh kasusnya adalah
mahasiswa yang ingin bertemu dengan dosen pembimbingnya. Seringkali mereka
kurang sopan dalam menyampaikan keinginannya tersebut karena mereka menyamakan
berkomunikasi dengan dosen dan berkomunikasi dengan teman. Hal ini menyebabkan
banyak dosen yang merasa tersinggung dan
mungkin tidak menanggapi mahasiswa tersebut. Kasus seperti ini dapat terjadi
antara lain karena dengan orangtuanya sendiri mahasiswa tersebut kurang benar
cara berbicara dan menganggap seperti berbicara dengan teman.
Selain
keempat prinsip diatas, (Grice dalam Sukmawan, 2009:3) juga memberikan beberapa pedoman untuk memperlakukan mitra
tutur yaitu sebagai berikut:
- Jangan memperlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur.
- Jangan mengatakan hal -hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur.
- Jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
- Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri.
- Maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur.
- Minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasa senang.
Prinsip-prinsip
kerja sama yang dikemukakan oleh Grice sering kali dilanggar dan
diabaikan. Hal ini dikarenakan kondisi yang memungkinkan untuk memenuhi keempat
prinsip tersebut tidak selalu ada. Bahkan saat ini semakin sulit untuk ditemui.
Penyebabnya karena ada keadaan atau situasi tertentu yang secara sengaja dilakukan oleh penutur untuk
tidak memenuhi prinsip tersebut. Kesantunan berbahasa menjadi hal terpenting ketika
bekomunikasi khususnya dalam sebuah masyarakat tertentu. Kesantunan berbahasa
ini harus berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ada agar kesantunan berbahasa
di lingkungan masyarakat tidak mengalami pergeseran nilai.
Kesantunan
berbahasa merupakan salah satu objek kajian pragmatik. Pragmatik itu sendiri
merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas pemakaian bahasa di dalam proses
komunikasi (Levinson, 1962:90). Oleh karena itu, teori pragmatik dinilai cocok untuk
memahami masalah, menganalisis data, dan mendeskripsikan hasil analisis data
tentang cara berperilaku santun berbahasa, termasuk cara berprilaku santun
dalam meminimalkan paksaan penutur kepada petutur ketika berkonunikasi langsung.
Austin
(1996:30), mengelompokkan tindak tutur
menjadi tiga, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk
menyampaikan pesan yang pesan penutur itu sama dengan makna leksikal atau
makna gramatikal kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan tuturan itu,
dengan kata lain, lokusi
digunakan
untuk menyampaikan pesan penutur kepada petutur secara harfiah. Ilokusi
adalah tindak
tutur
yang digunakan untuk
menyampaikan pesan penutur
secara tersirat.
Dalam
ilokusi, pesan penutur tersembunyi di balik pernyataan yang harfiah. Untuk
memahami pesan di dalam ilokusi, penutur perlu menghubungkan tuturan dengan
konteks tuturannya. Perlokusi
adalah tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk mendapatkan efek tertentu
dari petutur. Teori kesantunan berbahasa banyak dipengaruhi oleh konsep
muka (face) yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987:78).
Menurut
Brown dan Levinson, muka mengacu kepada citra diri. Muka atau citra diri
seseorang dapat jatuh. Oleh karena itu, muka perlu dijaga atau dilindungi. Agar
muka tidak jatuh, muka perlu dijaga baik oleh pemilik muka itu sendiri maupun
orang lain yang sedang berkomunikasi. Salah satu faktor yang berpotensi untuk
menjatuhkan muka pelaku tutur adalah tindak tutur, tindak tutur perlu
dilengkapi dengan peranti penyelamat muka yang berupa
kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa bisa membuat muka menjadi muka positif. Sebaliknya
jika tidak ada kesantunan, muka bisa berubah jadi muka negatif. Sehingga muka dikelompokkan menjadi dua, yaitu
muka positif dan muka negatif.
Muka
positif berupa kehendak diri untuk dinilai baik atas semua yang ada pada
dirinya atau semua yang dimiliki. Muka negatif berupa kehendak diri untuk
dibiarkan bebas melaksanakan apa yang dikehendaki. Perilaku yang santun adalah perilaku
yang dapat memenuhi
kehendak muka, baik muka positif maupun muka negatif. Karena muka yang perlu
dilindungi ada dua jenis, kesantunan berbahasa pun ada dua jenis, yaitu
kesantunan positif dan kesantunan negatif.
Perilaku
santun berbahasa dapat dicapai dengan memilih strategi bertutur sesuai dengan
tingkat keterancaman muka pelaku tutur. Tingkat keterancaman muka terutama
dihitung berdasarkan dua parameter, yaitu kekuasaan (power) dan
solidaritas (solidarity). Perbedaan hubungan kekuasaan antara
penutur dan petutur (perbedaan jabatan, perbedaan pangkat, perbedaan umur, dan
perbedaan peran); dan perbedaan tingkat hubungan keakraban atau solidaritas
antara penutur dan petutur (kualitas keakraban dalam pergaulan) akan membentuk lima konteks situasi
tutur, yaitu:
1.
petutur lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya hubungannya dengan penutur akrab;
2.
petutur lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dan hubungannya dengan
penutur tidak akrab;
3.
petutur dan penutur sama usianya atau sama kedudukannya, dan
hubungan keduanya akrab;
4.
penutur lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tetapi
hubungannya dengan penutur akrab; dan
5.
petutur atau orang yang diajak bicara lebih muda atau lebih
rendah kedudukannya dan hubungannya dengan penutur tidak akrab;
e.
Teori Leech
(1993)
Leech (1993:4)
dalam bukunya “From Communicative
Competence to Communcative Language Pedagogy” ada enam kesantunan berbahasa
dalam masyarakat yaitu kearifan/kebijaksanaan, kedermawanan, pujian, kerendahan
hati, kesepakatan dan kesimpatian. Berikut ini akan diuraikan satu persatu
mengenai kesantunan tersebut.
Ada enam kesantunan
berbahasa di dalam lingkungan masyarakat menurut
Leech (1993:4) yakni:
1) Kearifan/kebijaksanaan
(Tact Maxim)
a. Kurangi kerugian orang lain.
b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Kedermawanan (Generosity
Maxim)
a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Pujian/Penghargan (Approbation
Maxim)
a. Kurangi
keuntungan diri sendiri.
b. Tambahi pujian orang lain.
4)
Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
b. Tambahi cacian pada diri sendiri.
5)
Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri
dengan oranglain.
b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)
a. Kurangi antipati antara dir sendiri dengan orang lain.
b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
B.
Kerangka Pikir
Salah satu tujuan penelitian ini yaitu
merupakan implementasi
dari tujuan mempelajari bahasa di luar linguistik terutama dalam kajian sosiopragmatik adalah
meningkatkan
kesantunan berbahasa Indonesia.
Peningkatan kesantunan berbahasa merupakan tanggung jawab dan amanah yang besar
bagi dunia pendidikan termasuk lembaga pendidikan dan pendidik di sekolah maupun masyarakat bahasa. Lembaga pendidikan atau
pihak sekolah serta masyarakat bahasa
tentunya harus pandai menentukan langkah yang tepat dalam melaksanakan proses
pembelajaran atau berkomunikasi.
Bahasa merupakan alat komunikasi untuk
berinteraksi dalam sebuah masyarakat, tentu harus memperhatikan kesantunan
dalam berbahasa. Tiap-tiap pengguna bahasa atau penutur harus mampu melihat
situasi dengan siapa mereka berbicara. Bahasa yang digunakan dalam masyarakat
sangat bervariasi sehingga bentuk
kesantunan juga bervariasi dengan latar belakang penutur/pengguna bahasa yang
berbeda-beda.
Oleh karena itu, penelitian tentang
realisasi kesantunan berbahasa ini bisa melihat fakta secara langsung di
lapangan tentang pengguna bahasa ketika berkomunikasi. Kesantunan berbahasa
mempunyai nilai moral yang tinggi
dalam sebuah masyarakat.
Bahasa
|
Berbahasa
|
Realisasi
|
Kesantunan
|
Pengguna
Bahasa
|
Temuan
|
Bagan
Kerangka Pikir Realisasi
Kesantunan Berbahasa
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
dan Variabel Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hal ini didasarkan pada data
dalam penelitian ini berupa hasil percakapan dalam masyarakat. Data yang diperoleh berupa data
kualitatif. Data kualitatif menunjukkan analisis kesantunan
berbahasa.
Selanjutnya, data tersebut dideskripsikan sesuai dengan aspek kajian yang
difokuskan dalam penelitian ini realisasi kesantunan berbahasa
dalam masyarakat Desa
Somba Palioi Kecamatan
Kindang Kabupaten Bulukumba.
Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa di
lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
2.
Variabel
Penelitian
24
|
B.
Desain
Penelitian
Desain
penelitian merupakan rancangan penelitian yang akan dilakukan atau
dilaksanakan. Desain penelitian ini adalah semua proses yang diperlukan dalam
perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini akan diuraikan desain
penelitian. Desain pada penelitian ini yaitu dengan melakukan observasi
terhadap bahasa yang digunakan masyarakat desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba bersifat
deskriptif dan termasuk penelitian kualitatif. Meleong (1997:6), menjelaskan
bahwa penelitian yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang memiliki
beberapa ciri, yaitu konteks alamiah,
metode kualitatif, analisis data secara induktif, bersifat deskriptif, dan
beberapa kriteria khusus untuk data.
Setelah melakukan observasi,
penulis akan terlibat langsung dalam percakapan (simak libat cakap) sehingga
secara tidak langsung, penulis dapat memunculkan data penelitian. Untuk
mendapatkan data penelitian yang lengkap, penulis akan mencatat hasil
percakapan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Penelitian kualitatif ini diangkat
karena bersesuaian dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Selain
itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan
secara lengkap realisasi
kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan
Kindang Kabupaten Bulukumba. Artinya dideskripsikan berdasarkan fakta yang ada
dalam masyarakat mengenai kesantunan berbahasa ketika berkomunikasi atau dalam
percakapan. Deskripsi tersebut berupa kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data
yang didapat.
C.
Definisi
Operasional Variabel
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda mengenai istilah
penelitian ini, maka definisi dari tiap-tiap istilah adalah sebagai berikut:
- Realisasi kesantunan berbahasa adalah proses menjadikan bahasa yang halus, baik, dan sopan.
- Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional masyakarakat desa Somba Palioi karena di dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungannya.
D.
Populasi
dan Sampel
1.
Populasi
Populasi
disebut juga keseluruhan semesta (universe)
dan dapat didefinisikan sebagai semua anggota dari suatu kesatuan orang,
kejadian, atau benda yang akan kita jadikan sasaran generalisasi hasil-hasil
penelitian yang dilakukan (Borg dan Gall melalui Sunarto, 1988: 64). Populasi
menjadi sumber asal sampel diambil. Sugiyono (melalui Purwanto, 2008: 241),
mengemukakan populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Sementara
Hadjar (melalui Purwanto, 2008: 241) menyatakan bahwa populasi adalah suatu
kelompok besar individu yang mempunyai karakteristik umum yang sama. Menurut
Arikunto (1992:102) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam penelitian ini penulis menetapkan suatu populasi, yaitu
keseluruhan masyarakat desa Somba Palioi
kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Jumlah dari tiap dusun yang dijadikan sebagai
populasi cukup bervariasi. Mengenai keadaan populasi yang dijadikan sebagai
objek dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel
1
Keadaan
Populasi
No
|
Dusun
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
1
|
Pabbontoang
|
173
|
200
|
373
|
2
|
Balleangin
|
205
|
210
|
415
|
3
|
Buhung Batua
|
205
|
400
|
850
|
Jumlah
|
828
|
810
|
1638
|
Sumber
: Kantor Desa Somba Palioi Tahun 2012
Dari tabel 1
tersebut, tampak dengan jelas jumlah populasi dalam penelitian ini. Jumlah
tersebut tersebar dalam tiga dusun, yaitu dusun Pabbontoang
sebanyak 373 orang, dusun Balleangin
sebanyak 415 orang, dusun Buhung Batua
sebanyak 850 orang. Jadi, jumlah populasi secara keseluruhan adalah 1638 orang.
2.
Sampel
Sampel berarti
contoh. Soenarto (melalui Purwanto, 2008: 242) menyatakan bahwa sampel adalah
suatu bagian yang dipilih dengan cara tertentu untuk mewakili keseluruhan kelompok
populasi. Sampel
yang diambil dari populasi bukan semata-mata sebagian dari populasi, tetapi
haruslah representatif, sampel diambil sebagian dari populasi dengan cara
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jumlah populasi dalam penelitian ini cukup
besar. Oleh karena itu, penulis akan menarik suatu sampel penelitian yang akan menjadi sumber dalam proses pengumpulan data
penelitian. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
penulis dalam mengumpulkan data. Penelitian
ini khususnya dalam proses penarikan sampel, penulis akan menetapkan sebanyak 10 orang dari tiap dusun.
Tabel
2
Keadaan Sampel
No
|
Dusun
|
Jumlah Penduduk
|
Jumlah Sampel
|
1
|
Pabbontoang
|
373
|
10
|
2
|
Balleangin
|
415
|
10
|
3
|
Buhung Batua
|
850
|
10
|
Jumlah
|
30
|
Sumber:
Hasil penarikan sampel
Dari tabel 2
tersebut, terlihat dengan jelas jumlah sampel yang digunakan. dalam penelitian
ini adalah 30
orang yang tersebar dalam tiga dusun yakni Dusun
Pabbontoang, Dusun Balleangin dan Dusun Buhung Batua. Tiap-tiap dusun sampel yang diambil sebanyak 10 (sepuluh)
orang. Untuk lebih jelasnya sampel dalam penelitian ini dari tiga dusun serta
nama-nama sampel yang telah ditentukan sebelumnya, dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3
Daftar Nama-Nama Sampel Dusun Pabbontoang, Dusun Balleangin dan Dusun
Buhung Batua
No.
|
Nama
|
No.
|
Nama
|
No.
|
Nama
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
Pance
Hamsina
Baco
Sina
Haro
Adda
H. Asso
Supi
Asis Padawali
Tanri
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
Ansar
Salo
Haro
Rosmina
Tamuddin
Salbia
Baco Kaci
Sania
Hadasin
Marda
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
H. Sulle
Sabo
Maring
Cummi
Sammang
Sanneng
Boko
Sawi
Tahir
Salpa
|
E.
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam
proses pengumpulan data, peneliti melakukan pengumpulan data dengan mengunjungi rumah warga yang sudah ditentukan
dalam sampel penelitian. Tempat yang dipilih
dalam meneliti, itu disesuaikan dengan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam
pembahasan. Dalam mengumpulkan data, akan digunakan teknik penelitian yang
disesuaikan dengan tempat penelitian yaitu teknik observasi, teknik simak libat cakap dan
teknik catat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian-uraian tentang
teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Teknik Observasi
(Pengamatan)
Setelah data tertulis didapat,
selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Melalui
teknik ini penulis akan mendapatkan data tentang kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh masyarakat desa Somba Palioi kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Teknik
ini digunakan untuk mengamati objek penelitian agar lebih memudahkan penulis dalam memperoleh dan mengumpulkan data.
3.
Teknik
Simak Libat Cakap
Teknik
penelitian ini,
penulis ikut terlibat langsung dalam dialog pembicaraan, sehingga secara
tidak langsung penulis terlibat memunculkan data penelitian. Data penelitian
yang diteliti adalah dalam bentuk percakapan yang melibatkan penutur dan lawan
tutur. Adapun petutur dan lawan tutur berasal dari tiga dusun
( Dusun Pabbontoan, Dusun Balleangin dan Dusun Buhung Batua).
3.
Teknik Catat
Teknik catat dalam penelitian bertujuan mencatat hasil dari
proses percakapan dalam masyarakat kemudian ditranskripsi beserta konteks yang
dituturkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi
Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Setelah itu, akan didapatkan data
tentang wujud ragam bahasa yang santun yang diucapkan oleh masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Data yang
sudah ditranskripsi akan lebih memudahkan dalam menganalisis data tersebut.
Sehingga dapat menghasilkan deskripsi dan kesimpulan yang sesuai dengan rumusan
masalah.
F.
Teknik
Analisis Data
Dalam
menganalisis data yang telah dikumpulkan, penulis menggunakan tekhnik analisis
deskriptif kualitatif.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam menganalisis data penelitian
yang ditemukan. Dalam
penelitian ini beberapa hal untuk mencapai sasaran penelitian. Hal yang
dimaksud adalah:
1.
Mengidentifikasi data primer berupa data realisasi kesantunan berbahasa dalam masyarakat Desa
Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
2. Mendeskripsikan
realisasi kesantunan berbahasa
berdasarkan kategorinya dengan melihat variasi dari berbahasa tersebut.
3. Memaparkan
data penelititan berupa realisasi
kesantunan berbahasa yang telah
diidentifikasi dengan teknik analisis deskriptif kualitatif sesuai dengan rumusan masalah yang
dikemukakan sebelumnya.
DATA
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Data
Penelitian
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan
bahwa pokok pembahasan yang dijadikan rumusan masalah adalah realisasi kesantuna berbahasa di lingkungan masyarakat
desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Kesantunan berbahasa dikategorikan sebagai
tuturan yang berfungsi untuk
mengekspresikan perasaan dan
sikap. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian data penelitian yang
disesuaikan dengan rumusan masalah.
Dari
hasil pengumpulan data dalam penelitian, dapat dikatakan bahwa sejumlah kesantunan berbahsa yang
ditemukan dalam percakapan cukup bervariasi. Hal ini disebabkan oleh situasi
dan kondisi masyarakat penutur di Desa
Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba cukup
beragam atau bervariasi latar belakang
kehidupannya. Ada beberapa variasi kesantunan
berbahasa di lingkungan Masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang
Kabupaten Bulukumba. Variasi Kesantunan yang dimaksud meliputi:
1. Kearifan/kebijaksanaan (Tact)
2. Kedermawanan (Generosity)
3. Pujian (Approbation)
4. Kerendahan hati (Modesty)
5. Kesepakatan (Agreement)
6.
32
|
Tabel 4
Daftar
Nama-Nama Sampel Warga Dusun Pabbontoang dan Pelaksanaan Observasi
(Kesantunan
Kearifan/Kebijaksanaa dan Kedemawanan) 01 s/d 03 April 2013
No.
|
Nama
|
Kode
|
Percakapan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Pance
Hamsina
Baco
Sina
Haro
Adda
H. Asso
Supi
Asis Padawali
Tanri
|
01
02
03
04
05
06
07
08
09
010
|
1)
Mari saya
bawakan buku Anda.(01)
2)
Jangan, tidak usah.(02)
3)
Pinjam saja
ini cangkul.(03)
4)
Tak usah
memikirkan ojek! Pakailah motorku ini.(04)
5)
Iye tidak apa-apaji,
lewatmaki!(05)
6)
Saya maklumi
kekuranganta.(01)
7)
Saya tidak
keberatan kalau mau membantu.(02)
8)
Sudahmi,
saya ambil RP. 5000,- saja.(06)
9)
Tapi Puang
butuh banyak uang.(07)
10) Ambilmi beras pembagian ini.(08)
11) Tidak apa-apaji uang Rp. 50. 000,- ini sudah cukup buat saya.(09)
12) Saya ikhlas sumbangkan uang ini untuk pembangunan
masjid.(010)
|
Tabel 5
Daftar
Nama-Nama Sampel Warga Dusun Balleangin dan Pelaksanaan Observasi
(Kesantunan
Pujian dan Kesantunan kerendahan Hati) 04 s/d 07 April
No.
|
Nama
|
Kode
|
Percakapan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Ansar
Salo
Haro
Rosmina
Tamuddin
Salbia
Baco Kaci
Sania
Hadasin
Marda
|
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
|
13) Bagus sekali motorta.(011)
14) Warna bodinya saja yang kurang menarik. Suaranya bagus
sekali silong.(012)
15) Wajah bapak jadi awek muda ini bela.(013)
16) Bagus sekali carata memelihara sapi karena gemuk-gemuk
semua.(014)
17) Saya ikut gembira atas keberhasilanta mendapat hasil
panen sawah yang bagus puang.(015)
18) Ya, saya tidak terlalu pandai juga.(016)
19) Ah...cuma pake motor cicilanji kodong.(017)
20) Ya...sudah sampai di siniji kemampuanku.(018)
21) Tidak cukup uangku untuk beli motor baru.(019)
22) Seperti biasa saja penampilanku.(020)
|
Tabel 6
Daftar
Nama-Nama Sampel Dusun Warga Buhung Batua dan Pelaksanaan Observasi
(Kesantunan Kesepakatan dan Kesantunan Kesimpatian) 02
s/d 06 Mei 2013
No.
|
Nama
|
Kode
|
Percakapan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
H. Sulle
Sabo
Maring
Cummi
Sammang
Sanneng
Boko
Sawi
Tahir
Salpa
|
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
|
23) Satu saja yang tidak setuju Daeng. Lainnya saya setuju
semua.(021)
24) Saya bisa bekerja sesuai dengan jadwal yang diberikan.(022)
25) Saya juga bisa ikut kerja bakti hari ini.(023)
26) Saya sangat setuju kalau diadakan pembersihan halaman
rumah setiap warga.(024)
27) Saya sepakat kalau setiap sabtu diadakan kerja bakti
umum.(025)
28) Kenapa bisa jadi begitu? Tapi saya bangga kalau kamu
kecewa, karena dengan begitu berarti kamu punya semangat yang tinggi untuk
mendapat hasil yang jauh lebih baik.(026)
29) Saya ikut berduka atas meninggalnya tettamu.(27)
30) Saya turut prihatin atas kecelakaan yang menimpamu
siana’.(028)
31) Saya bangga kalau bisa bertahan dalam menghadapi hidup
yang dengan penuh cobaaan ini.(029)
32) Kenapa kaku di depan Pak Desa tapi dengan begitu kamu
bisa lebih akrab dengan Pak Desa.(030)
|
Bentuk-bentuk
kesantunan berbahasa
yang ditemukan tersebut, cukup membuktikan bahwa dalam percakapan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang
cukup beragam. Keragaman tersebut menandakan bahwa maksud atau tujuan melakukan kesantunan berbahasa
juga cukup bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut dalam
komunikasi. Mengenai variasi kesantunan
berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatam Kindang
Kabupaten bulukumba, berikut ini diuraikan secara
berurut sesuai dengan jenis data penelitian yang ditemukan.
1.
Kearifan/kebijaksanaan (Tact)
Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang
selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau
memecahkan suatu masalah. Tuturan kearifan/kebijaksanaan
adalah kesantunan yang sifatnya membuat kerugian
orang lain sekecil mungkin dan membuat keuntungan sebesar mungkin.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(1)
Mari saya bawakan buku Anda.(01)
(2)
Jangan tidak usah.(020
(3)
Pinjam saja ini cangkul.(03)
(4)
Tak usah memikirkan
ojek! Pakailah motorku ini.(04)
(5)
Iye tidak
apa-apaji, lewatmaki!(05)
(6)
Saya maklumi
kekuranganta.(01)
(7)
Saya tidak
keberatan kalau mau membantu.(02)
Kalimat
tuturan (1) sampai dengan tuturan (5)
termasuk tuturan yang bersifat kearifan/kebijaksanaan.
Hal tersebut terlihat dari ciri yang ada pada kalimat tersebut. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)
Kalimat (1) ditandai
oleh kesantunan tuturan yaitu meminjamkan sebuah cangkul.
b) Kalimat
(2) ditandai oleh kesantunan
tuturan yaitu membuat keuntungan orang lain
dengan meminjamkan motornya.
c) Kalimat (3) ditandai kesantunan tuturan yaitu menganggap
tidak ada masalah.
d) Kalimat (4) ditandai dengan memaklumi kekurangan orang
lain.
e) Kalimat (5) ditandai kesantunan tuturan yaitu mau
menerima bantuan orang lain walaupun sebenarnya dia bisa mengerjakan
pekerjaannya.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa terdapat beberapa ciri yang menandai kalimat (1) sampai
dengan kalimat (7),
sehingga dikategorikan dalam
kearifan/kebijaksanaan.
2.
Kedermawanan (Generosity)
Kedermawanan
adalah
tindak saling menjaga kesantunan atau pertimbangan keuntungan antara
penutur dan mitra tutur. Kedermawanan adalah
jenis kesantunan yang sifatnya memberi keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(8)
Sudahmi, saya ambil RP. 5000,- saja.(06)
(9)
Tapi
Puang butuh banyak uang.(07)
(10) Ambilmi beras
pembagian ini.(08)
(11)
Tidak apa-apaji uang Rp. 50. 000,- ini sudah cukup buat saya.(09)
(12)
Saya ikhlas sumbangkan uang ini untuk
pembangunan masjid.(010)
Kalimat tuturan (8) sampai dengan kalimat
tuturan (12)
termasuk kesantunan
yang bersifat kedermawanan.
Hal tersebut dapat dilihat dari satuan bahasa dan muatan makna yang ada dalam
kalimat tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)
Kalimat (8) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu bagaimana membagi uang.
b)
Kalimat (9) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu mengambil uang RP. 500,- saja.
c)
Kalimat (10) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu memberikan beras.
d)
Kalimat (11) ditandai oleh maksud kesantunan yaitu menganggap uangnya sudah cukup.
e)
Kalimat (12)
ditandai oleh maksud kesantunan yaitu ikhlas dalam memberikan sumbangan.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa ciri yang menandai kalimat (1)
sampai dengan kalimat (7),
sehingga dikategorikan dalam kesantunan
kedermawanan. Hal ini terlihat melalui satuan kalimat
yang terdapat dalam kesantunan
tersebut. Satuan kalimat yang dimaksud dapat berupa kata, kelompok kata atau
frase, dan klausa. Situasi penggunaan satuan kalimat tersebut tergantung dari siapa penuturnya. Penutur ikhlas memberikan sesuatu
kepada lawan tuturnya.
3.
Pujian (Approbation)
Pujian adalah kesantunan yang sifatnya memberi nilai tambah tujuan agar orang lain tidak merasa tersinggung
terhadap hal yang dimaksud. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian
berikut ini.
(13)
Bagus sekali
motorta.(011)
(14)
Warna bodinya saja
yang kurang menarik. Suaranya bagus sekali silong.(012)
(15)
Wajah bapak jadi
awek muda ini bela.(013)
(16)
Bagus sekali carata
memelihara sapi karena gemuk-gemuk semua.(014)
(17)
Saya ikut gembira
atas keberhasilanta mendapat hasil panen sawah yang bagus puang.(015)
Kesantunan
tersebut di atas, termasuk kesantunan yang sifatnya memberikan pujian.
Mengenai ciri yang menandai kesantunan tersebut,
berikut ini akan diuraikan secara berurut sesuai dengan makna yang tedapat
dalam kalimat tersebut.
a) Kalimat
(13) ditandai oleh
pemakaian kata bagus
dengan maksud memuji bahwa
motornya bagus sekali.
b) Kalimat
(14) ditandai bagus sekali dengan maksud memuji bahwa suara oleh pemakaian kata gitarnya bagus.
c) Kalimat (15) ditandai oleh pengggunaan kata awet muda.
d) Kalimat (16) ditandai oleh penggunaan kata bagus sekali.
e) Kalimat (17) ditandai oleh penggunaan kata gembira.
Uraian
tersebut, menandakan bahwa kalimat (13)
sampai dengan kalimat (17)
termasuk kalimat kesantunan
yang sifatnya memuji.
Hal ini terlihat melalui satuan kalimat yang terdapat dalam kesantunan tersebut.
Satuan kalimat yang dimaksud dapat berupa kata, kelompok kata atau frase, dan
klausa. Situasi penggunaan satuan kalimat tersebut tergantung dari siapa penuturnya. Penutur memberikan pujian kepada lawan
tuturnya dengan tetap santun agar tidak terjadi rasa kekecewaan
baik penutur maupun
petutur ketika sedang
berkomunikasi.
4.
Kerendahan Hati (
Modesty)
Kesantunan
berbahasa kerendahan hati adalah jenis kesantunan yang sifatnya tidak menyombongkan diri.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
(18)
Ya, saya tidak terlalu pandai juga.(016)
(19)
Ah...Cuma pake motor cicilanji kodong.(017)
(20) Ya...sudah sampai
di siniji kemampuanku bekerja.(018)
(21) Tidak cukup uangku
untuk beli motor baru.(019)
(22) Seperti biasa saja
penampilanku.(020)
Kesantunan tersebut,
termasuk jenis kesantunan
yang dapat dikategorikan dalam kelompok kesantunan
kerendahan hati. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada uraian berikut ini.
a)
Kalimat (18) ditandai oleh
pemakaian satuan kalimat cuma.
b)
Kalimat (19) ditandai oleh pemakaian
satuan bahasa sampai di siniji.
c)
Kalimat (20) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa tidak cukup .
d)
Kalimat (21)
ditandai oleh adanya pemakaian satuan bahasa tidak cukup uangku.
e)
Kalimat (22)
ditandai oleh adanya satuan bahasa seperti
biasa saja .
Uraian tersebut,
menandakan bahwa kalimat (18)
sampai dengan kalimat (22)
termasuk kalimat kesantunan
berbahasa yang sifatnya kerendahan hati. Artinya penutur tidak menyombongkan diri atau egois dan
bangga. Hal ini terlihat melalui satuan kalimat
yang terdapat dalam kesantunan
berbahasa tersebut. Satuan kalimat dimaksud dapat berupa kata, kelompok kata atau
frase, dan klausa.
5.
Kesepakatan (
Agreement Maksim )
Ksantunan berbahasa kesepakatan
adalah jenis kesantunan
yang sifatnya setuju dengan sesuatu baik itu
pekerjaan, usulan, saran, ajakan dan
sebabainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada uraian berikut ini.
(23)
Satu saja yang
tidak setuju Daeng. Lainnya saya setuju semua.(021)
(24)
Saya bisa bekerja
sesuai dengan jadwal yang diberikan.(022)
(25)
Saya juga bisa ikut
kerja bakti hari ini.(023)
(26)
Saya sangat setuju
kalau diadakan pembersihan halaman rumah setiap warga.(024)
(27)
Saya sepakat kalau
setiap sabtu diadakan kerja bakti umum.(025)
Kaimat kesantunan tersebut, termasuk
jenis kesantunan dalam kategori kesepakatan. Hal tersebut terlihat
dari muatan makna dari kalimat tersebut. Selain itu, ciri pemakaian kalimat
yang teridentifikasi lewat satuan bahasa yang terdapat dalam kalimat tersebut. Dalam satuan kalimat tersebut ditandai dengan kata setuju
dan kata sepakat. Sepakat dengan pekerjaan, ajakan, usulan, saran dan
sebagainya. Untuk lebih jelasnya mengenai kesepakatan
dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a)
Kalimat (23) ditandai oleh
pemakaian ciri satuan kalimat yaitu
lainnya setuju semua. Maksud dari pemakaian satuan
kalimat tersebut adalah satu orang saja
yang tidak setuju tapi yang lain setuju semua.
b)
Kalimat (24) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu bisa bekerja berdasarkan .
Satuan kalimat tersebut digunakan dengan maksud yaitu setuju selain dari satu hal.
c)
Kalimat (25) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu bisa bekerja.
Maksud tersebut tampak dengan jelas lewat satuan bahasa saya bisa bekerja sesuai dengan waktu yang diberikan.
d)
Kalimat (26) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu saya sangat
setuju. Maksudnya adalah dalam pemakaian satuan bahasa tersebut sangat setuju
kalau diadakannya pembersihan di lingkungan rumah warga.
e)
Kalimat (27) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu sepakat
dengan kerja bakti. Maksud dari satuan bahasa tersebut adalah adanya
kesepakatan akan diadakannya kerja bakti umum.
Dari uraian di atas
tentang kesantunan berbahasa dalam hal kerendahan hati,
dapat dikatakan bahwa kesantunan
berbahasa dalam percakapan tetap dapat
teridentifikasi lewat pemakaian satuan bahasa. Pada kalimat (23) sampai dengan kalimat
(27) ciri yang tampak
adalah sangat setuju, setuju dan sepakat.Iitulah sebabnya sehingga
jenis kesantunan ini dikatakan kesantunan kesepakatan.
Itu
dapat membuktikan bahwa kesantunan berbahasa dalam hal kerendahan hati perlu
dimiliki oleh setiap individu dalam suatu masyarakat agar tidak terjadi
kesalahpahaman ketika melakukan konunikasi antara satu dengan yang
lainnya. Kesantunan dalam hal kerendahan hati sangat penting dimiliki oleh masyarakat.
6.
Kesimpatian (Sympath)
Kesantunan
berbahasa kesimpatian adalah jenis kesantunan berbahasa
yang sifatnya mengurangi rasa antipati kepada
orang lain sedikit mungkin. Mengenai data
penelitian kesantunan berbahasa
kesimpatian dapat dilihat pada kalimat berikut ini.
(28) Kenapa bisa jadi begitu? Tapi saya bangga kalau kamu
kecewa, karena dengan begitu berarti kamu punya semangat
yang tinggi untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik.(026)
(29)
Saya ikut berduka
atas meninggalnya tettamu.(027)
(30)
Saya turut prihatin
atas kecelakaan yang menimpamu siana’.(028)
(31)
Saya
bangga kalau bisa bertahan dalam menghadapi hidup yang dengan
penuh cobaaan
ini.(029)
(32)
Kenapa kaku di
depan Pak Desa tapi dengan begitu kamu bisa lebih
akrab dengan Pak Desa.(030)
Pada tuturan kalimat (28) sampai dengan kalimat (32)
tersebut termasuk kesantunan
berbahasa yang sifatnya kesimpatian. Adapun ciri yang
menandai kesantunan
tersebut, dapat dilihat melalui maksud dari kalimat tersebut. Maksudnya yaitu memberikan rasa simpati walaupun sebenarnya hasil yang
dicapai tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Rasa
simpati itu bisa memberikan suppor dan semangat kepada lawan tutur atau lawan
bicara ketika melakukan komunikasi dan saling menjaga perasaan antara penutur
dan petutur tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai kesantunan dalam hal
kesimpatian dapat dilihat uraian-uraian pada penjelasan berikut ini.
a)
Kalimat (28) ditandai oleh
pemakaian ciri satuan bahasa
yaitu bangga dan semangat.
Maksud dari pemakaian satuan bahasa
tersebut adalah satu orang saja
yang tidak setuju tapi yang lain setuju semua.
b)
Kalimat (29) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu bisa bekerja berdasarkan.
Satuan kalimat tersebut digunakan dengan maksud yaitu setuju selain dari satu hal.
c)
Kalimat (30) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu ikut berduka
cita. Maksud tersebut tampak dengan jelas
lewat satuan bahasa merasa sangat
simpati dan ikut berduka.
d)
Kalimat (31) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu bangga karena
bisa bertahan. Maksudnya adalah dalam pemakaian satuan bahasa tersebut bangga
kalau dalam menghadapi hidup masih bisa bertahan.
e)
Kalimat (32) ditandai oleh
pemakaian satuan bahasa yaitu merasa bangga
dengan usaha agar bisa akarab dengan Pak Desa. Maksud dari satuan bahasa
tersebut adalah adanya rasa simpati agar bisa dekat dan akrab dengan Pak Desa.
Simpati dimaksudkan seakan-akan orang merasa dia sendiri yang mengalami hal
tersebut, walaupun secara tidak langsung merasakannya.
Dari
uraian di atas tentang kesantunan
berbahasa dalam hal kesimpatian, dapat dikatakan bahwa
kesantunan berbahasa
dalam percakapan tetap dapat teridentifikasi lewat pemakaian satuan bahasa.
Pada kalimat (28)
sampai dengan kalimat (32)
ciri yang tampak adalah bangga, turut
berduka dan turut prihatin. Rasa simpati dideskripsikan dalam masyarakat
sebagai hal yang sangat penting dalam melakukan komunikasi atau berinterakasi
antara anggota masyarakat atau kelompok masyarakat demi terciptanya kesantuan
berbahasa dalam hal simpati.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil
analisis data dalam penelitian, ditemukan sejumlah kesantunan berbahasa dalam
percakapan di lingkungan
masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan
Kindang Kab. Bulukumba. Hal ini disebabkan
oleh situasi dan kondisi masyarakat penutur di Desa
Somba Palioi Kecamatan Kindang Kabupaten
Bulukumba yang cukup beragam
latar belakang kehidupannya.
Bentuk-bentuk
kesantunan berbahasa tersebut
termasuk dalam kategori realisasi
kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tersebut mempunyai
fungsi untuk mengekspresikan, mengungkapkan, bagaimana mewujudkan kesopanan/kesantunan
dan saling menghargai antar penutur dan penutur di
dalam masyarakat Desa
Somba Palioi Kecamatan Kindang
Kab. Bulukumba.
Dari hasil analisis
data menunjukkan bahwa kesantunan
berbahasa cukup difungsikan oleh masyarakat
ketika melakukan aktivitas percakapan
atau komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa kesantunan berbahasa tersebut merupakan salah satu bagian dari
kesaharian bagi anggota
masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan
Kindang Kab. Bulukumba. Topik-topik
pembicaraan yang dimunculkan oleh anggota masyarakat turut mendukung munculnya jenis kesantunan
berbahasa ini.
Kesantunan
berbahasa yang ditemukan dalam percakapan
masyarakat adalah kearifan/kebijaksanaan,
kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan kesimpatian.
Semua kesantunan berbahasa ini yang ditemukan dalam
percakapan masyarakat cukup tinggi.
Dikatakan demikian karena situasi dan kondisi yang memunculkan kesantunan berbahasa
tersebut dalam lingkungan masyarakat
Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba
tidak dibatasi oleh
penggunaan tuturan kesantunan
tersebut.
Kesantunan
berbahasa frekuensi pemakaiannya cukup tinggi.
Hal ini didukung oleh situasi dan kondisi masyarakat dalam percakapan di
lingkungan masyarakat Desa Somba Paloi
Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba. Kesantunan berbahasa ini hampir setiap saat
muncul dalam beragam situasi. Hampir setiap aktivitas percakapan tersirat makna
dengan berbagai macam situasi sehingga dapat dikatakan bahwa, semua jenis tersebut cukup mayoritas
kemunculannya dalam komunikasi atau percakapan
sehari-hari di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kab. Bulukumba.
Pada uraian di atas
tampak dengan jelas bahwa realisasi
kesantunan berbahasa cukup mewarnai percakapan
masyarakat dalam lingkungan masyarakat
Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan,
frekuensi kemunculan kesantunan
berbahasa tersebut cukup membuktikan bahwa kesantunan berbahasa
cukup dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengungkapkan pesan dan kesan, gagasan
dalam percakapan. Hal ini berdasarkan
realitas penggunaannya dalam masyarakat.
Semua
kategori kesantunan berbahasa
lazim digunakan dalam percakapan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang
menyertai proses komunikasi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat tersebut.
Misalnya, faktor tujuan pembicaraan, topik pembicaraan, situasi pembicaraan,
dan lingkungan percakapan di mana komunikasi tersebut berlangsung. Hal ini
dapat dipahami dengan jelas bahwa kedua faktor tersebut saling menunjang
sehingga saling kait-mengait ketika menyertai komunikasi.
Tabel
3
Frekeunsi Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Masyarakat
Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba.
Wujud Kesantunan Berbahasa
|
Jumlah
|
|
Kearifan/kebijaksanaan (Tact)
Kedermawanan (Generosity)
Pujian ( Approbation )
Kerndahan Hati (Modesty)
Kespakatan (Agreement)
Kesimpatian (Sympath)
|
7
5
5
5
5
5
|
|
Jumlah
|
32
|
|
Sumber : Hasil Pengumpulan Data
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan seluruh
uraian tentang realisasi
kesantunan berbahasa dalam percakapan di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba,
dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.
Masyarakat
Desa Somba Palioi Kecamatan Kindang
Kab. Bulukumba umumnya santun dalam berbahasa.
2. Wujud
realisasi kesantunan berbahasa
dalam percakapan masyarakat Desa Somba
Palioi Kecamatan Kindang Kab. Bulukumba
meliputi: kearifan/kebijaksanaan,
kedermawanan, pujian, kerendahan
hati, kesepakatan, dan kesimpatian. Keragaman kesantunan berbahasa
tersebut cukup dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi
dalam percakapan, serta faktor eksternal
kebahasaan (nonlinguistik),
dan sistem sosial
yang melatari masyarakat pemakai bahasa
atau penutur tersebut.
3.
48
|
B.
Saran
Dengan
selesainya penelitian tentang realisasi
kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba palioi. Penulis
ingin memberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Dalam
kajian nonlinguistik khususnya
mengenai kesantunan berbahasa dalam
bahasa Indonesia, diperlukan suatu pemahaman yang mendalam tentang teori yang
relavan dengan masalah yang akan dikaji.
Supaya lebih memudahkan dalam melakukan penelitian.
2. Mengidentifikasikan
jenis dan kategori kesantunan
berbahasa itu harus
sesuai dengan tuturan dan makna percakapan, dan wawasan kebahasaan yang
dimiliki oleh pengguna bahasa/penutur
itu tetap harus diasah untuk membantu dalam berkomunikasi sesuai dengan situasi
dan kondisi.
3. Bagi
peminat bahasa dan sastra harus menguasai jenis dan kategori kesantunan berbahasa
secara mendalam, baik melalui referensi maupun realisasi contoh-contoh yang
telah ada. Hal ini bertujuan untuk membantu memahami dan mengerti tentang kesantunan bahasa Indonesia dalam
komunikasi sehari-hari.
4.
Kesantunan
berbahasa merupakan hal terpenting dalam berkomunikasi, baik dalam situasi
nonformal maupun formal, sehingga komunikasi terjalin dengan baik.
5. Penulis berharap ada penelitian lanjutan yang lebih spesifik terhadap
realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan masyarakat Desa Somba Palioi
Kecamatan Kindang Kabupaten. Bulukumba, dengan kajian yang menarik sample yang
lebih besar, dan teknik analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan hasil
kajian yang sempurna.
6. Seiring dengan masih jarangnya penelitian mengenai kesantunan berbahasa,
maka penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para ahli bahasa. Terutama
pihak yang berwenang dalam bidang ini mampu memberikan bantuan demi melancarkan
penelitian.
7. Agar dalam melakukan penelitian secara langsung ke lapangan penulis
diberikan kemudahan dalam mendapatkan data dari sumber yang dituju.
8. Berharap jika ada penelitian lanjutan, peneliti selanjutnya lebih berani
mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan, tidak terpaku
pada apa yang dilihat dan didengarsaja.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 1992. Prosedur Penelitian;
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rieka Cipta.
Austin.
1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Timur
Brown dan Levinson. 1987. Theory of
Using Language. Jakarta: PT. Balai
Pustaka
Borg dan Gall. 1988. Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fraser. 1994. Teori Kesantunan Berbicara dan Berbahasa. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Grice. 1978. Language.
Jakarta: PT. Rineka
Cipta dan Pustaka Studi Sunda.
Grice
dalam Sukmawan, 2009. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT. Balai Pustaka.
Gunawarman. 1994. Teori
Kesantunan Berbicara dan Berbahasa. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Gu, Yuego. 1990. Language Communication . Sunda: Pustaka studi
Lakoff. 1972. Sociology of Education.
Jakarta: PT. Rineka Cipta dan
Pustaka Studi Sunda.
Leech. 1993. From Communicative Competence to
Communicative Language Pedagogy. London: Logman.
Levinson.
1962. Teori Pragmatik. Surabaya: PT. Usaha Nasional.
Meleong.
1997. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.
Pranowo. 2009. Memahami Komunikasi
Antar Manusia. Surabaya: PT. Usaha Nasional.
Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sunarto. 1988. Metodologi
Penelitian dalamPendidikan Bahasa Suatu
Pengantar. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan.
51
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar