Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya
terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij). Kebenaran
yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia
luar dan realitas.
Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam
pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan
seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya
terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan
kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda
dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda
dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat
dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat
mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau
parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat
manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresip, manusia acapkali
dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan,
tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial.
Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas
masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti.
Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban
ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari
hingga akhir hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata
tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini.[1]
Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak
empirikal.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk
mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi
atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek
ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2] Betapa
pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan
dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang
digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah
ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak
realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga
masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris
(indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan
Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai
subordinat dari filsafat menjadi mesti adanya.
Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat
– yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus membahas
instrumen dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas
ini. Dan hal ini merupakan raison d'être pembahasan epistemologi.
Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan
filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung
untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya
adalah mungkin.[3] Walhasil, pembahasan epistemologi -sebagai
ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana
memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model
filsafat - harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.
Apa itu Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang
berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat
yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu,
ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim
(subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah
bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan
bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan
sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan
karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap
patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Masalah-masalah Filosofis; Masa Yunani dan Masa
Medieval
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang
bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan
ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan
sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan
Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat
mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan
kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang
Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud,
karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi,
tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras,
berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar
dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang
berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates,
mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan
keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible,
atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya
bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak
sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan
filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang
dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi
menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham. Mereka
menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib
merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah
ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan
metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu
berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan
mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung,
dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan
aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan
aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh
Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh
para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles
bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi menentang
keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus
dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka
berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan
dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan
beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan
konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional
dengan iman dalam sebuah sistem keyakinan integral. Aquinas mengikuti
Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan
logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat
diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam
otoritas skriptural sebagai nara sumber keyakinan agama.
Masa Plato dan Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang
secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum
menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya
yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah
tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang
epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan
dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana berikut ini,
Topik Pemikiran:
Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2
dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu) sementara dalam pandangan
Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani.
Kenyataan sejati, menurut Plato, Ide-ide berasal
dari dunia ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada
di alam bisa diindera.
Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari
badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh
badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu
kesatuan tak terpisahkan.
Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun
tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles,
kehidupan dunia dan alam nyata.
Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari
alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan
abstraksi lalu diolah dengan logika.
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini
memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato
mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead.
Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan
mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.
Rasio Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama
yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu
rasionalis vis-à-vis kubu empiris (inderawi-persepsi). Filsuf
Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza
(1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para
pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian
akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas)
yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau
axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon (
1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris
berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah
bersandar kepada pengalaman, persepsi dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris
menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini
dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat.
Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi
terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat
Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam
mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi
pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito
Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya
untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada
di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme.
Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran
dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan
jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal
yang paling utama pada manusia. Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh
filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan
tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan
dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John
Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula
rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun.
Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi.
Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi
manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera
manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi
dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai
sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia
hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu
seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu
menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah
kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia
cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka
kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian.
Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa
yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
Urgensi Epistemologi
Dunia ini penuh dengan berbagai maktab dan ideologi.
Setiap ideologi berlandaskan pada suatu "pandangan dunia", dan
"pandangan dunia" ini berpijak pada epistemologi. Dari sini manusia
mengetahui dengan jelas betapa pentingnya epistemologi. Seseorang yang memiliki
ideologi materialisme, yang tentunya ideologi itu berlandaskan pada pandangan
dunia materialis, dan pandangan ini juga berpijak pada suatu epistemologi
khusus. Dan ideologi-ideologi yang lain, juga bersumber dari
pandangan-pandangan dunia lain, dan pandangan-pandangan ini masing-masing
berpijak pada epistemologi-epistemologi tertentu. Oleh karena itu, sebelum
memasuki berbagai pembahasan berkenaan dengan ideologi dan pandangan dunia,
terlebih dahulu akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah
epistemologi.
Pada masa sekarang ini epistemologi merupakan suatu
masalah yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu hal ini tidak begitu
dianggap penting. Epistemologi telah dikaji sejak dahulu kala, kurang lebih
sejak dua ribu tahun yang lalu. Di dalam filsafat Islam, kita tidak akan
menjumpai suatu bab yang berjudul Nazhariah al-Ma`rifah atau "Teori
Pengetahuan". Tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah
epistemologi, dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan
dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan
tentang bentuk pemikiran dan yang berhubungan dengan diri dan jiwa. Oleh
karena itu, sejak dahulu kala sedikit banyak mereka juga memahami masalah
epistemologi, tetapi pada masa sekarang ini, pembahasan filsafat lebih banyak
berputar pada masalah epistemologi.
Kemungkinan Epistemologi
Pembicaraan pertama dan klasik dalam bab epistemologi
adalah mungkinkah epistemologi itu? Mungkinkah kita mengetahui dan memahami
hakikat alam ini? Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Mungkinkah
mengetahui hakikat wujud ini?[4] Ada sekelompok orang yang secara total menolak
adanya kemungkinan ini, dan mengatakan bahwa epistemologi tidak mungkin ada
pada diri manusia. Yakni pada diri manusia tidak ada suatu bentuk epistemologi
yang dapat dijadikan sebagai sandaran yang bisa dipercaya. Istilah "saya
tidak tahu" sudah merupakan kodrat, ketentuan dan nasib manusia yang tidak
dapat diubah. Secara sekilas pandangan ini lemah dan tidak perlu dihiraukan,
tetapi para pendukung gagasan ini memiliki berbagai argumen yang kuat, yang
tidak mudah dipatahkan. Saya tidak hendak mengatakan bahwa hal itu tidak
mungkin (mematahkan argumen mereka), tetapi saya mengatakan bahwa hal itu
tidak mudah.
Pyrho dan Kemungkinan Epistemologi
Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang
menamakan dirinya "Kelompok Peragu" dan yang paling terkenal di
antara mereka adalah seorang yang bernama Pyrho. Ia mengungkapkan sepuluh argumen
mengenai ketidakmungkinan epistemologi. Ia mengatakan, "mustahil dapat
mengetahui sesuatu dengan pasti, ragu-ragu dan saya tidak tahu adalah ketentuan
dan nasib pasti manusia". Argumen yang paling ringan ialah tatkala ia
menyatakan, "Jika manusia itu hendak memahami dan mengetahui sesuatu, apa
alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memiliki alat lebih dari
dua: indera dan rasio. Sekarang saya bertanya, Apakah indera dapat berbuat
kesalahan ataukah tidak? Pasti semua menjawab bahwa kesalahan yang terjadi
pada alat penglihatan, pendengaran, perasa, peraba dan penciuman tidak dapat
dihitung jumlahnya, dan bahkan ada yang menyatakan mampu untuk membuktikan
seratus kesalahan yang telah dilakukan oleh alat penglihatan. Ia melanjutkan,
"Sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah, tidak dapat
dijadikan sebagai pegangan dan sandaran. Ketika saya melihat sesuatu dan
ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya tidak dapat mempercayai
penglihatan saya tatkala penglihatan itu melihat sesuatu yang lain."
(Islam dan Epistemologi)
Lalu bagaimanakah dengan rasio? Ia mengatakan,
"Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebihi indera. Pada berbagai
argumen rasional, ilmuwan dan para filsuf seringkali melakukan kesalahan.
Dengan demikian, indera dan rasio dapat melakukan kesalahan, sementara kita
hanya memiliki dua alat ini. Oleh karena itu, bagaimanapun dan apa pun yang
kita pikirkan, apa pun yang berhubungan dengan rasio dan indera, maka jelas
dapat menjadi salah, dengan demikian, kita tidak dapat mempercayainya dan
menjadikan keduanya itu sebagai pegangan." (Mengenal Epsitemologi,
Muthahhari, hal. 25)
Keraguan al-Ghazali
Di antara ulama Islam seseorang yang pertama kali
memulai filsafat dan madrasahnya dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali
memulai aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes.
Kedua sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya
dari keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan.
Tetapi ada dari mereka yang memulai aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada
dalam keraguan, hal ini terdapat dalam dunia Islam dan juga dunia Barat dan
jika ada kesempatan saya akan menceritakan ringkasan sejarahnya. Tatkala
al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia meragukan segala yang ada. Yakni
dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju indera dan mengatakan,
"Sekarang saya duduk di sini, buku ada di depan saya, pena dan kertas ada
di tangan saya, saya tengah melihat angkasa, saya tengah mendengar berbagai
suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu
terhadap keraguan saya ini". Kemudian dia memberi jawaban kepada dirinya
sendiri, (bahkan di sini pun dia masih tetap tidak stabil dan terjerumus dalam
kesalahan). la mengatakan, "Wahai Ghazali! Sampai sekarang ini engkau
masih tengah bermimpi. Misalnya saja dalam mimpi engkau duduk dan menulis buku,
sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar pembicaraannya, dan di
alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata kepalamu sendiri, memakan
makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya seperti yang diungkapkan
oleh Nasim Syumol mengenai keluhan si fakir yang hidup sengsara,
Suatu malam aku bermimpi mengenakan pakaian baru
Ku dengar alunan musik dan aku di ranjang yang hangat
dan lembut
Sakuku penuh dengan uang yang tak terhitung
Tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku
tanpa pakaian
Wahai Ghazali! Tidakkah dalam alam mimpimu engkau
telah melihat hal-hal yang semacam ini? Sebagaimana sekarang ini engkau tidak
merasa ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpimu pun engkau tidak
merasa ragu atas apa-apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah engkau menjumpai
seseorang yang merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam mimpinya dan
mengatakan, "Apakah yang aku lihat itu betul atau salah? Di alam mimpi
manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar ia saksikan,
tetapi ketika ia terjaga, ternyata semua itu hanya khayalan dan tidak ada
bentuknya, tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian.
Mungkinkah seluruh kehidupanku ini bukan mimpi besar?
Apakah tidak mungkin sekarang ini saya, Ghazali, yang dilahirkan oleh ibuku si
fulana dan memiliki ayah si fulan, menuntut ilmu di sekolah, menikah, belajar
selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri, dan sekarang duduk di sini,
lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan bahwa semuanya hanyalah
mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi? Adakah bukti yang memperkuat
bahwa kehidupan saya sekarang ini, di mana sekarang ini saya duduk sebagai
filsuf dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran, adalah bukan merupakan
lanjutan dari sebuah mimpi panjang?" (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari,
hal. 26)
Pernyataan itu menunjukkan bahwa betapa manusia dalam
menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemologi dapat terperosok
dalam berbagai jurang kesulitan.
Descartes dan Masalah Epistemologi
Bukankah Descartes juga demikian? Descartes juga pada
saat meneliti "pandangan dunia"nya, memeriksa keyakinannya terhadap
agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika),
filsafat dan berbagai ilmu-ilmunya, tiba-tiba ia terperosok ke dalam masalah
epistemologi dan mengatakan, "Dengan dalil apa tatkala saya menyatakan
bahwa dunia ini adalah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, ruh itu ada,
dunia ini ada, Paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian?" Kemudian ia
menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi, ia melihat bahwa semua
nya masih dapat diperdebatkan lagi. la hendak bersandar pada indera, ia melihat bahwa
indera adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan yang lain. la hendak
bersandar pada rasio, ia juga melihat bahwa rasio memiliki kelemahan. Tiba-tiba
ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia mulai meragukan
segalanya dan tidak tersisa lagi keyakinan dalam dirinya. Tatkala ia telah
tenggelam dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini, tiba-tiba ia disadarkan oleh
poin ini yang mana ia mengatakan, "Sekalipun saya meragukan segala yang
ada, tetapi saya tidak ragu bahwa saya tengah dalam keadaan ragu."
Descartes berdiri di atas sebuah batu besar di alam terbuka dan mengatakan,
"Saya telah menemukan sesuatu; tatkala saya meragukan indera saya,
meragukan berbagai pengetahuan rasio saya, atau bahkan meragukan pada
keberadaan diri saya sendiri, juga meragukan keberadaan Tuhan, meragukan agama
dan kehidupan saya, semua itu adalah benar. Tetapi saya tidak dapat merasa
ragu pada satu hal saja yaitu, saya tidak ragu bahwa saya tengah merasa ragu.
Bahkan sekalipun saya meragukannya, saya tetap mengetahui bahwa saya tengah
merasa ragu." (Mengenal Epistemologi, Muthahhari, hal. 28)
Di bawah langit dan di tengah hamparan bumi itu ia
telah berhasil menemukan suatu landasan epistemologi. Begitu ia menemukan
landasan itu, dengan segera ia membangunnya dengan mengatakan, "Saya
sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya yang
tengah merasa ragu ini, adalah ada." Di sini ia telah menemukan suatu
keyakinan yakni bahwa "saya ini ada" dan ia mulai perjalanannya
dengan "saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya tengah merasa
ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Sekarang
marilah kita lihat bersama benarkah apa yang dikatakan oleh Descartes? Ibnu
Sina pada masa tujuh ratus tahun sebelum Descartes telah mengungkapkan
kata-kata semacam itu, dan ia juga telah berhasil menemukan jawabannya, dan di
sini saya tidak akan memaparkan permasalahan itu.
Jawaban atas Keraguan Pyrho
Jika demikian maka masalah pertama epistemologi
adalah masalah kemungkinan epistemologi yang mana mungkinkah manusia memiliki
kemampuan untuk memahami dan mengetahui? Pyrho mengatakan bahwa manusia itu tidak
mampu untuk memahami dan mengetahui (hal itu berdasarkan pada argumen-argumennya
yang telah dikemukakan). Terdapat jawaban dan sanggahan atas pandangan Pyrho
ini. Dalam catatan kaki di buku Ushul Falsafeh (Dasar-dasar Filsafat) telah
dipaparkan berbagai kesalahan atas pandangan ini. Mereka memberikan jawaban
kepada Pyrho sebagai berikut, "Anda mengatakan bahwa indera dapat
melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru,
suatu kali saya pernah melihat seakan-akan ada seorang yang berkepala dua,
ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain
sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan,
apakah tatkala Anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, pada saat itu juga
Anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah Anda merasa ragu
bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Tatkala Anda mengatakan bahwa
ketika saya bangun dari tidur, dan saya mengusap kedua mata saya, saya melihat
orang yang tengah berdiri di hadapan saya memiliki dua hidung dan empat mata,
lalu Anda mengatakan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda
mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga
bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah
kekeliruan, pasti ia tidak memiliki dua hidung dan empat mata." (Mengenal
Epsitemologi, Muthahhari, hal. 30)
Jika demikian maka Anda sendiri telah menemukan
kekeliruan ini dengan perantaraan sebuah keyakinan, lalu bagaimanakah Anda mengatakan
bahwa saya tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan? Ini adalah sebuah
pengetahuan (ma`rifah). Tatkala Anda mengatakan bahwa di suatu tempat rasio
telah berbuat suatu kekeliruan, kemudian dengan yakin dan pasti Anda mengatakan
bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan, hal itu sama dengan ungkapan:
"Saya mengetahui bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan,"
dengan demikian, Anda telah sampai pada hakikat. Tatkala manusia masih belum
sampai pada hakikat, dia tidak akan mengetahui kekeliruan apa-apa yang ada di
depannya.
Oleh karena itu, kita mesti mengatakan demikian bahwa
manusia pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat kekeliruan dan juga
secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian pengetahuan yang lain.
Dengan demikian maka kita mesti melakukan pembagian atas kasus permasalahan
ini. Kita mesti mencari dan menemukan sebuah neraca, lalu kita perhatikan
bersama apakah dengan neraca itu kita mampu untuk mengadakan pembenahan atas
berbagai kekeliruan itu ataukah tidak? Kenapa tatkala kita melakukan kekeliruan
pada beberapa masalah saja, lalu kita mengingkari epistemologi secara total?
Kenapa kekeliruan kita dalam beberapa kasus permasalahan itu, kita sejajarkan
dengan berbagai keyakinan kita terhadap berbagai permasalahan yang amat jelas
yang di situ tidak terdapat suatu keraguan pun? Pernyataan Pyrho ini tidak ubahnya
semacam syair milik Sa'di:
Karena di antara sebuah kaum ada seorang jahil
Ia tidak berada di atas bukit dan tidak pula di atas
awan
Tidakkah engkau melihat seekor lembu yang ada di
padang rumput
Mencemari seluruh lembu yang ada di desa
Benar, kasus tersebut dapat berlaku pada hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan sosial, yakni jika ada beberapa individu dari
sebuah masyarakat, dari sebuah kelompok, misalnya saja dari kelompok rohaniawan,
muncul pribadi-pribadi yang tidak bermoral atau berprilaku buruk, maka hal itu
akan mencoreng harga diri mereka semua. Tetapi bukan berarti ketika si Zaid
berbuat kesalahan lalu kita menghukum si Amir.
Di kota Balakh pandai besi berbuat salah
Di kota Syusytar mereka memenggal leher pandai tembaga
Sebagian dari epistemologi kita ini adalah salah dan
pasti sebagian yang lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi
yang benar itu) kita melakukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari
sinilah munculnya ilmu logika (mantiq).
Ilmu logika adalah sebuah ilmu yang merupakan asas
dari epistemologi. Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh
epistemologi, sebagian yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memperoleh
pengetahuan adalah karena mereka memukul rata permasalahan yang ada, sementara
mereka yang menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
akan mencari neraca yang dapat digunakan untuk menimbang epistemologi yang
salah dan yang betul, dan dengan neraca itu pula mereka akan memisah-misahkan
antara epistemologi yang salah dan epistemologi yang betul.
Kita mesti melihat apa yang dikatakan oleh al-Quran
berkaitan dengan permasalahan ini? Apakah al-Quran mengakui bahwa ada
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, ataukah al-Quran bahkan menyatakan
bahwa tidak ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi? Sekalipun (al-Quran
menyatakan) ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, tetapi dikarenakan
hal itu datangnya dari al-Quran dan mazhab, maka epistemologi yang berada dalam
lingkup ideologi itu, kemungkinan akan memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum
tersebut ialah: apakah epistemologi itu dibenarkan oleh syariat ataukah bahkan
terlarang? Epistemologi itu boleh atau tidak boleh? Di sini terdapat dua bentuk
permasalahan. Pertama, apakah epistemologi itu mungkin ataukah tidak mungkin?
Kedua, apakah epistemologi itu diperbolehkan (ataukah tidak diperbolehkan)?
Tentunya Anda telah mengetahui bahwa di dalam Taurat permasalahan ini
dijelaskan dengan suatu bentuk penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan
dikarenakan kita meyakini bahwa Taurat adalah sebuah kitab yang di dalamnya
telah terjadi perubahan dan penyimpangan - yakni tatkala kita membandingkan dengan
al-Quran, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh al-Quran dan juga oleh Taurat
- maka kita akan menyaksikan dengan jelas bahwa Taurat dalam menjelaskan
permasalahan itu bertolak belakang dengan penjelasan al-Quran. Kita sama
sekali tidak ragu bahwa penjelasan yang ada dalam Taurat itu, benar-benar telah
disimpangkan dan diselewengkan. A-Quran yang merupakan sebuah kitab agama tidak
akan mengungkapkan permasalahan ini secara filosofis; yakni dengan bentuk
apakah epistemologi itu mungkin ataukah mustahil? Akan tetapi kita mesti
memahami isi al-Quran itu dengan memperhatikan apakah pandangan dan pendapat
yang terdapat dalam a-Quran itu berdasarkan pada kemungkinan epistemologi,
ataukah berdasarkan pada kemustahilan epistemologi? Apakah berbagai tuntunan
yang ada dalam al-Quran itu dapat dianggap berdasarkan pada kemungkinan
epistemologi ataukah pada ketidakmungkinan epistemologi? Dan masalah yang lain
ialah apakah epistemologi itu dibolehkan ataukah tidak dibolehkan?
Penyimpangan Sejarah yang Paling Merugikan
Dalam Taurat, terdapat peyimpangan yang saya rasa
dalam dunia ini tidak ada suatu bentuk penyimpangan yang lebih merugikan dari
bentuk penyimpangan itu. Kita semua mengetahui bahwa kisah Nabi Adam as selain
tercantum dalam al-Quran juga tercantum dalam Taurat. Kisah tersebut ialah:
Adam as dan istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk menikmati
berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang ada, namun di sana terdapat
suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak diperbolehkan untuk
mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah pohon tersebut dan
dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga. Inilah kisah yang
terdapat dalam al-Quran dan juga Taurat. Tetapi persoalannya adalah, pohon
apakah itu? Dari berbagai keterangan yang terdapat dalam al-Quran, dan juga
berbagai hadis yang dapat dijadikan sandaran, dapat diambil kesimpulan bahwa
buah terlarang itu adalah berhubungan dengan sisi kebinatangan (hayawaniah)
manusia dan bukan berhubungan dengan sisi kemanusiaan (insaniah) manusia.
Yakni suatu perkara yang merupakan bagian dari hawa nafsu, keserakahan, iri,
dengki, yang menurut istilah disebut dengan "anti kemanusiaan".
Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni
janganlah engkau tamak. Janganlah engkau mendekati pohon dengki, yakni
janganlah engkau mendengki. Tetapi Adam as, menjatuhkan dirinya dari
kemanusiaan dan mendekati pohon itu. la mendekat pada tamak, serakah,
dengki, takabur, yakni mendekat pada berbagai perkara yang merendahkan serta
menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman kepadanya, "Keluarlah
dari sini." (kapan Allah mengusirnya dari surga?) Allah mengusir Adam as
dari surga setelah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-bendu itu jika kamu orang-orang
yang benar!." (Q.S. al-Baqarah: 31)
Setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh hakikat,
(lalu Allah berfirman), "Ini bukan tempat tinggalmu, keluarlah dari
sini!"
Isi Kitab Taurat telah diselewengkan oleh orang-orang
yang memiliki tujuan keji, di mana di sana disebutkan bahwa pohon yang tidak
boleh didekati oleh Adam, adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan
bukan berhubungan dengan sisi kebinatangan, berhubungan dengan peningkatan
kedudukan Adam dan bukan perendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua
bentuk kesempurnaan dan Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih
oleh Adam secara sekaligus; pertama, kesempurnaan pengetahuan dan yang kedua,
kekekalan di surga. Adam telah merasakan buah dari pohon pengetahuan (epistemologi),
lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui apa yang baik dan
apa yang buruk. Ia bergumam, "Sebelum ini saya dalam keadaan buta, sekarang ini mata
saya terbuka. Sekarang saya mulai dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang
buruk." Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Lihatlah!
Kamu tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon pengetahuan dan
epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi terbuka. Sekarang
tatkala matanya telah terbuka, ini amat berbahaya jika ia sampai memakan buah
pohon kekekalan, yang akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan demikian maka
sebaiknya kita keluarkan saja ia dari surga."
Bentuk pengetahuan dan penyelewengan agama dan mazhab
ini, mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Akhirnya mereka mengatakan,
"Dengan demikian maka cukup jelas, adanya kontradiksi antara agama dan
pengetahuan. Adam mesti beragama dan mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah
pengetahuan sehingga matanya menjadi terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan
matanya tetap dalam keadaan buta dan tidak mengetahui sesuatu apa pun, atau
memiliki pengetahuan tetapi melanggar perintah Tuhan. Karena supaya matanya
dapat terbuka, ia mesti melanggar perintah Tuhan dan mengesampingkan
agama". Kemudian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di
antaranya ialah, "Jika seorang yang mengikuti pandangan Socrates, hidup sengsara
dan kelaparan itu jauh lebih baik dari pada menjadi budak", "Sehari
saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan pen.) jauh lebih saya
sukai daripada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh pen.) dan kemudian
berharap akan masuk surga", "Saya lebih suka berada dalam neraka
Jahanam dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan), dari pada berada dalam
surga dalam keadaan buta (bodoh)."
Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah
pemikiran yang amat gawat, yaitu adanya kontradiksi antara ilmu pengetahuan
dan agama. Anda jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini munculnya dari
empat ilmuwan yang mengeluarkan pendapatnya. Akar pemikiran itu terdapat dalam
agama Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya menganggap Taurat sebagai
"perjanjian lama" dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa
kalian mesti konsisten terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga
yang penuh dengan kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta
berkeliling ke berbagai penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan
tertutup. Tetapi jika mata kalian terbuka, maka kalian mesti hidup dalam
keadaan sengsara dan menanggung berbagai beban penderitaan.
Al-Quran dan Kisah Adam As
Adapun dalam al-Quran sama sekali tidak terdapat
bentuk pembicaraan semacam itu. Al-Quran menceritakan kisah Adam As tatkala
mendekati pohon tersebut setelah kisah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama betuta-benda itu jika
kamu orang-orang yang benar!. (Qs. al-Baqarah [2]: 31)
Yakni sebelum Adam As menempati surga telah dikatakan
kepadanya untuk tetap tinggal di sana, matanya dalam keadaan terbuka, telah
mengetahui berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan seekor
binatang yang matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari
pohon itu lalu matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam
As adalah seorang manusia. Karena ia adalah seorang manusia, maka ia memiliki
pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam As
dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan.
Dengan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki, ia masih terperdaya hawa nafsunya,
menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya ia menjadi tamak dan
serakah. Allah menegaskan bahwa di sini (surga) adalah tempat untuk manusia.
Adam as telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga. Adam As tidak
mengamalkan epistemologi dan pengetahuan yang ia miliki.
Epistemologi melahirkan "pandangan dunia",
dan "pandangan dunia" melahirkan ideologi dan ideologi perlu
pengenalan. "Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai
hakikat. Kalimat 'saya mengetahui' menunjukkan kepada saya tentang suatu bentuk
alam ini. Dan karena saya (Adam) mengetahui alam semesta sedemikian rupa, maka
saya terikat dengan 'harus dan tidak boleh'. Tetapi saya tidak menghiraukan
`harus dan tidak boleh' itu, tidak merasakan adanya rasa tanggung jawab,
sekalipun ada bisikan: 'pohon itu adalah pohon kekekalan, karena Allah merasa
iri padamu, maka Dia melarangmu memakan buahnya. Sekarang pergilah ke pohon
itu dan makanlah buahnya,' (mereka menceritakan bahwa Adam memperoleh bisikan
semacam itu) saya tidak boleh terpedaya."
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki
epistemologi, Anda memiliki "pandangan dunia", Anda memiliki
ideologi, dan pada akhirnya ideologi mengharuskan amal perbuatan (perbuatan
memiliki dua sisi; sisi positif dan sisi negatif), diperlukan ketakwaan,
menjaga diri. Mungkinkah seorang yang memiliki ideologi, tetapi tidak memiliki
kekuatan untuk menahan diri atas rasa sedikit kekurangan? Apakah di samping
saya memiliki ideologi, saya juga senantiasa menuruti apa saja yang saya lihat?
Misalnya ketika pandangan saya tertuju pada suatu makanan, kemudian air liur
saya menetes, apakah lalu saya tidak mampu menahan diri untuk tidak memakannya!
Seorang manusia, dituntut untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan untuk menahan
diri.
Dalam logika Islam, sebab Adam As dikeluarkan dari
surga adalah karena ia tidak mengamalkan peringkat ke empat dari
epistemologinya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian
"pandangan dunia", kemudian ideologi dan terakhir ideologi
mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah ia
tergelincir, sehingga Allah mengusirnya dari surga. Tetapi dalam Taurat
disebutkan bahwa sejak pertama Tuhan telah melarangnya (Adam) untuk mencari dan
memperoleh epistemologi, dan dikarenakan ia telah memperoleh pengetahuan dan
epistemologi sehingga menyebabkan kedua matanya menjadi terbuka, maka Tuhan pun
mengusirnya dari surga; pohon itu adalah pohon ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan yang telah saya kemukakan menjadi
jelas, bahwa di dunia ini jarang sekali ada suatu pemikiran, pengetahuan, dan
pandangan yang diselewengkan, yang mengakibatkan kerugian besar terhadap umat
manusia, alam dan agama, seperti penyelewengan yang ada di dalam Taurat.
Tentunya, sampai sekarang ini dampak tersebut masih tetap berlanjut, yakni di
dunia ini masih terdapat arus pemikiran yang kuat yang menyatakan, "Ilmu
atau agama, atau salah satu dari keduanya itu," (ilmu dan agama adalah dua
hal yang kontradiktif).
Dengan demikian, al-Quran tidak mengakui pelarangan
penggalian epistemologi, tetapi bahkan mendukung epistemologi. Dalil apakah
yang membuktikan bahwa al-Quran mendukung kemungkinan epistemologi? Hal itu
cukup jelas, ketika al-Quran mengajak manusia pada penggalian epistemologi,
al-Quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang mustahil. Apa yang hendak
dikatakan oleh al-Quran tatkala menceritakan kisah Adam as dan keluasan
epistemologinya? Al-Quran hendak mengatakan, "Wahai manusia! Kalian
memiliki kemampuan untuk menggali epistemologi yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya." Sewaktu Imam Ja'far
Shadiq As sedang duduk beralaskan kulit binatang, lalu beliau menunjuk pada
alas duduk itu dan berkata, "Bahkan (Adam mengetahui) yang ada di bawah
kaki saya ini." Yakni sampai sebegitu luas epistemologi yang dimiliki oleh
Adam as. (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 41)
Dengan demikian maka al-Quran mengakui adanya
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. kisah Nabi Adam as penuh dengan
hikmah dan pelajaran. Dan di antara hikmah, pelajaran, dan rahasia yang
terdapat dalam kisah itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh
epistemologi. Dengan kisah itu, al-Quran hendak menyatakan kepada seluruh
manusia, "Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, anak dari
Adam as yang memiliki epistemologi sampai sedemikian rupa. Kalian adalah anak
Adam as yang telah berhasil memperoleh epistemologi yang tidak terbatas. Oleh
karena itu pergilah menuju epistemologi yang tidak terbatas. Kalian adalah
anak epistemologi." Menurut pandangan al-Quran, anak Adam as adalah sama
dengan anak epistemologi.
Ajakan Al-Quran pada Epistemologi
Al-Quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as
pada epistemologi. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk
memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam al-Quran terdapat berbagai
ungkapan semacam ini, Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit
dan di bumi." (Q.S. Yunus: 101)
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca:
berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Quran hendak
menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit
dan di bumi dengan menyatakan, "Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri,
kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan kenalilah masyarakat
serta sejarahmu." Bahkan ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu, (Q.S. al-Maidah: 105). Yakni wahai orang-orang yang beriman atas
kalian diri kalian sendiri. Sekarang terlintas dalam benak saya bahwa berbagai
mufasir yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba'i" mengatakan
bahwa maksud ayat itu adalah, kenalilah dirimu sendiri.
Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebutan
"dzar" (alam dzar atau alam mitsal, alam ide, mundus imaginalis),
terdapat satu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri
sendiri, sekalipun bentuk penjelasan itu secara sandi. Al-Quran mengatakan:
"Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka." (Q.S. al-A'raf
: 172).
Yakni manusia memberikan kesaksian atas diri mereka
sendiri. Dalam memberi kesaksian ini ada dua bentuk. Adakalanya seseorang
memberi kesaksian atas sesuatu yang sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan,
kemudian ia hendak menyampaikan kepada orang lain dan memberikan kesaksian. Dan
adakalanya, ada seseorang yang dihadirkan di suatu tempat untuk kemudian ia
akan dijadikan sebagai saksi. Yang pertama disebut dengan "menunaikan
kesaksian" (ada' asy-syahadah) dan yang kedua disebut dengan
"menanggung kesaksian" (tahammul asy-syahadah). Al-Quran mengatakan
bahwa Allah menunjukkan manusia kepada dirinya sendiri (walhasil ayat ini
adalah salah satu ayat yang berkenaan dengan fitrah), mereka menjadi saksi atas
diri mereka sendiri. Yakni al-Quran mengatakan bahwa lihatlah diri kalian!
Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka.
Tatkala manusia telah melihat diri mereka sendiri,
kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanrnu? Bukankah Aku adalah
Tuhanmu? Mereka menjawab, "Ya." Di sini al-Quran tidak mengatakan
bahwa Allah menunjukkan Zat-Nya kepada manusia, lalu mengatakan bahwa bukankah
Aku adalah Tuhanmu? Tetapi al-Quran mengatakan bahwa manusia diperlihatkan kepada
dirinya sendiri, kemudian Dia berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Apakah
tujuan dari semua ini? Apakah hal itu sama seperti ketika si Zaid mereka
tunjukkan (kepada seseorang) dan kemudian mereka bertanya (kepada orang itu),
"Tidakkah engkau melihat si Amir?" Tidak, duduk permasalahannya
bukan semacam ini.
Sebagai perumpamaan, kita dapat mengumpamakan semacam
seorang yang mengatakan kepada temannya, "Lihatlah cermin itu."
Ketika temannya melihat ke arah cermin itu, kemudian ia menanyakan,
"Bukankah saya seorang yang tampan?" Kenapa demikian? Karena ia
melihat ke arah cermin. Jika temannya itu melihat ke arah dinding, maka
jadinya tidak demikian. Allah sebegitu dekat dengan manusia! Mengenal diri dan
mengenal Tuhan telah bercampur menjadi satu. Sehingga Dia memerintahkan,
"Wahai manusia! Lihatlah dirimu sendiri." Dan tatkala mereka telah
melihat kepada diri mereka sendiri, lalu Allah berfirman, Bukankah Aku ini
Tuhanmu. Ketika engkau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku,
ketika engkau mengenal dirimu sendiri, maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkapan,
"Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka dia telah mengenal
Tuhan-nya," merupakan sebuah ungkapan yang amat populer di dunia Islam.
Bahkan ungkapan ini telah disebutkan pada masa sebelum Islam, Socrates juga
pernah mengatakannya, di India pun banyak yang pernah mengucapkan ungkapan itu.
Tetapi tidak ada satu penjelasan pun yang seindah penjelasati al-Quran. Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as seringkali menyampaikan kalimat tersebut, dan
Rasul mulia saw juga telah menyampaikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang
memiliki penjelasan yang lebih indah dari yang dijelaskan oleh al-Quran.
Al-Quran dengan kefasihannya menunjukkan manusia kepada manusia itu sendiri,
dengan cara memerintahkan manusia untuk melihat dirinya sendiri, dan begitu
manusia telah melihat dirinya sendiri, seketika itu Allah bertanya,
"Apakah sekarang engkau dapat melihat-Ku dengan baik?" Manusia
menjawab, "Ya, sekarang kami dapat melihat-Mu dengan balk." Di sini
al-Quran tidak mengatakan, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka
ia telah mengenal Tuhan-nya," yakni antara telah mengenal yang satu dengan
telah mengenal yang lain sifatnya adalah berurutan; pertama mengenal diri
sendiri, berikutnya adalah mengenal Tuhan.
Tetapi al-Quran hendak menyatakan bahwa sebegitu dekatnya
antara dua pengenalan itu, sehingga tatkala engkau melihat yang ini maka engkau
pun akan melihat yang itu. Semua penjelasan yang diberikan oleh selain al-Quran,
senantiasa meletakkan dua pengenalan itu secara berurutan, sedangkan al-Quran
menjelaskannya dengan menggunakan sebuah kalimat bahwa manusia cukup hanya
dengan mengenal diri, karena jika telah mengenal diri maka pasti telah mengenal
Tuhan. Sebegitu dekatnya antara pengenalan diri dengan pengenalan Tuhan,
laksana seseorang yang memandang sebuah cermin. Sekalipun yang ada di dalam
cermin itu hanyalah semacam bayangan (gambar) saja, tetapi ketika Anda berada
di depan sebuah cermin maka Anda tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat
gambar Anda di cermin itu.
Tatkala seseorang memperhatikan dan merenungkan poin
al-Quran ini, pasti ia akan merasa kagum dan tercengang. Inilah ayat al-Quran.
Coba Anda perhatikan, Rasul saw adalah seorang bangsa Arab yang buta aksara,
penduduk desa, tidak pernah belajar, tidak memiliki guru dan pengajar, orang
terpandai yang ada dalam masyarakat itu tidak ubahnya semacam kelas tiga
sekolah dasar yang ada pada masa kita ini, hanya mampu membaca satu baris
tulisan dan tulisan tangannya tidak rapi serta tidak beraturan. Apakah dapat
dipercaya bahwa berbagai ucapan yang indah dan mempesona yang keluar dari
lisan laki-laki (Muhammad Saw) semacam itu, tanpa ada hubungan dengan alam
metafisika (ma'nawi) atau alam yang lain? Bahkan orang-orang semacam Socrates
sama sekali tidak akan mampu untuk mengeluarkan ucapan seindah itu. Ia
(Muhammad Saw) memiliki bentuk pandangan yang begitu dalam dan luas.
Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit
dan di bumi?" (Q.S. Yunus: 101). Perhatikanlah apa yang ada di berbagai
langit dan di berbagai belahan bumi (tidak pada bumi saja), perhatikanlah apa
yang ada di seluruh alam ini! Ketahuilah apa yang ada di seluruh penjuru alam
ini! Dengan demikian maka al-Quran mengajak manusia pada epistemologi. Tidak
ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya
kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.[www.wisdoms4all.com]
[1] . Silahkan rujuk Âmuzesy-e Falsafeh, Ustadz
Ayatullah Agâ Misbâh Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e Bainal
Milal Sazemân-e Tablighati Islâmi, Qum.
[2] . Idem.,
[3] . Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Ustadz
Ayatullah Agâ Jawâdi Âmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr Isra', Qum.
[4]. Pemahaman dan pengetahuan ini adalah sama dengan
keyakinan, karena keraguan adalah bukan pemahaman. Pemahaman ialah tatkala kita
sampai pada titik tertentu di mana kita berpikir bahwa ini adalah demikian, dan
saya tidak meragukan atas apa yang saya pikirkan itu dan saya yakin bahwa itu
adalah betul. Saya tidak meragukan kebenarannya, karena jika saya meragukannya
maka berarti itu bukan pengetahuan tetapi itu adalah "apakah",
"apakah demikian", "saya tidak tahu", "mungkin
ada", "mungkin tidak ada" dan berbagai ungkapan yang sejenis
dengan kalimat la `adri (tidak tahu). Suatu pengetahuan dapat disebut
sebagai pengetahuan yang hakiki, jika di situ tidak terdapat sedikit pun
keraguan, tetapi jika terdapat keraguan maka menjadi la 'adri (tidak
tahu).
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang
cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang
ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki
dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses
yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah
kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi;
landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[1]
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari
pengetahuanpengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga
pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis
pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini
memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni
dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling
memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan
benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun
kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu
dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan
dari itu?
PEMBAHASAN A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang
yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat
metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada
dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat
oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang
universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari
inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus;
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah,
tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang
kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang
hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima.
Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi
dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi
metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi
adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh
Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan
pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term
tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi,
term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat
realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a
posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus
(Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan
a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan
predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan
yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek,
term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan
tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam
tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.
B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan
sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui
batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang
pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinankemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati,
maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita
memperoleh pengetahuan”?[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan a.
Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang
mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke,
bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan
akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh
sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama
dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat
penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai
kepada pengalamanpengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom- atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat
atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan,
atau setidaktidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak
pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada
kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat
diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat
uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan
sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam
bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu
seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila
berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal
memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil
pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam
intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk
pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian
data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di
samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar
dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan
demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman
intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati
nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya.
Intusionisme – setidaktidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa
pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari
pengetahuan yang nisbiyang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa.
Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang
menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu
kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat
menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan
dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan
yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu
bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan
lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe
yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl
gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada
hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal
yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan
harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi
ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan
yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia
dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga,
pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan
ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah
terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika
Copernicus (14731543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan
menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya
seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara
ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di
pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan
(nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di
antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini
yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642),
oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para
martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka
anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan
John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah
urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan
mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran
secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang
ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.
“segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib,
“asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap;
keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam
bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma
moral/professional?[4]
PENUTUP Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
- Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
- Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
- Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?[5]
Epistomologi
Epistimologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme
(pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang
berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini
termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang
filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya,
macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
· Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
· Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
· Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
3. Aksiologi
Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral
Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut: Produktif
· Ilmiah
· Individual
· Serentak / aktual
· Merata
· Berdaya serap tinggi
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
· Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
· Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
· Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
3. Aksiologi
Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral
Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut: Produktif
· Ilmiah
· Individual
· Serentak / aktual
· Merata
· Berdaya serap tinggi
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).
TEOLOGI , ONTOLOGI, DAN EPISTIMOLOGI
DALAM KAJIAN FILSAFAT
A. Teologi
Filsafat dan ilmu yang dikenal
didunia barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu
filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya
sebagai dua hal yang berlainan. Keduanya termasuk ke dalam pengertian episteme.
Kata philisophia merupakan suatu padanan kata dari episteme.
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
1. Praktike (pengetahuan
praktis)
2. Poietike (pengetahuan
produktif)
3. Theoreitike (pengetahuan
teoritis)
Manusia dengan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal?
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur
kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana
pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat
berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya
yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan
tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Teologi adalah merupakan ilmu yang mengkaji
tentang Ketuhanan. Yang mana orang yang mengkaji ilmu tersebut disebut sebagai
teolog. Hal ini dapat dinilai dengan suati kajian ilmu yang lai yaitu
aksiologi. Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani)
yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok
eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni
universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur. Teori
tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.
B. Ontologi
Ontology merupakan salah satu dari
obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang
hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun
metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu
sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan
penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan
bagaimana yang ada.
Dalam pemahaman ontology dapat
dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1. Aliran Pluralisme, aliran
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan
ala mini tersusun dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh
aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi
yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
2. .Aliran Nihilisme merupakan
sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias
berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas. Tidak ada satupun yang
eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak
menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan
adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam
semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan
kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat
kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain.
3. Aliran Agnotisme, aliran
ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat
benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang
berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme
lebih dari itu.
Kattsoff banyak memberikan term
dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi,
perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup
pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam
jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas
pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan
keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada batas
epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang
hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.
C. Epistimologi
Definisi epistemologi adalah suatu
cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan
pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat,
dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi
epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah
ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan
dijelaskan:
1. Cakupan pokok bahasan,
yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam
pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah
yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu.
Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna leksikal ilmu adalah sama
dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains,
teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti
hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran
(hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat
Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c. Ilmu yang hanya
dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq)
dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang
diyakini.
f. Ilmu ialah
kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas
eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar
yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang
saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan
geografi.
h. Ilmu ialah gabungan
proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang
linguistik.
i. Ilmu ialah
kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2. Sudut pembahasan, yakni
apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana
subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi,
logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan
dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat
keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan
filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga
menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru
dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab
hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi
mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan
pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam
pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji
kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan
batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî
juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang
diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan
sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan
pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah
menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya
memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi
seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan
dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan
yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Perjalanan historis epistemologi
dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan
historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme.
Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak
pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam
Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan
sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan,
dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat,
maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir
epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan
filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam
epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah
pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu
bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu
epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan
ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan
Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi di Zaman
Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah
filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah
Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok
ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari
epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang
valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang
menipu.
Heraklitus berbeda dengan
Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan
tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa
dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan
ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan
ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu,
maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu,
sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar
Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama
yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas
hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan
kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia
merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan
mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih
menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra
lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala
sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari
penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan
ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber
lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan
Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan
jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain
ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula,
definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius
para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca
indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber
dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas
perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih
menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan
persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap
ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam
ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah
yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal
ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang
diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan
analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika
dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar
dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang
bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat
hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada
pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal
pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan
bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini
bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga
meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa
kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya.
Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian
lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum
Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama
kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua
Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian
dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman
Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam
bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan
solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta
terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan
tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan
(dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan
adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya,
disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo
platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam
epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi
(cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian
(understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan
hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai
tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan
‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas
akal adalah intuisi (asy-syuhud).
Augustine (354-430 M) beranggapan
bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang
lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu
iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan
proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa
diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah,
tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan
pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa
diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya
ada“.
4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad
pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni
apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep
abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh
Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar.
Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu
hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu
eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular”
yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam
eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”.
Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di
alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas
eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan
secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah
kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual?.
Upaya-upaya pemikiran di abad
pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran:
1. Realisme (universalitas itu
memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato),
2. Idealisme (universal itu
hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles),
3. Nominalisme (menetapkan
kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang
pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun
iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan
bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal
itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.
Peter Abelard (1079-1142 M)
memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep
universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud
luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu
merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang
realitas-realitas hakiki dan eksternal.
Segala kaidah filsafat dan ilmu
berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang
beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak
konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena
semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait
dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang
merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki
individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan
hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas”
memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah
orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat
pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik
yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin
bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan
lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar,
kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan
membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan
dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M)
adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun,
sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan
menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara
pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu
sebagai “konsep-konsep”.
Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu
ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh peminat ilmu-ilmu
univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran suatu mazhab dan
ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme, empirisisme,
peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme, eksistensialisme,
humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama mengkaji aliran-aliran
epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita terhadap epistemologi
yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, seperti Allamah
Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin
dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak terombang ambingkan
oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang masalah eksistensi
Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya.
Epistomologi Tafsir Teoritis
A Prolog
Al-Quran diturunkan di tengah-tengah
komunitas Arab pada abad 6 M merupakan fenomena yang layak diteliti.
Kegelisahan-kegelisahan umat muslim kontemporer dari pelbagai penjuru kembali
merujuk kepada Al-Quran sebagai pedoman hidup umat islam. kecenderungan
kebahasaan para gramatikus Arab dan non Arab mencoba mendekati Al-Quran dengan
pendekatan kebahasaan dengan pelbagai perangkat interpretasi. Pesona keindahan
bahasa Al-Quran menyihir para pengkaji Al-Quran dalam berteorisasi ria yang
kemudian melahirkan teori-teori bahasa dan sastra. Al-Quran ibarat sebuah
berlian yang menyilaukan mata para pengkaji Al-Quran dan terkesima dengan
keindahannya. Dari Al-Quran, para pengkaji merumuskan teori dan metodologi yang
kemudian mengalami perkembangan pesat dan secara gradual, dikukuhkan sebagai
disiplin ilmu. Tak heran jika Nashr Hamid Abu Zaid secara berani mengatakan
bahwa “peradaban Arab adalah peradaban
teks” dan Amin al-Khuli menegaskan bahwa
“Al-Quran adalah kitab sastra Arab
terbesar dan teragung” yang lantas didekati dengan pendekatan ilmu-ilmu
kemanusiaan seperti bahasa, sastra dan psikologi dsb.
Tafsir Sastra yang marak dikenal pada abad 20 dan dianggap sebagai hasil
perkenalan akut dan hasil adopsi dengan disiplin ilmu kritik sastra barat tidak
dapat diterima seutuhnya, tetapi wacana tafsir sastra yang menggema di abad
kontemporer memiliki landasan teoritis dan konstruk epistomologi pada masa
klasik dan hasil akumulasi dari pergumulan ilmu-ilmu modern. Tokoh-tokoh
kenamaan sekaliber Ibn Abbas, al-Farra’, Abu Ubaidah, al-Jurjani, Abd
al-Jabbar, al-jahiz dan al-Baqillani dan tokoh-tokoh lainnya memiliki pemikiran
yang melampaui batas-batas zamannya. Kehadiran Muhammad ‘Abduh dan Taha Husain
kemudian memuluskan jalan bagi Amin al-Khuli dan penerus-penerusnya dengan
mereformulasi dan menetapkan prinsip-prinsip metodologis dalam seni
interpretasi yang dalam pembacaan kontemporer dikenal dengan Hermeneutika.
Nashr Hamid abu Zaid mencoba mendialektikan antara teks dan realitas dengan
teori makna dan maghza yang berubah-rubah yang didasari dengan semangat
objektivitas penafsiran.
2. Jejak Historis Tafsir Teoritis
Melacak jejak sejarah benih-benih tafsir teoritis dapat dijumpai pada masa
kenabian. Pemikiran ini menurut Dr.M.Nur Khalis Setiawan berdasarkan atas
beberapa data yang menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad SAW telah memberikan beberapa interpretasi yang erat kaitannya dengan terminologi
disiplin sastra atab yang berkembang belakangan, meski penafsiran Nabi tidak
terlalu banyak dijadikan para pengamat tafsir sebagai tafsir periode awal dalam
sejarah penafsiran Al-Quran. Nampak jelas ketika Nabi menafsirkan surah al-
Baqarah ayat 187 : “ makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam yaitu fajar “. Dengan
mengatakan “ yang dimaksud dengan benang hitam adalah gelapnya malam dan benang
putih adalah terangnya siang.” Peralihan makna frasa dari benang hitam dan
putih ke benang yang lain, yakni
gelapnya malam dan terangnya siang, merupakan perubahan makna dari makna asli
ke makana majazi.[1][1] Meski secara kuantitas tidak
terlalu banyak menunjukkan model penafsiran susastera, interpretasi Nabi
benar-benar telah mendapatkan legitimasi historis.[2][2]
Salah satu generasi penerus yang melakukan penafsiran seperti yang
dilakukan Nabi adalah Abdullah Ibn Abbas (w.68/687) putra dari paman Nabi dan
putra dari kakek (tertua) dari keluarga besar Abbasiah. Para pengkaji tafsir
menyebutnya sebagai “bapak tafsir” karna otoritasnya dalam disiplin ilmu bak
lautan tak bertepi dan dijuluki dengan gelar “ Tarjuman Al-Quran” yang telah
diberkahi oleh rasulullah sendiri.[3][3] Demikian pula karya-karya
tafsir yang bermunculan setelah itu, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh serta
kretifitas Ibn Abbas. Sehingga interpretasi-interpretasi yang dilakukan Ibn
Abbas bisa dijadikan sebagai awal mula penafsiran susastra dengan bukti
data-data historis yang kuat.[4][4] Menelisik lebih jauh sosok
Ibn Abbas ditemukan bahwa Ibn Abbas tekun bergaul dengan penyair klasik, sebab
mereka adalah kalangan yang dipandang mempunyai kesiapan lebih karena
pergumulan mereka dengan bahasa dalam bidang tafsir. Berkenaan dengan lafazh haraj dalam surat al-Haj ayat 78 dia
menjelaskan prinsip berikut ini : “ apabila kamu merasa asing dengan sesuatu
dalam Al-Quran maka lihatlah dalam syair, karena syair adalah murni bahasa
Arab. Data sejarah mengisahkan bahwa Nafi’ bin al-Azraq bertanya kepada Ibn
Abbas tentang sejumlah kosa kata Al-Quran. Nafi’ meminta kepada Ibn Abbas
supaya mencari makna-makna tersebut dengan menggunakan syair klasik. Dalam
jawaban Ibn Abbas kepada pertanyaan Nafi’ bin al-Azraq terdapat tafsiran
sekitar dua tatus kalimat dengan munggunakan bukti atau dalil dari syair
klasik. Ini adalah sebuah pengakuan dari para ahli bahasa masa belakangan
kepada bapak tafsir yang menggagas metode linguistic dalam tafsir Al-Quran.[5][5]
Penafsiran dengan metode linguistik kemudian dilanjutkan oleh murid-murid
Ibn Abbas diantaranya adalah : Mujahid, Ikrimah, said bun jabir, Qatadah,dan
al-Dhahhak.[6][6] Murid yang paling menonjol
dalam penafsiran dengan pendekatan kebahasaan adalah Mujahid.
Interpretasi-interpretasi yang dilakukannya sangat kental dengan penafsiran
metaforis.[7][7]maka tak heran jika Mujahid
dikategorikan sebagai salah satu dari benih-benih penafsiran rasionalis dalam
Islam.[8][8] generasi setalah Mujahid yang
ambil bagian dalam mengembangkan “ stadium embrional” tafsir sastra adalah Ibn
Juraij, Maqatil ibn Sulaiman, Sufyan al-Tsauri, Abu Ubaidah al-Mutsanna’ dan
Yahya ibn Ziyad al-Farra’.[9][9] Para sarjana tersebut dalam
karya-karyanya, secara implisitmenegaskan bahwa Al-Quran adalah sebuah teks.
Penyimpulan seperti ini diperoleh dari analisis holistic terhadap buah tangan
mereka. Sebuah kenyataan yang tak terbantahkan akan perlakuan mereka terhadap
Al-Quran adalah penekanan bahwa Al-Quran adalah teks berbahasa Arab, sehingga
ilmu bahasa Arab merupakan perangkat pertama dan nisacaya dalam memahami teks
Al-Quran.mereka bersepakat bahwa dalam wilayah kebahasaan terdapat dua aspek
dan tingkatan yang saling terkait dan berkelindan. Dua hal tersebut adalah apa
yang ada dalam disiplin bahasa kontemporer dengan “ syntagma “ (tarkib) sebagai
bagian integral dari pembentukan dan bangunan sebuah kalimat, serta “ paradigm”
(dalalah), sebagai elemen pembangun lainnya dalam bahasa.[10][10]
Membincang lebih lanjut “stadium embrional “ setalah generasi Mujahid, nampaknya
penafsiran yang paling kental denga pendaran linguistiknya adalah Abd al-Malik
ibn Abd al-Aziz ibn Juraij. Ibn Juraij termasuk dalam sederet pengkaji Al-Quran
klasik yang mengedepankan prinsip :
bagian Al-Quran menjelaskan bagian yang lain ( Al-Quran yufassiru ba’duhu ba’dhan). Disamping itu ia juga menaruh
perhatian kepada artu penting aspek-aspek Mubhamat Al-Quran, mengingat gaya
bertutut Al-Quran memang demikian adanya. Ibn Jurai berkeyakinan bahwa konteks
sebuah ayat dalam Al-Quran memiliki peran yang sangat penting. “ kesadaran “ akan
konteks dari sebuah teks sebagai perangkat adalah niscaya dalm memahami teks
keagamaan yang dalam kacamata semantic modern lazim disebut dengan “makna
dasar” dan “makna relasional” .
kesadaran akan dua aspek makna tersebut dalam khazanah islam klasik, salah
satunya dikembangkan oleh ibn Juraij. Demikian juga Ibn Juraij menaruh
perhatian pada gaya tutur stilistika Al-Quran yang beragam dan membicarakan
pengualangan kata atau kalimat (al-Tikrar)
serta tertarik menyibukkan diri dengan gramatikal ayat-ayat Al-Quran.[11][11]
Para sarjana klasik dengan pelbagai karyanya yang telah disebutkan diatas
diklasifikasikan sebagai penafsiran sebelum masa kodifikasi (‘asru
tadwin ) dan sarjana klasik pertama yang menulis pada masa kodifikasi
adalah Abu Ubaidah dengan magnum opus-nya
“majaz Al-Quran”. Di tangan Abu Ubaidah pertama kali mendefenisikan
pengertian majaz. Abu Ubaidah ketika dihadapkan dengan teks Al-Quran, ia
berusaha mengklasifikasikan dan menunjukkan pengertian denotatif dan konotatif
sebuah lafadz teks dan menjelaskan aspek metaforis dan perumpamaan dalam
Al-Quran. Generasi setelah yang melanjutkan tongkat estafet penafsiran Al-Quran
dengan pendekatan kebahasaan adalah al-Farra’ dengan karangannya “ Ma’ani Al-Quran” metode al-farra’ dalam
kitabnya hampir menyamai metode Abu Ubaidah,namun nuansa gramatika bahasa Arab
nampaknya sangat kental menyesaki karangannya. Yang kemudian disusul oleh
al-Jahidz dengan “Nadzm Al-Quran”-nya , Ibn Qutaibah dengan “ Ta’wil Muyskilu Al-Quran”-nya yang
dilandasi dengan semangat pembelaan terhadap aspek kemukjizatan Al-Quran. Jika
al-Jahidz adalah juru bicara Mu’tazilah maka Ibnu Qutaibah merupakan juru
bicara Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah.[12][12]
Pada abad ke-4 H, dogma I’jaz Al-Quran mendapat perhatian penuh dari para
teolog dan penafsir Al-Quran. Hal itu
dapat dibuktikan dengan menjamurnya karangan sarjana muslim klasik yang
memusatkan penelitiannya terhadap aspek kemukjizatan dalam Al-Quran. Relasi
antara I’jaz Al-Quran dengan aspek kebahasaan Al-Quran tidak bisa dipisahkan
satu sama lainnya. Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi
mengenai ajaran dan keyakinan tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul belakangan,
tidak bisa dilepaskan dari dua aspek bahasa, lafzhi dan ma’nawi.
Lafzhi berarti leksikal dan makna struktural, sementara ma’nawi adalah teori
makna.[13][13] Pada abad ini muncul sarjana
muslim seperti al-Rummani dengan “al-nukat
fi I’jaz Al-Quran” , al-Khatthabi dengan “bayan I’jaz Al-Quran” , Abu al-Hasan Abd al-Jabbaral-Hamdani dengan
kitabnya “ al-Mughni fi Abwabi al-Tauhid
wa al-Adl” dan Abu Bakr al-Baqillani dengan magnumopusnya “ I’jaz Al-Quran “.[14][14]
Pada abad selanjutnya yaitu pada abad ke -5, diterbitkan “ Dala’il al-Ijaz” yang sangat fenomenal yang ditulis oleh Abd
al-Qahir al-Jurjani dan kitan “ al-Risalat
al-Syafiah fi I’jaz Al-Quran”. Dan pada abad ke 6 H al-Zamakhsyari seolah
megumpulkan teori-teori terdahulu dalam tafsirnya “al-Kassyaf” yang bernuansa kebahasaan. Dan disusul oleh Fakhruddin
al-Razi dengan “Nihayat al-Ijaz fi
Dirayat al-I’jaz”. Pada abad ke-7 H, Abu al-Asba’ al-Mashri menulis “ Badi’ Al-Quran”.[15][15] Dan pada abad-abad selanjutnya mucul sederetan nama seperti Imam Yahya bin Hamzah al-Alawi degan kitab “al-Tharaz” , Umar al-Biqa’I dengan kitab
yang diberi judul “ nadzmu al-Durar fi
tanasub al-ayat wa al-suwar” dan
Jalaluddin al-Suyuti pemilik “ tanasuk
al-durar fi tanasub al-suwar”. Sampai pada masa kontemporer para sarjana
semisal Muhammad Rajab Bayyumi dan
Hufnaa Muhammad Syaraf memberikan perhatian lebih pada corak penafsiran dengan
pendekatan kebahasaan. [16][16]
3. Epistomologi Tafsir Teoritis
Untuk meneliti lebih jauh konstruk epistomologi tafsir teoritis dengan
menggunakan pendekatan kebahasaan dan sastra maka penulis terlebih dahulu
memaparkan defenisi epistomologi itu sendiri. Epistomologi adalah suatu
disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis. Evaluatif
berarti bersifat menilai, ia menilai suatu keyakinan, sikap, pernyataan
pendapatm teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti
menentukan tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran adalah kebenaran
pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji
kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.[17][17] Dalam hal ini penulis mencoba mengklasifikasikan tafsir teoritis ke dalam
tiga fase penafsiran karena menurut asumsi penulis untuk menghadirkan tiga poin
penting dari epistomolgi dibutuhkan pemetaan yang jelas. Begitu pula ,tafsir
teoritis dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sastra memiliki karakteristik
dan perkembangan yang signifikan serta tujuan penafsiran yang berbeda. Ketga
kategori tersebut yaitu (1) epistomologi tafsir kebahasaan pada masa klasik (2)
epistomologi tafsir kesusasteraan masa modern (3) epistomologi tafsir
kesusasteraan pada masa kontemporer.
3.1. Epistomologi Tafsir Kebahasaan Masa Klasik
Secara kategoris , Jhon Wansbrough memetakan karya-karya tafsir yang muncul
pada era klasik menjadi lima jenis. Pertama : tafsir naratif, yakni tafsir
yang penjelasannya disertai ulasan disekitar konteks turunnya ayat, contoh
tafsir model ini adalah tafsir karya Sulaiman ibn Maqatil. Kedua : tafsir legal, yaitu tafsir yang sangat kental dengan
nuansa hukumnya . tafsir karya sulaiman
ini juga merupakan cfontoh yang baik bagi model tafsir jenis ini. ketiga : tafsir tekstual, yaitu tafsir
yang lebih focus pada uraian tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan
ayat Al-Quran. Contohnya adalah tafsir Ma’ani Al-Quran karya al-Farra’. Tafsir
ini lebih berusaha menjelaskan berbagai problem gramtika dan tekstual Al-Quran.
Keempat : tafsir retorik : yaitu
tafsir yang lebih menonjolkan uraian tentang retorika dan sastra Al-Quran,
seperti tafsir Majaz Al-Quran karya Abu Ubaidah. Kelima : tafsir alegoris, yaitu tafsir yang mengungkap makna
simbolik Al-Quran. Tafsir sufistik karya at-Tustari , merupakan contoh yang
baik bagi jenis tafsir alegoris.[18][18]
Dari klasifikasi Jhon Wonsbrough dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam tafsir
teoritis adalah jenis ketiga dan keempat, yaitu Tafsir Tekstual dan Tafsir
Retorik.
3.1.1 Sumber Penafsiran
Al-Quran yang diturunkan dengan
bahasa Arab sebagai media komunikasi tuhan dengan manusia mendapatkan perhatian
dari kaum muslim Arab pada masa itu. Bapak tafsir, Ibn Abbas dengan kecerdasan
dan wawasan bahasa Arab yang mumpuni mencoba meneliti kosa kata Al-Quran dengan
merujuk pada sya’ir jahiliah untuk mendapatkan makna asli.
Sehingga dalam al-Risalah karya
Syafi’I sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher
berhasil merampungkan sekitar dua rastus kosa kata dan menemukan arti
etimologis-nya. Penjelasan dua ratus kosa kata Gharib dalam Al-Quran tidak
serta merta berdasarkan Syai’r jahili semata namun sumber dari hadis Nabi dan
penelitian filologis Kibar Sahabat dimanfaatkan oleh Ibn Abbas
dalam merumuskan dan menjelaskan arti kosa kata yang Gharib (asing) atas permintaan Nafi’ bin al- Azraq. Demikian pula
Ibn Abbas menukil dari filolog buku-buku pra-islam yaitu Abu al-Jald
Mukahdraman dan wawasan dari Ka’ab al-Ahbar dan Abdullah bin Salam, muallaf
dari agama Yahudi.[19][19]
Perluasan kekuasaan islam pada masa awal islam yang meliputi bangsa Arab
maupun non-Arab mengakibatkan pengetahuan akan bahasa Arab menjelma menjadi
sebuah kebutuhan dan niscaya. Al-Quran yang merupakan sumber primer kaum
muslim dan bahasa Arab sebagai bahasa
Al-Quran menjadikan keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan.
Sehingga tidak mengherankan ketika kamus Al-Quran menjamur pada dinasti
Umawiyyah dan Abbasiah sebagai buku pedoman bangsa Arab dan non-Arab dalam
memahami Al-Quran. Begitu pula Konsep I’jaz Al-Quran memotivasi para sarjana
klasik memberi penjelasan hakikat kemukjizatan Al-Quran sehingga upaya yang
mereka kerahkan dapat melahirkan sekian teori-teori bahasa dan sastra yang
kemudian berimplikasi kuat terhadap perkembangan ilmu balaghah dan dikukuhkan
sebagai disiplin ilmu yang independen.
3.1.2 Metode penafsiran
Metodologi penafsiran dengan pendekatan kebahasaan baik oleh ulama
mutaqaddimin maupun muta’akhirin secara umum bersifat deduktif-analitik.
Deduktif berarti menafsirkan teks Al-Quran dengan berupaya merincikan makna
asli (exact meaning) kosa kata
Al-Quran dengan merujuk pada pemakaian bahasa bangsa Arab pada masa Al-Quran
diturunkan dengan pendekatan filologi terhadap syi’ir jahiliah dan bahasa Arab kuno. Analitik berarti menafsirkan
Al-Quran dengan cara atomistik, parsial dan terpisah-pisah sesuai dengan urutan
ayat Al-Quran dalam mushaf utsmani. Pada perkembangannya corak penafsiran
kebahasaan jenis ini menyesaki Al-Quran dengan kaidah-kaidah kebahasan dari
segi gramatikalnya sehingga oleh Muhammad ‘Abduh dikritik dengan mengatakan
bahwa analisis I’rab Al-Quran pada penafsiran kebahasaan islam klasik tidak
layak disebut sebagai tafsir tetapi sebagai ajang latihan disiplin ilmu
gramatikal Arab terhadap Al-Quran.[20][20]
Pada perkembangan selanjutnya, para gramatikus yang bergelut dengan
penafsiran Al-Quran merumuskan beberapa kaidah dengan pendekatan kebahasaan
sebagai berikut : (1) redaksi yang bersifat umum mengandung pengertian umum
yang sepadan (2) alif-lam pada kata
sifat dan ism al-jins menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya (3) an-nakirah dalam konteks an-nahy, an-nafy, as-syarah atau al-istifham
menunjuk pada pengertian umum.(4) al-Mudhaf
(kata kepunyaan) juga menunjuk pada pengertian umum sebagai ism al-jam’I (5) ism yang disebutkan
secara tersendiri menunjuk pada pengertian sefcara umum. (6) peniadaan objek
kalimat yang menunjuk pada pengertian umum yang sepadan. (7) jawab as-Syart yang tidak disebutkan
dalam ayat menunjukkan penting atau dahsyatnya hal yang dibicarakan.[21][21]
penafsiran retoris masa klasik merupakan benih perkembangan tafsir sastra
pada masa kontemporer. Konsep majaz yang digagas oleh Abu Ubaidillah berangkat
dari perkenalan akut para sarjana klasik dalam memhami doktrin I’jaz Al-Quran
dari aspek retorika dan keindahan bahasanya. Yang kemudian melahirkan teori Metafora (Isti’arah), seni perbandingan ( Tasybih), parabel (Matsal) dan metonisme (kinayah)
yang merupakan bentuk-bentuk Majaz. Dan kemudian teori konstruksi teks (Nadzm) yang dirintis oleh al-Jahidz dan
dilanjutkan oleh al-Jurjani dalam “ Dala’il
al-Ijaz” nya dan diaplikasikan secara praksis terhadap teks Alqran oleh
al-Zamakhsyari dalam “al-Kassyaf” dan
Said Nursi dalam “ Isyarat al-I’jaz fi
madzanni al-Ijaz” sehingga bisa disimpulkan bahwa teori Majaz dan Nadzm
merupakan elemen-elemen formatif tafsir teoritis sebagaimana Nur Khalis
Setiawan kisahkan.
Majaz yang diartikan sebagai lawan dari haqiqah, [22][22]sebagaimana dipahami oleh Al-Jahidz yang kemudian dikembangkan Van Ess
dengan pengertian sebagai : sesuatu yang melampaui batas-batas leksikal[23][23] mengindikasikan bahwa
penafsiran progresif dan non-tekstual dapat ditemukan pada penafsiran sarjana
islam klasik terlebih pada literautur Mu’tazilah. Dari penjabaran diatas dapat
disimpulkan bahwa metodologi tafsir retoris menggunakan teori-teori sastra
klasik dalam menyibak keindahan bahasa Al-Quran meskipun secara umum masih
menggunakan metode deduktif-analitik dari penafsiran yang mereka suguhkan.
3.1.3. Validitas Penafisran
Dalam ilmu semantik kontemporer makna dapat diklasifikasikan dengan makna
dasar ( Grundbedutung) dan makna
relasional (relational Bedeutung).
Makna dasar yang dimaksud disini adalah kandungan kontekstual dari kosa kata
yang akan tetap melekat pada kata tersebut, meskipun kata tersebut dipisahkan
dari konteks pembicaraan kalimat.
Sementara makna relasional adalah makna konotatif, yang dalam prakteknya,
sangat bergantung kepada konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya
dalam kalimat.[24][24] Menyoal validitas penafsiran
teoritis dengan pendekatan kebahasaan dalam Al-Quran sejatinya keabsahan sebuah
penafsiran jika penafsiran tersebut sesuai dengan makna asli (exact meaning) atau makna dasar bahasa
Arab ketika Al-Quran diturunkan. Begitu pula validitas penafsiran teoritis
dengan pendekatan sastra apabila sebuah penafsiran sesuai atau adanya
keterkaitan (aspek relasional) dengan
makna dasar.
Adapun kaidah-kaidah dengan pendekatan kebahasaan yang dirumuskan oleh para
sarjana klasik mendapat legitimasi dari otoritas ahli bahasa dan para penafsir
dengan menyatakan bahwa standar validitas penafsiran juga harus sesuai dengan
kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diformasikan pada masa klasik agar
terhindar dari penafsiran liar yang tidak terikat dengan batas-batas leksial
teks Al-Quran.
Dalam kajian epistomologi, dikenal tiga teori kebenaran yang kerap
dijadikan sebagai acuan kebenaran, yaitu (1) teori kebenaran korespondensi (2)
teori kebenaran koherensi, dan (3) teori kebenaran pragmatik. Kembali pada
validitas penafsiran teoritis klasik sejatinya menganut teori kebenaran
korespondensi. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa
suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalm
pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut.[25][25] Berangkat dari teori tersebut
dapat disimpulkan bahwa validitas sebuah penafsiran apabila berkorespondensi
dengan makna dasar bahasa Arab.
3.1.4. Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik penafsiran teoritis klasik diantaranya adalah (1) minimnya
budaya kritis (2) penafsiran yang dilakukan umumnya lebih menekankan pendekatan
pada al-ma’na ijmali ( pengertian
kosa kata secara global)(3) posisi teks sebagai subjek dan Mufassir sebagai objek. Tujuan penafsiran relatif pada tataran
sekedar memahami makna dan belum sampai ke dataran Maghza. [26][26]Sehingga bisa disimpulkan
bahwa penafsiran teoritis masa klasik dijadikan sebgai sebuah medium untuk
memahami makna Al-Quran, terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa dengan lidah
Arab.
3.2. Epistomologi Tafsir Kesusasteraan Masa Modern
3.2.1 Sumber Penafsiran
Muhammad ‘Abduh yang juga merupakan representator penafsir modern dengan
corak adab-ijtima’I ( corak sastra dan sosial), Muhammad ‘Abduh menegaskan
bahwa sebaik-baik sumber penafsiran dalam memahami term Al-Quran adalah kembali
kepada Al-Quran itu sendiri dengan bahasa Arab ketika diturunkan dan mengkritik
upaya memahami makna teks dengan merujuk pada term agama-agama samawi yang
memiliki jarak waktu yang berabad-abad.[27][27] Disamping itu sumber penafsiran lainnya adalah perangkat-perangkat
interpretasi tradisional ( ilm al-ma’ani
dan al-bayan atau lebih dikenal
dengan Stilistika ) untuk mebuka makna teks.[28][28]dan menjadikan akal sebagai otoritas mendasar dalam interpretasi Al-Quran.[29][29] Ilmu tentang kondisi-kondisi
manusia yang juga dikenal dengan sosiologi dan pendekatan historis terhadap
ruang lingkup Al-Quran diturunkan mendapat perhatian oleh Muhammad ‘Abduh.[30][30] sehingga dengan bahasa Nash
Hamid, Muhammad ‘Abduh telah menyatukan apa yang berasal dari tradisi (turats) dengan ilmu-ilmu modern dalam
upayanya memberikan respon terhadap tantangan yang dilontarkan pada nalar
muslim yang menganggap Al-Quran sebagai rujukan utamanya. Oleh karena itu
tindak interpretasi yang dilakukan oleh ‘‘Abduh bertumpu pada otoritas bahasa
dan otoritas pengetahuan modern [31][31]di dalam suatu bangunan
metodologis yang cermat yang sedemikian
besar sejalan dengan langkah-langkah metode yang akan dijelaskan pada pada
metode penafsiran kesusasteraan masa modern.
3.2.2 Metode Penafsiran
Dari hasil penelitian J.J.G. Jansen aliran penafsiran ala Mesir pada masa
modern mengatakan bahwa corak penafsiran di Mesir sejak munculnya Muhammad
‘Abduh dapat diklasifikan pada tiga bagian (1) philological exegesis :
penafsiran literal terhadap teks (2) Practical
Exegesis : signifikansi teks Al-Quran
terhadap perbuatan manusia, dan (3) Scientific
Exegesis : signifikansi teks Al-Quran
terhadap ilmu pengetahuan.[32][32] Menelisik tafsir Muhammad ‘Abduh dapat
dikatakan bahwa dari ketiga aspek ini ditemukan dalam penafsirannya lebih
kental dengan philological exegesis
sebagai sarana untuk mencapai petunjuk Al-Quran.
Metode bahasa yang sastra yang dirumuskan oleh Muhammad ‘Abduh’ untuk
mendapatkan Hidayah sebagai tujuan penafsiran diformulasikan ke dalam
langkah-langkah berikut[33][33] :
1. memahami data-data kosakata yang ada dalm Al-Quran menurut makna umumnya
sebgaimana yang berlaku ketika diturunkan. Memahami kosakata-kosakata tersebut
sedemikian rupa sehingga mufassir teresebut dapat mewujudkan hal itu melalui
pemakaian-pemakaian ahli bahasa, tidak cukup mengikuti pendapat dan pemahaman
si penafsir, sebab banyak kosakata yang dipergunakan pada saat diturunkan
dengan berbagai makna, kemudian makna-makna itu lebih dominan daripada yang lainnya
dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam langkah ini tampak jelas bahwa Muhammad ‘Abduh menolak proses
memaksakan makna yang berasal dari masa kini terhadap masa lalu sebagai akibat
tidak diperhatikannya makna kosakata yang dipergunakan pada saat diturunkan.
Pola pemaksaan ini menjadi umum saat ini dan tampak jelas dalam banyak buku
tafsi r kontemporer. Barangkali yang paling mencolok dan nyata adalah tafsir
yang disebut dengan tafsir ‘ilmy terhadap Al-Quran.
2. setelah memahami makna dari kosakata-kosakata dalam konteks pemakaian
kebahasaannya, langkah berikutnya adalah memahami stilistika. Dalam hal ini
diperlukan ilmu I’rab dan ilmu stilistika (Ma’ani dan al-Bayan ).
3. langkah ketiga dalam metode ini adalah “ ilmu mengenai kondisi-kondisi
manusia.” Sebab orang yang meneliti kitab ini (Al-Quran) mesti mempertimbangkan
kondisi-kondisi manusia dengan perbagai perkembangan mereka, faktor-faktor yang
menyebabkan kondisi mereka berbeda-beda ; ada yang kuat dan lemah, ada yang
maju dan terbelakang, ada yang menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi
kebodohan, ada yang beriman dan ada yang kafir. Di samping itu, ia juga harus
mengetahui situasi dari maju mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini
dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting adalah sejarah dengan segala
jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap sebagai kelanjutan dari langkah
ketiga ; ada yang kuat dan lemah, ada
yang maju dan terbelakang, ada yang menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi
kebodohan, ada yang beriman dan ada yang kafir. Di samping itu, ia juga harus
mengetahui situasi dari maju mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini
dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting adalah sejarah dengan segala
jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap sebagai kelanjutan dari langkah ketiga
atau derivasi darinya, sebab pengetahuan mengenai kondisi-kondisi manusia
termasuk di dalamnya adalah kondisi yang melekat pada masyarakat Arab dan
lainnya pada era keNabian. Bagaimana mungkin sang mufassir dapat memahami
dengan semestinya kebiasaan-kebiasaan mereka yang dinilai negative oleh
ayat-ayat Al-Quran, atau yang mendekati negative jika ia tidak mengetahui
kondisi-kondisi mereka dan apa saja yang ada pada mereka.
5. langkah kelima jga dapat dianggap sebagai rangkaian dari langkah keempat.
Pengetahuan tentang kondisi masyarakat Arab dan laiinya ada era keNabian
termasuk pula di sini “ pengetahuan mengenai perjalanan hidup Nabi SAW. dan
sahabat-sahabtnya, serta pengetahuan dan tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan duniai dan ukhrawi yang mereka jalankan.
Langkah-langkah yang dirumuskan oleh ‘‘Abduh sebagai metode tafsir, menurut
Nashr Hamid Abu Zaid berkaitan erat dengan dua otoritas yang berdampingan:
bahasa dalam konteks sejarah karena bahasa berlaku pada era turunya wahyu, dan
dunia, bahasa berfungsi sebagai hukum yang menggerakkan dunia baik secara
alamiah maupun sosial dalam proses kesejarahannya. Teks di sini dalam pemahaman
Muhammad ‘Abduh secara implicit, melalui langkah-langkah metodologisnya,
merupakan struktur bahasa yang bermakna dalam konteks sosial-historis, tidak
terlapas, pada saat yang sama, dari kemampuannya memproduksi makna di luar
bingkai konteks tersebut.[34][34]
3.2.3. Validitas Penafsiran
Dari pemetaan metodologis Muhammad ‘Abduh oleh Nashr Hamid Abu Zaid kedalam dua otoritas
yang saling terkait, yaitu teks dan dunia. Maka dapat disimpulkan bahwa
Muhammad ‘Abduh menganut teori kebenaran Korespondensi yaitu adanya kesesuaian
hasil penafsiran dengan makna asli Al-Quran ketika diturunkan dan teori
pragmatis. Teori pragmatis penafsiran mengatakan bahwa sebuah penafsiran
dikatakan benar apabila ia secara praksis mempu memberikan solusi praksis bagi
problem sosial yang muncul. Dengan kata lain, penafsiran itu tidak diukur
dengan teori atau penafsiran lain,
tetapi diukur sejauh mana ia dapat memberikan solusi atas problem yang dihadapi
manusia sekarang ini. berangkat dari semangat tujuan Al-Quran sebagai petunjuk
kepada manusia membuat Muhammad ‘Abduh menyajikan tafsirnya sesuai dengan
kebutuhan zaman (need of the times/ hajat
al-ashr).[35][35]
3.2.4. Karakteristik
dan Tujuan Penafsiran
Tafsir Muhammad ‘Abduh mengkritisi penafsiran dengan menggunakan dan
memusatkan suatu pendekatan dan mengabaikan pendekatan-pendekatan lainnya. Hal
itu Nampak jelas dari kritikan penafsiran yang disesaki dengan data-data I’rab
Al-Quran yang kemudian mengaburkan petunjuk Al-Quran yang diimani kaum muslim
sebagai pedoman primer.[36][36] Corak penafsiran Muhammad
‘Abduh seringkali disebut dengan tafsir sosial yang bernuansa sastrawi.
Sebagaimana disinggung diatas bahwa tujuan penafsiran Muhammad ‘Abduh adalah
sebagai kitab petunjuk yang darinya manusia mendapatkan hidayah. Dari sisi lain
sarana yang mengantarkan pada tujuan asas Al-Quran adalah metode bahasa yang
sastra.[37][37]
3.3. Epistomologi Penafsiran Kesusasteraan Masa Kontemporer
3.3.1 Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran kesusasteraan masa kontemporer dihasilkan dari teks
Al-Quran sendiri. Amin al-Khuli menegaskan bahwa analisis kebahasaan kosa kata
Al-Quran dapat diklasifikasikan dan disibak makna asalnya dari dua poin yaitu
dari sisi etimologis dan dari pengertian atau term Al-Quran itu sendiri.[38][38] Begitu pula upaya Al-Khuli
dalam menafsirkan Al-Quran menempatkan dan memberikan derajat lebih tinggi
kepada akal atas sebuah teks.[39][39]dengan memberikan peluang
besar terhadap teori-teori sastra dan filsafat bahasa modern yang kemudian
difilterisasi dan diaplikasikan dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam hal ini
al-Khuli memberikan perhatian besar terhadap literature klasik dan modern dalam
merumuskan konstruk metodologinya dalam penafsiran sastra Al-Quran. Sumber
penafisran murid-murid al-Khuli semisal Ahmad Khalafullah dan Ai’syah bintu
Syati’ menjadi makmum atas guru-gurunya yang kemudian dikembangkan oleh Nashr
Hamid Abu Zaid yang menjadikan realitas sebagai sumber penafsiran.
3.3.2. Metode Penafsiran
Amin al-Khuli merupakan pelopor wacana tafsir sastra Al-Quran pada abad dua
puluh. Keseriusan al-Khuli dalam
mengkaji Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa
dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan
penting yang berbicara tentang bahasa sastra dan kritik sastra dalam karnya fi adab al-Mishri dan Fannal-Qawl. Interaksi al-Khuli dengan
Al-Quran dalam memahami maknanya, mencoba menganalisis Al-Quran dan mendudukkan
sebagai sebuah teks Arab teragung dan terbesar yang pernah ada. Kemudian
dianalisis secara tematis. Kajian al-Khuli terhadap Al-Quran mengedepankan dua
prinsip metodologis yaitu : studi
sekitar Al-Quran (dirasah ma haula
Al-Quran) dan studi tentang teks itu
sendiri (dirasah fi Al-Quran nafsih). Kajian
pertama diarahkan kepada investigasi latar belakang Al-Quran, dimulai
dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab
sebagai obyek wahyu, beserta kodifikasi dan variasi cara baca : sebagai sebuah
kajian yang kemudian lebih dikenal dengan ‘
Ulumul Quran. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosio-historis Al-Quran
termasuk didalamnya situasi intelektual, Kultural, dan geografis masyarakat
Arab abad ke tujuh ketika Al-Quran diturunkan.[40][40] Kajian ini secara umum berujung pada : (1) kajian teks, filologis, dan
penjelasan tentang sejarah perkembangannya. (2) penjelasan mengenai latar
belakang tempat Al-Quran muncul, sumber darimana ia lahir, bagaimana
perkembangan makna-maknanya.[41][41] Selanjutnya kajian
kedua pada studi tentang teks Al-Quran dari berbagai segi. (1) Ia
mengawali dengan investigasi terhadap kosa kata inividua Al-Quran (mufradat, semenjak pertama diwahyukan,
perkembangan, serta pemakaiannyadalam Al-Quran, agar kata-kata tersebut dapat
dipahami secara totalitas (2) kemudian diikuti dengan perhatian sepenuhnya
terhadap kata-kata majemuk (murakkabah),
yang tentunya analisis tersebut didasarkan
pada pengetahuan tentang gramatik dan balaghah.[42][42]
Menarik untuk dielaborasi lebih lanjut pemikiran Amin al-Khuli dalam tafsir
Al-Quran, al-Khuli mencoba mengaitkan balaghah dan ilmu jiwa sehingga
memungkinkan adanya kemukjizatan Al-Quran secara psikologis. Al-Khuli mengakui
adanya kebutuhan untuk mengetahui tafsir psikologis terhadap Al-Quran. Tafsir
ini didasarkan pada pengetahuan yang komprehensif dan sejauh mungkin terhadap
rahasia-rahasia gerak-gerak jiwa manusia sebagaimana yang diketahui kajian ilmu
ini. Tafsir Psikologis Al-Quran menurut al-Kuhli adalah tafsir Al-Quran yang
didasarkan pada upaya menangkap hal-hal yang dipergunakan oleh Al-Quran, yaitu
gejala-gejala jiwa, dan hukum-hukum spritualitas. Sehingga penjelasan Al-Quran
dapat diketahui apakah dalam rangka
berargumentasi, memberikan petunjuk, mencoba meyakinkan atau mendebat,
membangkitkan atau mengancam.[43][43]
Proyek Metodologi yang dikembangkan al-Khuli memiliki kemiripan dengan
proyek hermenutika Schleiermacher, kendati tidak ditemukan dalam karyanya
deretan nama filosof dan sastrawan barat, tapi ada dugaan kuat al-Khuli telah
berkenalan dengan pemikiran Schleiermacher ketia ia menetap di eropa yaitu di
italia dan Jerman selama 4 tahun. Begitu pula al-Khuli menguasai dua bahasa
tersebut.[44][44]
Ahmad Khalafullah, sarjana konvensional yang menganggap teks-teks kisah
sebagai bagian dari teks ambigu ( mutasyabihat)
merupakan elaborasi dari metode adabi
dan maudhu’i yang ditawarkan oleh
al-Khuli. Bukti dari statemen ini adalah pengakuan Khalaf sendiri dalam
pendahuluan, disamping cara kerja yang ditempuh yang sama persis dengan yang
dikehendaki al-Khuli. Cara kerja yang dtempuh Khalafullah diantaranya adalah
mengumpulkan teks-teks yang berbicara tentang kisah, kemudian mengurutkan
sesuai kronologi turunnya (tartib
al-nuzul) dan disusun dengan member pemaknaan terhadap teks tersebut
melalui jalur adabi (susastera).[45][45]
Selain Khalafullah yang mengadopsi metode al-Khuli. Bintu Syati’ yang
memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman (w 2000) yang bertindak sebagai murid
juga istri setia al-Khuli menerapkan prinsip metodologis al-Khuli dalam
memahami Al-Quran dalam tafsirnya “al-tafsir
al-bayani li Al-Quran al-Karim” yaitu dengan membiarkan Al-Quran berbicara
tentang dirinya, karena, dalam teks Al-Quran, teks salin menjelaskan satu sama
lain. Pembebasan terhadap Al-Quran ini bukan berarti memahami teks tanpa
menggunakan perangkat, akan tetapi, setelah pertautan antara suatu teks dengan
teks lainnya diketahui, maka cara yang kemudian dikedepankan adalah pelacakan
makna yang dikehendaki teks dengan analisis linguistik dan sastra dengan
medan-medan semantik yang jelas. Dalam pengantar tafsir Bintu Syati’ setidaknya
memberikan 2 elemen dan langkah teoritis
penting dalam metode tafsir yang ditawarkannya. (1) penelitian terhadap makna
leksikal kosa kata Al-Quran yang kemudian di jadikan sebagai sarana untuk mengetahui makna yang
dikehendaki dalam konteks pembicaraan ayat. (2) perlibatan semua ayat yang
berbicara tentang satu topik tertentu yang sama. Langkah kedua ini merupakan
bentuk pemberian “ kesempatan” agar Al-Quran berbicara mengenai dirinya
sendiri.[46][46]
Sarjana ketiga yang mengikuti sekaligus menopang metdoe susastra adalah
Syukri Ayyad. Ia menulis buku berjudul al-Din
wa al-Hisab : Dirasah Qur’aniyyah. Sembari menggunakan metode analisis
susastera yang dikembangkan oleh al-Khuli, Ayyad berpendapat bahwa persoalan
eskatologis yang ada dalam Al-Quran merupakan symbol keagamaan dalam kemasan
susastra yang hendaknya dipahami hidayahnya.prinsip metedologis Ayyad dalam
tafsirnya adalah (1) investigasi terhadap makna literal kosa kata Al-Quran
dengan perhatian khusus pada asal kata, perkembangan, serta pemakaiannyadalam
masyarakat pada saat Al-Quran diturunkan. (2) meneliti gaya tutur Al-Quran
melalui stilistik dan mikro struktur dalam kalimat. Sedangkan yang (3) adalah
meneliti aspek sosial dan cultural Arab, terutama saat teks diturunkan. Ketiga
langkah tersebut dalam penelitian Ayyad, menghasilkan kesiimpulan bahwa
eskatologi Al-Quran bisa dipilah menjadi tiga model (1) penghadapan langsung (al-tawjih) (2) ilustratif (al-tashwir) (3) menggunakan situasi dan
kondisi yang berlawanan, seperti surga versus neraka.[47][47]
Nashr Hamid Abu Zaid merupakan generasi al-Khuli yang produktif dan bahkan
gigih mengembangkan metode kesusasteraan dalam kajian Al-Quran. Abu Zaid
mengawali dengan penetapan hubungan atau ralasi antara teks dan interpretasi.
Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian,
teori interpretasi tidak bisa dipisahkan
dari teori teks.dalam diskursus interpretasi klasik, keduanya dipisahkan,
mengingat teks diyakini sebagai kepastian religious yang tidak membutuhkan
interpretasi atau ta’wil, sementara
yang kedua, yakni ta’wil, dianggap
sebagai teks dalam pengertian aslinya dengan menolak teori tradisional
tentangnya sebagai teks tertutup, sebaliknya, menjadikannya sebagai teks
terbuka yang menuntut adanya interpretasi.” Ta’wil
merupakan sisi lain dari teks” statemen abu Zaid ini berada pada level
epistomologis, seperti diungkapkan Abu Zaid di beberapa kesempatan : “ teks
memiliki eksistensi, bebas dari interpretasi dan komentari”. Statemen ini
selayaknya dipahami bahwa teks menggiring kepada aktivitas interpretasi untuk
menemukan dunianya.[48][48]
Abu zaid banyak berbicara tentang “interpretasi objektif” meski dalam
kenyataannya sangat sulit, yang ia sebut dengan ta’wil sebagai pembanding interpretasi ideologis atau yang ia sebut
dengan talwin. Diskusi tentang interpretasi obyektif sebagai cita-cita ,
sejatinya tidak bisa dipisahkan dari dua mazhab besar teori interpretasi, yakni
hermeneutik. Yang pertama adalah mazhab obyektif yang diusulkan oleh beberapa
sarjana seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Emilio Betti, dan
ED. Hirsch. Sedangkan yang kedua adalah mazhab subyektif yang dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikran Martin Heidegger dan Hans Georg Gadamer.[49][49]pemetaan hermeneutika dapa pula diklasifikasikan sebagai hermenutical
theory yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang
diinginkan pengarang (author0 dan hermeneutical
philosophy yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman.
[50][50]Abu Zaid menggabungkan dua
model hermeneutika ini, meski terlihat
pengaruh mazhab obyektif lebih besar ketimbang subyektif. Berkaitan dengan
takwil sebagai pembacaan kreatif atas teks diharapkan mampu melahirkan
pemahaman obyektif, Abu Zaid memisahkan antara “makna” (al-ma’na) dengan “signifikansi (al-Maghza).
Pemisahan keduanya tidak pula bisa dipisahkan dari pemikiran Hirsch, yang
pernah mengatakan “ bukan makna yang berubah tapi signifikansinya.[51][51]
Dari penjabaran tokoh-tokoh kontemporer yang mencoba mendekati Al-Quran
dengan metode sastra dapat disimpulkan bahwa prinsip metodologis lebih bersifat
interdispliner, mulai dari tematik, hermeneutik, hingga linguistik dengan
pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, historis, semantik dan
disiplin keilmuan masing-masing mufassir.[52][52] Teori hermeneutika yang
mereka kembangkan adalah hermeneutika teoritis yang berisi cara untuk memahami.
Dalam teori hermeneutika ini merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman
yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu?
Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teoritis. Tentu saja sebagaimana
asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka
hermeneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks
sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman
yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis
dan sintaksis, perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu
berasal? Untuk tujuan apa. Dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangya
ketika teks tersebut disusun? Dan lain sebagainya.[53][53]
3.3.3 Validitas
Penafsiran
Terkait dengan validitas penafsiran, tafsir teoritis masa kontemporer
menganut tiga teori kebenaran yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan
teori pragmatisme. Pertama : teori koherensi. Teori ini mengatakan bahwa sebuah
penafsiran dianggap benar apabila ia sesuai dengan proporsi-proporsi sebelumnya
dan konsisten menerapkan metodologi yang dibangun oleh setiap penafsir.[54][54] Menelisik prinsip metodologis
dan aplikasi metode dalam tataran praksis oleh Amin al-Khuli beserta
murid-muridnya, sangat boleh dikatakan bahwa mereka konsisten menerapkan metode
sastra atau tafsir sastra dalam mendekati Al-Quran yang mampu memberikan
kontribusi yang signifikan dalam menghadapi kegelisahan-kegilsahan kaum muslim
dewasa ini. kedua : teori korespondensi : seperti yang telah dijelaskan
defenisinya diatas bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia
berkorespondensi, sesuai dan cocok dengan fakta ilmiah di lapangan.[55][55]para penafsir sastra Al-Quran
menganut teori ini lantaran mereka sangat mengindahkan ojektivitas penafsiran
yang diukur oleh adanya kesesuaian antara hasil penafsiran dengan makna dasar
ketika Al-Quran diturunkan dengan menggunakan pendekatan historis dan filologi.
Ketiga : teori Pragmatisme : teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran
dikatakan benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi prkasis bagi
problem sosial yang muncul.[56][56] Mengevaluasi tujuan
penafsiran Tokoh-tokoh tafsir sastra kontemporer adalah al-bayan (pengantar
sastra) sebagai pembaharuan terhadap teori interpretasi para sarjana klasik
yang kerap dikacaukan dengan pengkaburan makna dasar teks oleh tafsir
afirmatif. Tujuan penafsiran Amin al-Khuli mencoba memurnikan nalar bayani
dengan pendekatan teori-teori sastra modern.
3.3.4 Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik dasar dari penafsiran sastra kontemporer bersifat kritis.
Amin al-Khuli menyatakan bahwa awal pembaharuan
adalah membunuh pemahaman lama ( awwal al-tajdid qatl al-qadim fahman), transformatif, solutif
dan non ideologis[57][57]. Jika Tujuan dari interpretasi
Muhammad ‘‘Abduh adalah semangat mendapat petunjuk dari Al-Quran maka tujuan
paling awal dan mendasarbagi proses bagi Amin al-Khuli adalh “ al-Bayan” sebab tujuan inilah yang :
darinya muncul berbagai tujuan lainnya dan yang mendasari berbagai tujuan tersebut
( dan di antaranya adalah tujuan
mendapatkan hidayah menurut Muhammad
‘‘Abduh). tujuan ini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum berupaya mewujudkan
tujuan manapun lainnya, apakah itu tujuan lain tersebut bersifat ilmiah atau
praktis, keagamaan dan duniawi.
4. Epilog
Dalam khazanah ilmu tafsir ditemukan dua term yang sangat akrab bagi
pengkaji tafsir, yakni : Tafsir dan Ta’wil. Istilah tafsir lebih dikenal
sebagai cara untuk mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang
terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Sedangkan Ta’wil lebih pada
penemuan makna dari teks yang bersifat metaforis. Ta’wil dapat dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu : Pertama : ta’wil atau penafsiran yang melewati
batas-batas leksikal dan adanya keterkaitan dengan makna dasar. Penafsiran
jenis ini kerap digunakan dalam tafsir retoris dan sastra Al-Quran. Kedua :
ta’wil atau penafsiran yang melampaui batas-batas leksikal tanpa ada
keterhubungan dari segi bahasa dengan makna dasar. Metode ta’wil jenis ini
dapat dijumpai dalam tafsir sufistik.
Metode tafsir dan ta’wil jenis pertama dikategeorikan dalam nalar bayani.
Sedangkan metode Ta’wil jenis kedua dikategorikan sebagai metode nalar Irfani.
Aplikasi sebuah nalar dalam tahap hegemoni dan mendominasi mengakibatkan
fanatisme-reduksionis dan otoritas tertinggi yang menjadi tujuan penafsiran.
Pendekatan at-Ta’wil al-‘Ilmi yang merupakan tawaran solutif Amin
Abdullah terhadap kegelisahan intelektual dengan menjadikan pendekatan
al-Ta’wil al-Ilmi sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan
jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara sungguh-sungguh antara
paradigma epistemologi Bayani, paradigma epistemologi Burhani dan
paradigma epistemologi ‘Irfani dalam satu gerak putar yang saling
mengontrol, mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat
pada masing-masing paradigma, khususnya jika masing-masing paradigma berdiri
sendiri-sendiri, terpisah antara yang satu dan lainnya. Pesan kemanusian dan
keadilan yang melekat dalam al-Qur’an yang sering disebut dengan istilah rahmatan
li al-alamin (universal) hanya dapat dipahami dengan baik jika para
penafsir kitab suci kontemporer memahami adanya tiga paradigma epistemologi
pemikiran keislaman dan mampu mendialogkan secara kritis-dinamis-proporsional
baik secara pribadi maupun kelompok sehingga ekslusivitas pemikiran (ideas;
thought) dan kelembagaan sosial-keagamaan (institution) dapat
dihindari sedapat mungkin dan kerjasama atau cooperation antar berbagai
kelompok sosial keagamaan menjadi niscaya tanpa harus mendahulukan prejudice-prejudice
kultural, sosial maupun keagamaan. Hanya dengan demikian, barangkali apa yang
disebut transformasi sosial dan humanisasi ilmu-ilmu keislaman lewat penafsiran
dan pemaknaan pesan-pesan kitab suci yang bersifat emansipatoris dapat
teraktualisasikan baik secara teori maupun praksis.[58][58]
[1][1] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan,
Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.129-130
[3][3] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir,
terj.M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm. 88-89
[4][4] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan,
Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.133
[5][5] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir,
terj.M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm.94-95
[6][6] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats
al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991)
hlm. 65
[7][7] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan,
Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.137
[8][8] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats
al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991)
hlm. 65
[9][9] . Phil. Nur Khalis Setiawan,
Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.138-139
[12][12] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman
al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni
al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm. 873-874
[14][14] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman
al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni
al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm.874
[17][17]J.Sudarminta, Epistomologi Dasar,
Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[19][19]Fuat Sazgin, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud
al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[20][20] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh
Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[22][22] Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran
kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.180
[25][25] J.Sudarminta, Epistomologi Dasar,
Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[27][27]Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh
Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.9
[30][30] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh
Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009)
hlm.10-11
[32][32] J.J.G. Jansen, The Interpretation
of The Quran in Modern Egypt (Leiden : E.J Brill, 1980) hlm. 96
[33][33] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode
Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm.127-129
[35][35] J.J.G. Jansen, The Interpretation
of The Quran in Modern Egypt (Leiden : E.J Brill, 1980) hlm.30
[36][36] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh
Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[38][38] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman
al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni
al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm.893
[39][39] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam
al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini ‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah,
2009) hlm.114
[40][40] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran
kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.12
[42][42] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran
kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.14
[44][44] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam
al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini ‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah,
2009) hlm.
[45][45] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran
kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm. 32
[50][50] Fahruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Quran, tema-tema controversial (Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 7
[51][51] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran
kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.46
[53][53] Fahruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Quran, tema-tema controversial (Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 8
[58][58] Amin Abdullah, prolog dalam
Dekonstruksi Pemahaman Teks Kitab Suci Agama ( Yogyakarta : Pustaka Rihlah,
2008) hlm. 1-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar