Selasa, 18 Juni 2013

Filsafat Aristoteles

Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij).  Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar dan realitas.
Semakin besar pengenalannya,  semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.  Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal?   Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter  ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia,  sebagai makhluk dinamis dan progresip, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran,  penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti.  Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini.  Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini.[1] Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2]  Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati.  Dengan kata lain,  akal yang digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari)  antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai subordinat dari filsafat menjadi mesti adanya.
Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat – yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus membahas instrumen dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini.  Dan hal ini merupakan raison d'être pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin.[3] Walhasil,  pembahasan epistemologi -sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat - harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.
Apa itu Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Masalah-masalah Filosofis; Masa  Yunani dan Masa Medieval
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham.  Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah sistem keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam otoritas skriptural sebagai nara sumber keyakinan agama.
Masa Plato dan Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana berikut ini, 
Topik Pemikiran:
Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2 dunia:  dunia ide & dunia sekarang (semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani.
Kenyataan sejati,  menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa diindera.
Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.
Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles, kehidupan  dunia dan alam nyata.
Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan abstraksi lalu diolah dengan logika.
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.

Rasio Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis  kubu empiris (inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah  logika deduktif  (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma.  Sementara orang-orang seperti,  Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman,  persepsi dan inderawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat,  Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia. Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi.      Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
Urgensi Epistemologi
Dunia ini penuh dengan berbagai maktab dan ideologi. Setiap ideologi berlandaskan pada suatu "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" ini berpijak pada epistemologi. Dari sini manusia mengetahui dengan jelas betapa pen­tingnya epistemologi. Seseorang yang memiliki ideo­logi materialisme, yang tentunya ideologi itu berlandaskan pada pandangan dunia materialis, dan pandangan ini juga berpijak pada suatu epistemologi khusus. Dan ideologi-ideologi yang lain, juga ber­sumber dari pandangan-pandangan dunia lain, dan pandangan-pandangan ini masing-masing berpijak pada epistemologi-epistemologi tertentu. Oleh karena itu, sebelum memasuki berbagai pembahasan berkenaan dengan ideologi dan pandangan dunia, terlebih dahulu akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Pada masa sekarang ini epistemologi merupakan suatu masalah yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu hal ini tidak begitu dianggap penting. Epistemologi telah dikaji sejak dahulu kala, kurang lebih sejak dua ribu tahun yang lalu. Di dalam filsafat Islam, kita tidak akan menjumpai suatu bab yang ber­judul Nazhariah al-Ma`rifah atau "Teori Pengetahuan". Tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah epistemologi, dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan tentang bentuk pemi­kiran dan yang berhubungan dengan diri dan jiwa. Oleh karena itu, sejak dahulu kala sedikit banyak mereka juga memahami masalah epistemologi, tetapi pada masa sekarang ini, pembahasan filsafat lebih banyak berputar pada masalah epistemologi.
Kemungkinan Epistemologi
Pembicaraan pertama dan klasik dalam bab epistemologi adalah mungkinkah epis­temologi itu? Mungkinkah kita mengetahui dan mema­hami hakikat alam ini? Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Mungkinkah mengetahui hakikat wujud ini?[4] Ada sekelompok orang yang secara total menolak adanya kemungkinan ini, dan mengatakan bahwa epistemologi tidak mungkin ada pada diri manusia. Yakni pada diri manusia tidak ada suatu ben­tuk epistemologi yang dapat dijadikan sebagai sandaran yang bisa dipercaya. Istilah "saya tidak tahu" sudah merupakan kodrat, ketentuan dan nasib manusia yang tidak dapat diubah. Secara sekilas pandangan ini lemah dan tidak perlu dihiraukan, tetapi para pendukung gagasan ini memiliki berbagai argumen yang kuat, yang tidak mudah dipatahkan. Saya tidak hendak mengatakan bah­wa hal itu tidak mungkin (mematahkan argumen mere­ka), tetapi saya mengatakan bahwa hal itu tidak mudah.
Pyrho dan Kemungkinan Epistemologi
Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang menamakan dirinya "Kelompok Peragu" dan yang paling terkenal di antara mereka adalah seorang yang bernama Pyrho. Ia mengungkapkan sepuluh argumen mengenai ketidakmungkinan epistemologi. Ia mengatakan, "mustahil dapat mengetahui sesuatu dengan pasti, ragu-ragu dan saya tidak tahu adalah keten­tuan dan nasib pasti manusia". Argumen yang paling ringan ialah tatkala ia menyatakan, "Jika manusia itu hendak memahami dan mengetahui sesuatu, apa alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memi­liki alat lebih dari dua: indera dan rasio. Sekarang saya bertanya, Apakah indera dapat berbuat kesalahan atau­kah tidak? Pasti semua menjawab bahwa kesalahan yang terjadi pada alat penglihatan, pendengaran, pera­sa, peraba dan penciuman tidak dapat dihitung jumlah­nya, dan bahkan ada yang menyatakan mampu untuk membuktikan seratus kesalahan yang telah dilakukan oleh alat penglihatan. Ia melanjutkan, "Sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan dan sandaran. Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya tidak dapat mempercayai penglihatan saya tatkala penglihatan itu melihat sesuatu yang lain." (Islam dan Epistemologi)
Lalu bagaimanakah dengan rasio? Ia mengatakan, "Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebihi indera. Pada berbagai argumen rasional, ilmuwan dan para filsuf seringkali melakukan kesalahan. Dengan demikian, indera dan rasio dapat melakukan kesalahan, sementara kita hanya memiliki dua alat ini. Oleh karena itu, bagaimanapun dan apa pun yang kita pikirkan, apa pun yang berhubungan dengan rasio dan indera, maka jelas dapat menjadi salah, dengan demikian, kita tidak dapat mem­percayainya dan menjadikan keduanya itu sebagai pe­gangan." (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 25)
Keraguan al-Ghazali
Di antara ulama Islam seseorang yang pertama kali memulai filsafat dan madrasahnya dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali memulai aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes. Kedua sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya dari keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan. Tetapi ada dari mereka yang memulai aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada dalam keraguan, hal ini terdapat dalam dunia Islam dan juga dunia Barat dan jika ada kesempatan saya akan menceritakan ringkasan sejarahnya. Tatkala al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia mera­gukan segala yang ada. Yakni dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju indera dan mengatakan, "Sekarang saya duduk di sini, buku ada di depan saya, pena dan kertas ada di tangan saya, saya tengah melihat angkasa, saya tengah mendengar ber­bagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu terhadap keraguan saya ini". Kemudian dia memberi jawaban kepada dirinya sendiri, (bahkan di sini pun dia masih tetap tidak stabil dan terjerumus dalam kesalahan). la mengatakan, "Wahai Ghazali! Sampai sekarang ini engkau masih tengah bermimpi. Misalnya saja dalam mimpi engkau duduk dan menulis buku, sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar pembicaraannya, dan di alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata kepalamu sendiri, memakan makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya seperti yang diungkapkan oleh Nasim Syumol mengenai ke­luhan si fakir yang hidup sengsara,
Suatu malam aku bermimpi mengenakan pakaian baru
Ku dengar alunan musik dan aku di ranjang yang hangat dan lembut
Sakuku penuh dengan uang yang tak terhitung
Tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian
Wahai Ghazali! Tidakkah dalam alam mimpimu engkau telah melihat hal-hal yang semacam ini? Seba­gaimana sekarang ini engkau tidak merasa ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpimu pun engkau tidak merasa ragu atas apa-apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam mimpinya dan mengatakan, "Apakah yang aku lihat itu betul atau salah? Di alam mimpi manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar ia sak­sikan, tetapi ketika ia terjaga, ternyata semua itu hanya khayalan dan tidak ada bentuknya, tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian.
Mungkinkah seluruh kehidupanku ini bukan mimpi besar? Apakah tidak mungkin sekarang ini saya, Ghazali, yang dilahirkan oleh ibuku si fulana dan memi­liki ayah si fulan, menuntut ilmu di sekolah, menikah, belajar selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri, dan sekarang duduk di sini, lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan bahwa semuanya hanyalah mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi? Adakah bukti yang memperkuat bahwa kehi­dupan saya sekarang ini, di mana sekarang ini saya duduk sebagai filsuf dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran, adalah bukan merupakan lanjutan dari sebuah mimpi panjang?" (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 26)
Pernyataan itu menunjukkan bahwa betapa manusia dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemologi dapat terperosok dalam berbagai jurang kesulitan.
Descartes dan Masalah Epistemologi
Bukankah Descartes juga demikian? Descartes juga pada saat meneliti "pandangan dunia"nya, memeriksa keyakinannya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat dan berbagai ilmu-ilmunya, tiba-tiba ia terperosok ke dalam masalah epistemologi dan mengatakan, "Dengan dalil apa tatkala saya menyatakan bahwa dunia ini ada­lah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, ruh itu ada, dunia ini ada, Paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian?" Kemudian ia menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi, ia melihat bahwa semua­ nya masih dapat diperdebatkan lagi. la hendak bersan­dar pada indera, ia melihat bahwa indera adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan yang lain. la hendak bersandar pada rasio, ia juga melihat bahwa rasio memiliki kelemahan. Tiba-tiba ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia mulai mera­gukan segalanya dan tidak tersisa lagi keyakinan dalam dirinya. Tatkala ia telah tenggelam dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini, tiba-tiba ia disadarkan oleh poin ini yang mana ia mengatakan, "Sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu bahwa saya tengah dalam keadaan ragu." Descartes berdiri di atas sebuah batu besar di alam terbuka dan mengatakan, "Saya telah menemukan sesuatu; tatkala saya meragu­kan indera saya, meragukan berbagai pengetahuan rasio saya, atau bahkan meragukan pada keberadaan diri saya sendiri, juga meragukan keberadaan Tuhan, meragukan agama dan kehidupan saya, semua itu ada­lah benar. Tetapi saya tidak dapat merasa ragu pada satu hal saja yaitu, saya tidak ragu bahwa saya tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya meragukannya, saya tetap mengetahui bahwa saya tengah merasa ragu." (Mengenal Epistemologi, Muthahhari, hal. 28)
Di bawah langit dan di tengah hamparan bumi itu ia telah berhasil menemukan suatu landasan epistemo­logi. Begitu ia menemukan landasan itu, dengan segera ia membangunnya dengan mengatakan, "Saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Di sini ia telah menemukan suatu keyakinan yakni bah­wa "saya ini ada" dan ia mulai perjalanannya dengan "saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya tengah merasa ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Sekarang marilah kita lihat bersama benarkah apa yang dikatakan oleh Descartes? Ibnu Sina pada masa tujuh ratus tahun sebelum Descartes telah mengungkapkan kata-kata semacam itu, dan ia juga telah berhasil menemukan jawabannya, dan di sini saya tidak akan memaparkan permasalahan itu.
Jawaban atas Keraguan Pyrho
Jika demikian maka masalah pertama epis­temologi adalah masalah kemungkinan epistemologi yang mana mungkinkah manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan mengetahui? Pyrho mengatakan bahwa manusia itu tidak mampu untuk memahami dan mengetahui (hal itu berdasarkan pada argumen-argu­mennya yang telah dikemukakan). Terdapat jawaban dan sang­gahan atas pandangan Pyrho ini. Dalam catatan kaki di buku Ushul Falsafeh (Dasar­-dasar Filsafat) telah dipaparkan berbagai kesalahan atas pandangan ini. Mereka memberikan jawaban kepada Pyrho sebagai berikut, "Anda mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat seakan-­akan ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan, apakah tatkala Anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, pada saat itu juga Anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah Anda merasa ragu bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Tatkala Anda mengatakan bahwa ketika saya bangun dari tidur, dan saya meng­usap kedua mata saya, saya melihat orang yang tengah berdiri di hadapan saya memiliki dua hidung dan em­pat mata, lalu Anda mengatakan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti ia tidak memiliki dua hidung dan empat mata." (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 30)
Jika demikian maka Anda sendiri telah menemukan kekeliruan ini dengan perantaraan sebuah keyakinan, lalu bagaimanakah Anda mengatakan bahwa saya tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan? Ini adalah sebuah pengetahuan (ma`rifah). Tatkala Anda mengata­kan bahwa di suatu tempat rasio telah berbuat suatu kekeliruan, kemudian dengan yakin dan pasti Anda mengatakan bahwa rasio telah melakukan suatu keke­liruan, hal itu sama dengan ungkapan: "Saya mengeta­hui bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan," dengan demikian, Anda telah sampai pada haki­kat. Tatkala manusia masih belum sampai pada hakikat, dia tidak akan mengetahui kekeliruan apa-apa yang ada di depannya.
Oleh karena itu, kita mesti mengatakan demikian bahwa manusia pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat kekeliruan dan juga secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian pengetahuan yang lain. Dengan demikian maka kita mesti melakukan pemba­gian atas kasus permasalahan ini. Kita mesti mencari dan menemukan sebuah neraca, lalu kita perhatikan bersama apakah dengan neraca itu kita mampu untuk mengadakan pembenahan atas berbagai kekeliruan itu ataukah tidak? Kenapa tatkala kita melakukan keke­liruan pada beberapa masalah saja, lalu kita menging­kari epistemologi secara total? Kenapa kekeliruan kita dalam beberapa kasus permasalahan itu, kita sejajarkan dengan berbagai keyakinan kita terhadap berbagai per­masalahan yang amat jelas yang di situ tidak terdapat suatu keraguan pun? Pernyataan Pyrho ini tidak ubah­nya semacam syair milik Sa'di:
Karena di antara sebuah kaum ada seorang jahil
Ia tidak berada di atas bukit dan tidak pula di atas awan
Tidakkah engkau melihat seekor lembu yang ada di padang rumput
Mencemari seluruh lembu yang ada di desa
Benar, kasus tersebut dapat berlaku pada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial, yakni jika ada beberapa individu dari sebuah masyarakat, dari sebuah kelompok, misalnya saja dari kelompok roha­niawan, muncul pribadi-pribadi yang tidak bermoral atau berprilaku buruk, maka hal itu akan mencoreng harga diri mereka semua. Tetapi bukan berarti ketika si Zaid berbuat kesalahan lalu kita menghukum si Amir.
Di kota Balakh pandai besi berbuat salah
Di kota Syusytar mereka memenggal leher pandai tembaga
Sebagian dari epistemologi kita ini adalah salah dan pasti sebagian yang lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi yang benar itu) kita mela­kukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari sinilah munculnya ilmu logika (mantiq).
Ilmu logika adalah sebuah ilmu yang merupakan asas dari epistemologi. Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh epistemologi, sebagian yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memper­oleh pengetahuan adalah karena mereka memukul rata permasalahan yang ada, sementara mereka yang menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, akan mencari neraca yang dapat digunakan untuk menimbang epistemologi yang salah dan yang betul, dan dengan neraca itu pula mere­ka akan memisah-misahkan antara epistemologi yang salah dan epistemologi yang betul.
Kita mesti melihat apa yang dikatakan oleh al-Quran berkaitan dengan permasalahan ini? Apakah al-Quran meng­akui bahwa ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, ataukah al-Quran bahkan menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi? Sekalipun (al-Quran menyatakan) ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, tetapi dikarenakan hal itu datangnya dari al-Quran dan mazhab, maka epistemologi yang berada dalam lingkup ideologi itu, kemungkinan akan memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum tersebut ialah: apakah epistemo­logi itu dibenarkan oleh syariat ataukah bah­kan terlarang? Epistemologi itu boleh atau tidak boleh? Di sini terdapat dua bentuk permasalahan. Pertama, apakah epistemologi itu mungkin ataukah tidak mungkin? Kedua, apakah epistemologi itu diper­bolehkan (ataukah tidak diperbolehkan)? Tentunya Anda telah mengetahui bahwa di dalam Taurat permasalahan ini dijelaskan dengan suatu bentuk penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan dikarenakan kita meyakini bahwa Taurat adalah sebuah kitab yang di dalamnya telah terjadi perubahan dan penyimpangan - yakni tat­kala kita membandingkan dengan al-Quran, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh al-Quran dan juga oleh Taurat - maka kita akan menyaksikan dengan jelas bahwa Taurat dalam menjelaskan permasalahan itu ber­tolak belakang dengan penjelasan al-Quran. Kita sama sekali tidak ragu bahwa penjelasan yang ada dalam Taurat itu, benar-benar telah disimpangkan dan diselewengkan. A-Quran yang merupakan sebuah kitab agama tidak akan mengungkapkan permasalahan ini secara filosofis; yakni dengan bentuk apakah epis­temologi itu mungkin ataukah mustahil? Akan tetapi kita mesti memahami isi al-Quran itu dengan memper­hatikan apakah pandangan dan pendapat yang terdapat dalam a-Quran itu berdasarkan pada kemungkinan epistemologi, ataukah berdasarkan pada kemustahilan epistemologi? Apakah berbagai tuntunan yang ada dalam al-Quran itu dapat dianggap berdasarkan pada kemungkinan epistemologi ataukah pada ketidakmung­kinan epistemologi? Dan masalah yang lain ialah apakah epistemologi itu dibolehkan ataukah tidak diboleh­kan?
Penyimpangan Sejarah yang Paling Merugikan
Dalam Taurat, terdapat peyimpangan yang saya rasa dalam dunia ini tidak ada suatu bentuk penyim­pangan yang lebih merugikan dari bentuk penyimpang­an itu. Kita semua mengetahui bahwa kisah Nabi Adam as selain tercantum dalam al-Quran juga ter­cantum dalam Taurat. Kisah tersebut ialah: Adam as dan istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk menikmati berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang ada, namun di sana terdapat suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak diperbolehkan untuk mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah pohon tersebut dan dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga. Inilah kisah yang terdapat dalam al-Quran dan juga Taurat. Tetapi per­soalannya adalah, pohon apakah itu? Dari berbagai keterangan yang terdapat dalam al-Quran, dan juga berbagai hadis yang dapat dijadikan sandaran, dapat diambil kesimpulan bahwa buah terlarang itu adalah berhubungan dengan sisi kebinatangan (hayawaniah) manusia dan bukan berhubungan dengan sisi kemanusia­an (insaniah) manusia. Yakni suatu perkara yang meru­pakan bagian dari hawa nafsu, keserakahan, iri, dengki, yang menurut istilah disebut dengan "anti kemanusia­an".
Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni janganlah engkau tamak. Janganlah engkau men­dekati pohon dengki, yakni janganlah engkau mendeng­ki. Tetapi Adam as, menjatuhkan dirinya dari kemanusiaan dan mendekati pohon itu. la mendekat pada tamak, serakah, dengki, takabur, yakni mendekat pada berbagai perkara yang merendahkan serta menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman kepadanya, "Keluarlah dari sini." (kapan Allah mengusirnya dari surga?) Allah mengusir Adam as dari surga setelah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemuka­kannya kepada para malaikat, lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-bendu itu jika kamu orang-orang yang benar!." (Q.S. al-Baqarah: 31)
Setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh haki­kat, (lalu Allah berfirman), "Ini bukan tempat tinggal­mu, keluarlah dari sini!"
Isi Kitab Taurat telah diselewengkan oleh orang-­orang yang memiliki tujuan keji, di mana di sana dise­butkan bahwa pohon yang tidak boleh didekati oleh Adam, adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan bukan berhubungan dengan sisi kebinatang­an, berhubungan dengan peningkatan kedudukan Adam dan bukan perendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua bentuk kesempurnaan dan Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih oleh Adam secara sekaligus; pertama, kesempurnaan penge­tahuan dan yang kedua, kekekalan di surga. Adam telah merasakan buah dari pohon pengetahuan (epis­temologi), lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Ia bergumam, "Sebelum ini saya dalam keadaan buta, sekarang ini mata saya terbuka. Sekarang saya mulai dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk." Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Lihatlah! Kamu tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon pengetahuan dan epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi terbuka. Sekarang tatkala matanya telah terbuka, ini amat ber­bahaya jika ia sampai memakan buah pohon kekekalan, yang akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan demikian maka sebaiknya kita keluarkan saja ia dari surga."
Bentuk pengetahuan dan penyelewengan agama dan mazhab ini, mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Akhirnya mereka mengatakan, "Dengan demikian maka cukup jelas, adanya kontradiksi antara agama dan pengetahuan. Adam mesti beragama dan mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah pengetahuan sehingga matanya menjadi terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan matanya tetap dalam keadaan buta dan tidak mengetahui sesuatu apa pun, atau memiliki pengetahuan tetapi melanggar perintah Tuhan. Karena supaya matanya dapat terbuka, ia mesti melanggar perintah Tuhan dan mengesampingkan agama". Kemu­dian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di antaranya ialah, "Jika seorang yang mengikuti pandangan Socrates, hidup sengsara dan kelaparan itu jauh lebih baik dari pada menjadi budak", "Sehari saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan pen.) jauh lebih saya sukai daripada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh pen.) dan kemudian berharap akan masuk surga", "Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam dengan mata ter­buka (memiliki pengetahuan), dari pada berada dalam surga dalam keadaan buta (bodoh)."
Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah pemikiran yang amat gawat, yaitu adanya kon­tradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Anda jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini muncul­nya dari empat ilmuwan yang mengeluarkan pendapat­nya. Akar pemikiran itu terdapat dalam agama Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya menganggap Taurat sebagai "perjanjian lama" dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa kalian mesti konsisten terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta berkeliling ke berbagai penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan tertutup. Tetapi jika mata kalian ter­buka, maka kalian mesti hidup dalam keadaan sengsara dan menanggung berbagai beban penderitaan.
Al-Quran dan Kisah Adam As
Adapun dalam al-Quran sama sekali tidak ter­dapat bentuk pembicaraan semacam itu. Al-Quran menceritakan kisah Adam As tatkala mendekati pohon tersebut setelah kisah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemuka­kannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama betuta-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!. (Qs. al-Baqarah [2]: 31)
Yakni sebelum Adam As menempati surga telah dikatakan kepadanya untuk tetap tinggal di sana, mata­nya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan se­ekor binatang yang matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam As adalah seorang manusia. Karena ia adalah seorang manusia, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan. Dengan ilmu dan penge­tahuan yang ia miliki, ia masih terperdaya hawa nafsu­nya, menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya ia menjadi tamak dan serakah. Allah menegaskan bahwa di sini (surga) adalah tempat untuk manusia. Adam as telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga. Adam As tidak mengamalkan epistemologi dan pengetahuan yang ia miliki.
Epistemologi melahirkan "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" melahirkan ideologi dan ideologi perlu pengenalan. "Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai hakikat. Kalimat 'saya mengetahui' menunjukkan kepada saya tentang suatu bentuk alam ini. Dan karena saya (Adam) mengetahui alam semesta sedemikian rupa, maka saya terikat dengan 'harus dan tidak boleh'. Tetapi saya tidak menghiraukan `harus dan tidak boleh' itu, tidak mera­sakan adanya rasa tanggung jawab, sekali­pun ada bisikan: 'pohon itu adalah pohon kekekalan, karena Allah merasa iri padamu, maka Dia melarang­mu memakan buahnya. Sekarang pergilah ke pohon itu dan makanlah buahnya,' (mereka menceritakan bahwa Adam memperoleh bisikan semacam itu) saya tidak boleh terpedaya."
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki epistemologi, Anda memiliki "pandangan dunia", Anda memiliki ideologi, dan pada akhirnya ideologi mengharuskan amal perbuatan (perbuatan memiliki dua sisi; sisi positif dan sisi negatif), diperlukan ketakwaan, menjaga diri. Mungkinkah seorang yang memiliki ideologi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menahan diri atas rasa sedikit kekurangan? Apa­kah di samping saya memiliki ideologi, saya juga senantiasa menuruti apa saja yang saya lihat? Misal­nya ketika pandangan saya tertuju pada suatu makan­an, kemudian air liur saya menetes, apakah lalu saya tidak mampu menahan diri untuk tidak memakannya! Seorang manusia, dituntut untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan untuk menahan diri.
Dalam logika Islam, sebab Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan pering­kat ke empat dari epistemologinya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian "pandangan dunia", kemudian ideologi dan terakhir ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah ia tergelincir, sehingga Allah mengusirnya dari surga. Tetapi dalam Taurat disebutkan bahwa sejak pertama Tuhan telah melarangnya (Adam) untuk mencari dan memperoleh epistemologi, dan dikarenakan ia telah memperoleh pengetahuan dan epistemologi sehingga menyebabkan kedua matanya menjadi terbuka, maka Tuhan pun mengusirnya dari surga; pohon itu adalah pohon ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan yang telah saya kemukakan men­jadi jelas, bahwa di dunia ini jarang sekali ada suatu pemikiran, pengetahuan, dan pandangan yang diselewengkan, yang mengakibatkan kerugian besar terhadap umat manusia, alam dan agama, seperti penyelewengan yang ada di dalam Taurat. Tentunya, sampai sekarang ini dampak tersebut masih tetap ber­lanjut, yakni di dunia ini masih terdapat arus pemikiran yang kuat yang menyatakan, "Ilmu atau agama, atau salah satu dari keduanya itu," (ilmu dan agama adalah dua hal yang kontradiktif).
Dengan demikian, al-Quran tidak mengakui pelarangan penggalian epistemologi, tetapi bahkan mendukung epistemologi. Dalil apakah yang membuk­tikan bahwa al-Quran mendukung kemungkinan epis­temologi? Hal itu cukup jelas, ketika al-Quran meng­ajak manusia pada penggalian epistemologi, al-Quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang mustahil. Apa yang hendak dikatakan oleh al-Quran tatkala menceritakan kisah Adam as dan keluasan epistemologinya? Al-Quran hendak mengatakan, "Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali epistemologi yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-­benda) seluruhnya." Sewaktu Imam Ja'far Shadiq As sedang duduk beralaskan kulit binatang, lalu beliau menunjuk pada alas duduk itu dan berkata, "Bahkan (Adam mengetahui) yang ada di bawah kaki saya ini." Yakni sampai sebegitu luas epistemologi yang dimiliki oleh Adam as. (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 41)
Dengan demikian maka al-Quran mengakui ada­nya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. kisah Nabi Adam as penuh dengan hikmah dan pela­jaran. Dan di antara hikmah, pelajaran, dan rahasia yang terdapat dalam kisah itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. Dengan kisah itu, al-­Quran hendak menyatakan kepada seluruh manusia, "Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, anak dari Adam as yang memiliki epistemologi sampai sedemikian rupa. Kalian adalah anak Adam as yang telah berhasil memperoleh epistemologi yang tidak terbatas. Oleh karena itu pergilah menuju epis­temologi yang tidak terbatas. Kalian adalah anak epis­temologi." Menurut pandangan al-Quran, anak Adam as adalah sama dengan anak epistemologi.
Ajakan Al-Quran pada Epistemologi
Al-Quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as pada epistemologi. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam al-Quran terdapat berbagai ungkapan semacam ini, Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." (Q.S. Yunus: 101)
Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca: berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Quran hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dengan menyatakan, "Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu." Bahkan ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, (Q.S. al-Maidah: 105). Yakni wahai orang-orang yang ber­iman atas kalian diri kalian sendiri. Sekarang terlintas dalam benak saya bahwa berbagai mufasir yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba'i" mengata­kan bahwa maksud ayat itu adalah, kenalilah dirimu sendiri.
Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebut­an "dzar" (alam dzar atau alam mitsal, alam ide, mundus imaginalis), terdapat satu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri sendiri, sekalipun bentuk penjelasan itu secara sandi. Al-Quran mengatakan: "Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka." (Q.S. al-A'raf : 172).
Yakni manusia memberikan kesaksian atas diri mereka sendiri. Dalam memberi kesaksian ini ada dua bentuk. Adakalanya seseorang memberi kesaksian atas sesuatu yang sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan, kemudian ia hendak menyampaikan kepada orang lain dan memberikan kesaksian. Dan adakalanya, ada sese­orang yang dihadirkan di suatu tempat untuk kemudian ia akan dijadikan sebagai saksi. Yang pertama disebut dengan "menunaikan kesaksian" (ada' asy-syahadah) dan yang kedua disebut dengan "menanggung kesak­sian" (tahammul asy-syahadah). Al-Quran mengata­kan bahwa Allah menunjukkan manusia kepada dirinya sendiri (walhasil ayat ini adalah salah satu ayat yang berkenaan dengan fitrah), mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri. Yakni al-Quran mengatakan bah­wa lihatlah diri kalian! Allah mengambil kesaksian ter­hadap diri mereka.
Tatkala manusia telah melihat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanrnu? Bukankah Aku adalah Tuhanmu? Mereka menjawab, "Ya." Di sini al-Quran tidak mengatakan bahwa Allah menunjukkan Zat-Nya kepa­da manusia, lalu mengatakan bahwa bukankah Aku adalah Tuhanmu? Tetapi al-Quran mengatakan bahwa manusia diperlihatkan kepada dirinya sendiri, kemu­dian Dia berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Apa­kah tujuan dari semua ini? Apakah hal itu sama seperti ketika si Zaid mereka tunjukkan (kepada seseorang) dan kemudian mereka bertanya (kepada orang itu), "Tidakkah engkau melihat si Amir?" Tidak, duduk per­masalahannya bukan semacam ini.
Sebagai perumpamaan, kita dapat mengumpamakan semacam seorang yang mengatakan kepada temannya, "Lihatlah cermin itu." Ketika temannya melihat ke arah cermin itu, kemudian ia menanyakan, "Bukankah saya seorang yang tampan?" Kenapa demikian? Karena ia melihat ke arah cermin. Jika temannya itu melihat ke arah din­ding, maka jadinya tidak demikian. Allah sebegitu dekat dengan manusia! Mengenal diri dan mengenal Tuhan telah bercampur menjadi satu. Sehingga Dia memerintahkan, "Wahai manusia! Lihatlah dirimu sen­diri." Dan tatkala mereka telah melihat kepada diri mereka sendiri, lalu Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu. Ketika engkau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku, ketika engkau mengenal diri­mu sendiri, maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkap­an, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhan-nya," merupakan sebuah ungkapan yang amat populer di dunia Islam. Bahkan ung­kapan ini telah disebutkan pada masa sebelum Islam, Socrates juga pernah mengatakannya, di India pun banyak yang pernah mengucapkan ungkapan itu. Tetapi tidak ada satu penjelasan pun yang seindah penjelasati al-Quran. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as seringkali menyampaikan kalimat tersebut, dan Rasul mulia saw juga telah menyampaikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang memiliki penjelasan yang lebih indah dari yang dijelaskan oleh al-Quran. Al-Quran dengan kefasihannya menunjukkan manusia kepada manusia itu sendiri, dengan cara memerintahkan manu­sia untuk melihat dirinya sendiri, dan begitu manusia telah melihat dirinya sendiri, seketika itu Allah ber­tanya, "Apakah sekarang engkau dapat melihat-Ku dengan baik?" Manusia menjawab, "Ya, sekarang kami dapat melihat-Mu dengan balk." Di sini al-Quran tidak mengatakan, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhan-nya," yakni antara telah mengenal yang satu dengan telah mengenal yang lain sifatnya adalah berurutan; pertama mengenal diri sendiri, berikutnya adalah mengenal Tuhan.
Tetapi al-Quran hendak menyatakan bahwa sebegitu dekat­nya antara dua pengenalan itu, sehingga tatkala engkau melihat yang ini maka engkau pun akan melihat yang itu. Semua penjelasan yang diberikan oleh selain al-­Quran, senantiasa meletakkan dua pengenalan itu se­cara berurutan, sedangkan al-Quran menjelaskannya dengan menggunakan sebuah kalimat bahwa manusia cukup hanya dengan mengenal diri, karena jika telah mengenal diri maka pasti telah mengenal Tuhan. Sebegitu dekatnya antara pengenalan diri dengan pengenalan Tuhan, laksana seseorang yang memandang sebuah cermin. Sekalipun yang ada di dalam cermin itu hanya­lah semacam bayangan (gambar) saja, tetapi ketika Anda berada di depan sebuah cermin maka Anda tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat gambar Anda di cermin itu.
Tatkala seseorang memperhatikan dan merenung­kan poin al-Quran ini, pasti ia akan merasa kagum dan tercengang. Inilah ayat al-Quran. Coba Anda per­hatikan, Rasul saw adalah seorang bangsa Arab yang buta aksara, penduduk desa, tidak pernah belajar, tidak memiliki guru dan pengajar, orang terpandai yang ada dalam masyarakat itu tidak ubahnya semacam kelas tiga sekolah dasar yang ada pada masa kita ini, hanya mampu membaca satu baris tulisan dan tulisan tangan­nya tidak rapi serta tidak beraturan. Apakah dapat di­percaya bahwa berbagai ucapan yang indah dan mem­pesona yang keluar dari lisan laki-laki (Muhammad Saw) semacam itu, tanpa ada hubungan dengan alam metafisika (ma'nawi) atau alam yang lain? Bahkan orang-orang semacam Socrates sama sekali tidak akan mampu untuk mengeluarkan ucapan seindah itu. Ia (Muhammad Saw) memiliki bentuk pandangan yang begitu dalam dan luas.
Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi?" (Q.S. Yunus: 101). Perhatikanlah apa yang ada di berbagai langit dan di berbagai belahan bumi (tidak pada bumi saja), per­hatikanlah apa yang ada di seluruh alam ini! Ketahui­lah apa yang ada di seluruh penjuru alam ini! Dengan demikian maka al-Quran mengajak manusia pada epistemologi. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.[www.wisdoms4all.com]

[1] . Silahkan rujuk Âmuzesy-e Falsafeh, Ustadz Ayatullah Agâ Misbâh Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e Bainal Milal Sazemân-e Tablighati Islâmi, Qum.
[2] . Idem.,
[3] . Ma'rifat Syinâsi dar Qur'ân, Ustadz Ayatullah Agâ Jawâdi Âmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr Isra', Qum.
[4]. Pemahaman dan pengetahuan ini adalah sama dengan keyakinan, karena keraguan adalah bukan pemahaman. Pemahaman ialah tatkala kita sampai pada titik tertentu di mana kita berpikir bahwa ini adalah demikian, dan saya tidak meragukan atas apa yang saya pikirkan itu dan saya yakin bahwa itu adalah betul. Saya tidak meragukan kebenarannya, karena jika saya meragukannya maka berarti itu bukan pengeta­huan tetapi itu adalah "apakah", "apakah demikian", "saya tidak tahu", "mungkin ada", "mungkin tidak ada" dan berbagai ungkapan yang sejenis dengan kalimat la `adri (tidak tahu). Suatu pengetahuan dapat disebut sebagai pengetahuan yang hakiki, jika di situ tidak terdapat sedikit pun keraguan, tetapi jika terdapat keraguan maka menjadi la 'adri (tidak tahu).






ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[1]
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuanpengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
PEMBAHASAN A. Ontologi
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.
B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinankemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalamanpengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom- atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidaktidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidaktidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbiyang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e. Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalahmasalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (14731543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma moral/professional?[4]
PENUTUP Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik kesimpulan :
  1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
  2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
  3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?[5]


Epistomologi
Epistimologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Diatas telah dipaparkan bahwa Teknologi Pembelajaran sebagai ilmu pengetahuan. Dari sini muncul pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan Teknologi Pembelajaran? Menurut Abdul Gafur (2007) adalah dengan cara:
· Telaah secara simultan keseluruhan masalah-masalah belajar
· Pengintegrasian secara sistemik kegiatan pengembangan, produksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi.
· Mengupayakan sinergisme atau interaksi terhadap seluruh proses pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar
3. Aksiologi

Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral

Dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
Dalam hal ini Teknologi Pembelajaran secara aksiologis akan menjadikan pendidikan (Abdul Gafur:2007) sebagai berikut: Produktif
· Ilmiah
· Individual
· Serentak / aktual
· Merata
· Berdaya serap tinggi
Teknologi Pembelajaran juga menekankan pada nilai bahwa kemudahan yang diberikan oleh aplikasi teknologi bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipilih dan dirancang strategi penggunaannya agar menumbuhkan sifat bagaimana memanusiakan teknologi (A.L Zachri:2004).
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).
Diposkan oleh AM Sanjaya di 02.42
TEOLOGI , ONTOLOGI, DAN EPISTIMOLOGI
DALAM KAJIAN FILSAFAT

A.  Teologi
Filsafat dan ilmu yang dikenal didunia barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya sebagai dua hal yang berlainan. Keduanya termasuk ke dalam pengertian episteme. Kata philisophia merupakan suatu padanan kata dari episteme.
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
1.  Praktike (pengetahuan praktis)
2.  Poietike (pengetahuan produktif)
3.  Theoreitike (pengetahuan teoritis)
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Teologi adalah merupakan ilmu yang mengkaji tentang Ketuhanan. Yang mana orang yang mengkaji ilmu tersebut disebut sebagai teolog. Hal ini dapat dinilai dengan suati kajian ilmu yang lai yaitu aksiologi. Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.

B. Ontologi
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1.  Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
2.  .Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas. Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain.
3.  Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.
Kattsoff banyak memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.

C. Epistimologi
Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.  Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a.  Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b.  Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c.   Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d.  Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e.  Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f.    Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g.  Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
h.  Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
i.    Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.  Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.

1.  Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2.  Epistemologi di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3.  Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.
4.  Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran:
1.  Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato),
2.  Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles),
3.  Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”.

Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme, empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme, eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya.

Epistomologi Tafsir Teoritis

A      Prolog
Al-Quran  diturunkan di tengah-tengah komunitas Arab pada abad 6 M merupakan fenomena yang layak diteliti. Kegelisahan-kegelisahan umat muslim kontemporer dari pelbagai penjuru kembali merujuk kepada Al-Quran sebagai pedoman hidup umat islam. kecenderungan kebahasaan para gramatikus Arab dan non Arab mencoba mendekati Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan dengan pelbagai perangkat interpretasi. Pesona keindahan bahasa Al-Quran menyihir para pengkaji Al-Quran dalam berteorisasi ria yang kemudian melahirkan teori-teori bahasa dan sastra. Al-Quran ibarat sebuah berlian yang menyilaukan mata para pengkaji Al-Quran dan terkesima dengan keindahannya. Dari Al-Quran, para pengkaji merumuskan teori dan metodologi yang kemudian mengalami perkembangan pesat dan secara gradual, dikukuhkan sebagai disiplin ilmu. Tak heran jika Nashr Hamid Abu Zaid secara berani mengatakan bahwa “peradaban Arab adalah peradaban teks” dan Amin al-Khuli menegaskan bahwa  Al-Quran adalah kitab sastra Arab terbesar dan teragung” yang lantas didekati dengan pendekatan ilmu-ilmu kemanusiaan seperti bahasa, sastra dan psikologi dsb.
Tafsir Sastra yang marak dikenal pada abad 20 dan dianggap sebagai hasil perkenalan akut dan hasil adopsi dengan disiplin ilmu kritik sastra barat tidak dapat diterima seutuhnya, tetapi wacana tafsir sastra yang menggema di abad kontemporer memiliki landasan teoritis dan konstruk epistomologi pada masa klasik dan hasil akumulasi dari pergumulan ilmu-ilmu modern. Tokoh-tokoh kenamaan sekaliber Ibn Abbas, al-Farra’, Abu Ubaidah, al-Jurjani, Abd al-Jabbar, al-jahiz dan al-Baqillani dan tokoh-tokoh lainnya memiliki pemikiran yang melampaui batas-batas zamannya. Kehadiran Muhammad ‘Abduh dan Taha Husain kemudian memuluskan jalan bagi Amin al-Khuli dan penerus-penerusnya dengan mereformulasi dan menetapkan prinsip-prinsip metodologis dalam seni interpretasi yang dalam pembacaan kontemporer dikenal dengan Hermeneutika. Nashr Hamid abu Zaid mencoba mendialektikan antara teks dan realitas dengan teori makna dan maghza yang berubah-rubah yang didasari dengan semangat objektivitas penafsiran.

2.         Jejak Historis Tafsir Teoritis
Melacak jejak sejarah benih-benih tafsir teoritis dapat dijumpai pada masa kenabian. Pemikiran ini menurut Dr.M.Nur Khalis Setiawan berdasarkan atas beberapa data yang menunjukkan bahwa Nabi  Muhammad SAW telah memberikan beberapa interpretasi  yang erat kaitannya dengan terminologi disiplin sastra atab yang berkembang belakangan, meski penafsiran Nabi tidak terlalu banyak dijadikan para pengamat tafsir sebagai tafsir periode awal dalam sejarah penafsiran Al-Quran. Nampak jelas ketika Nabi menafsirkan surah al- Baqarah ayat 187 : “ makan minumlah engkau hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar “.  Dengan mengatakan “ yang dimaksud dengan benang hitam adalah gelapnya malam dan benang putih adalah terangnya siang.” Peralihan makna frasa dari benang hitam dan putih ke benang yang lain,  yakni gelapnya malam dan terangnya siang, merupakan perubahan makna dari makna asli ke makana majazi.[1][1] Meski secara kuantitas tidak terlalu banyak menunjukkan model penafsiran susastera, interpretasi Nabi benar-benar telah mendapatkan legitimasi historis.[2][2]
Salah satu generasi penerus yang melakukan penafsiran seperti yang dilakukan Nabi adalah Abdullah Ibn Abbas (w.68/687) putra dari paman Nabi dan putra dari kakek (tertua) dari keluarga besar Abbasiah. Para pengkaji tafsir menyebutnya sebagai “bapak tafsir” karna otoritasnya dalam disiplin ilmu bak lautan tak bertepi dan dijuluki dengan gelar “ Tarjuman Al-Quran” yang telah diberkahi oleh rasulullah sendiri.[3][3] Demikian pula karya-karya tafsir yang bermunculan setelah itu, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh serta kretifitas Ibn Abbas. Sehingga interpretasi-interpretasi yang dilakukan Ibn Abbas bisa dijadikan sebagai awal mula penafsiran susastra dengan bukti data-data historis yang kuat.[4][4] Menelisik lebih jauh sosok Ibn Abbas ditemukan bahwa Ibn Abbas tekun bergaul dengan penyair klasik, sebab mereka adalah kalangan yang dipandang mempunyai kesiapan lebih karena pergumulan mereka dengan bahasa dalam bidang tafsir. Berkenaan dengan lafazh haraj dalam surat al-Haj ayat 78 dia menjelaskan prinsip berikut ini : “ apabila kamu merasa asing dengan sesuatu dalam Al-Quran maka lihatlah dalam syair, karena syair adalah murni bahasa Arab. Data sejarah mengisahkan bahwa Nafi’ bin al-Azraq bertanya kepada Ibn Abbas tentang sejumlah kosa kata Al-Quran. Nafi’ meminta kepada Ibn Abbas supaya mencari makna-makna tersebut dengan menggunakan syair klasik. Dalam jawaban Ibn Abbas kepada pertanyaan Nafi’ bin al-Azraq terdapat tafsiran sekitar dua tatus kalimat dengan munggunakan bukti atau dalil dari syair klasik. Ini adalah sebuah pengakuan dari para ahli bahasa masa belakangan kepada bapak tafsir yang menggagas metode linguistic dalam tafsir Al-Quran.[5][5]
Penafsiran dengan metode linguistik kemudian dilanjutkan oleh murid-murid Ibn Abbas diantaranya adalah : Mujahid, Ikrimah, said bun jabir, Qatadah,dan al-Dhahhak.[6][6] Murid yang paling menonjol dalam penafsiran dengan pendekatan kebahasaan adalah Mujahid. Interpretasi-interpretasi yang dilakukannya sangat kental dengan penafsiran metaforis.[7][7]maka tak heran jika Mujahid dikategorikan sebagai salah satu dari benih-benih penafsiran rasionalis dalam Islam.[8][8] generasi setalah Mujahid yang ambil bagian dalam mengembangkan “ stadium embrional” tafsir sastra adalah Ibn Juraij, Maqatil ibn Sulaiman, Sufyan al-Tsauri, Abu Ubaidah al-Mutsanna’ dan Yahya ibn Ziyad al-Farra’.[9][9] Para sarjana tersebut dalam karya-karyanya, secara implisitmenegaskan bahwa Al-Quran adalah sebuah teks. Penyimpulan seperti ini diperoleh dari analisis holistic terhadap buah tangan mereka. Sebuah kenyataan yang tak terbantahkan akan perlakuan mereka terhadap Al-Quran adalah penekanan bahwa Al-Quran adalah teks berbahasa Arab, sehingga ilmu bahasa Arab merupakan perangkat pertama dan nisacaya dalam memahami teks Al-Quran.mereka bersepakat bahwa dalam wilayah kebahasaan terdapat dua aspek dan tingkatan yang saling terkait dan berkelindan. Dua hal tersebut adalah apa yang ada dalam disiplin bahasa kontemporer dengan “ syntagma “ (tarkib) sebagai bagian integral dari pembentukan dan bangunan sebuah kalimat, serta “ paradigm” (dalalah), sebagai elemen pembangun lainnya dalam bahasa.[10][10]
Membincang lebih lanjut “stadium embrional “  setalah generasi Mujahid, nampaknya penafsiran yang paling kental denga pendaran linguistiknya adalah Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij. Ibn Juraij termasuk dalam sederet pengkaji Al-Quran klasik yang mengedepankan prinsip :  bagian Al-Quran menjelaskan bagian yang lain ( Al-Quran yufassiru ba’duhu ba’dhan). Disamping itu ia juga menaruh perhatian kepada artu penting aspek-aspek Mubhamat Al-Quran, mengingat gaya bertutut Al-Quran memang demikian adanya. Ibn Jurai berkeyakinan bahwa konteks sebuah ayat dalam Al-Quran memiliki peran yang sangat penting. “ kesadaran “ akan konteks dari sebuah teks sebagai perangkat adalah niscaya dalm memahami teks keagamaan yang dalam kacamata semantic modern lazim disebut dengan “makna dasar”  dan “makna relasional” . kesadaran akan dua aspek makna tersebut dalam khazanah islam klasik, salah satunya dikembangkan oleh ibn Juraij. Demikian juga Ibn Juraij menaruh perhatian pada gaya tutur stilistika Al-Quran yang beragam dan membicarakan pengualangan kata atau kalimat (al-Tikrar) serta tertarik menyibukkan diri dengan gramatikal ayat-ayat Al-Quran.[11][11]
Para sarjana klasik dengan pelbagai karyanya yang telah disebutkan diatas diklasifikasikan sebagai penafsiran sebelum masa kodifikasi  (‘asru tadwin ) dan sarjana klasik pertama yang menulis pada masa kodifikasi adalah Abu Ubaidah dengan magnum opus-nya  “majaz Al-Quran”. Di tangan Abu Ubaidah pertama kali mendefenisikan pengertian majaz. Abu Ubaidah ketika dihadapkan dengan teks Al-Quran, ia berusaha mengklasifikasikan dan menunjukkan pengertian denotatif dan konotatif sebuah lafadz teks dan menjelaskan aspek metaforis dan perumpamaan dalam Al-Quran. Generasi setelah yang melanjutkan tongkat estafet penafsiran Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan adalah al-Farra’ dengan karangannya “ Ma’ani Al-Quran” metode al-farra’ dalam kitabnya hampir menyamai metode Abu Ubaidah,namun nuansa gramatika bahasa Arab nampaknya sangat kental menyesaki karangannya. Yang kemudian disusul oleh al-Jahidz dengan “Nadzm Al-Quran”-nya , Ibn Qutaibah dengan “ Ta’wil Muyskilu Al-Quran”-nya yang dilandasi dengan semangat pembelaan terhadap aspek kemukjizatan Al-Quran. Jika al-Jahidz adalah juru bicara Mu’tazilah maka Ibnu Qutaibah merupakan juru bicara Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah.[12][12]
Pada abad ke-4 H, dogma I’jaz Al-Quran mendapat perhatian penuh dari para teolog dan penafsir Al-Quran.  Hal itu dapat dibuktikan dengan menjamurnya karangan sarjana muslim klasik yang memusatkan penelitiannya terhadap aspek kemukjizatan dalam Al-Quran. Relasi antara I’jaz Al-Quran dengan aspek kebahasaan Al-Quran tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa pembahasan serta diskusi mengenai ajaran dan keyakinan tentang i’jâz al-Qur’ân yang muncul belakangan, tidak bisa dilepaskan dari dua aspek bahasa, lafzhi dan ma’nawi. Lafzhi berarti leksikal dan makna struktural, sementara ma’nawi adalah teori makna.[13][13] Pada abad ini muncul sarjana muslim seperti al-Rummani dengan “al-nukat fi I’jaz Al-Quran” , al-Khatthabi dengan “bayan I’jaz Al-Quran” , Abu al-Hasan Abd al-Jabbaral-Hamdani dengan kitabnya “ al-Mughni fi Abwabi al-Tauhid wa al-Adl” dan Abu Bakr al-Baqillani dengan magnumopusnya “ I’jaz Al-Quran “.[14][14]
Pada abad selanjutnya yaitu pada abad ke -5, diterbitkan “ Dala’il al-Ijaz  yang sangat fenomenal yang ditulis oleh Abd al-Qahir al-Jurjani dan kitan “ al-Risalat al-Syafiah fi I’jaz Al-Quran”. Dan pada abad ke 6 H al-Zamakhsyari seolah megumpulkan teori-teori terdahulu dalam tafsirnya “al-Kassyaf” yang bernuansa kebahasaan. Dan disusul oleh Fakhruddin al-Razi dengan “Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz”. Pada abad ke-7 H, Abu al-Asba’ al-Mashri menulis “ Badi’ Al-Quran”.[15][15] Dan pada abad-abad selanjutnya mucul sederetan nama seperti  Imam Yahya bin Hamzah al-Alawi degan kitab “al-Tharaz” , Umar al-Biqa’I dengan kitab yang diberi judul “ nadzmu al-Durar fi tanasub al-ayat wa al-suwar” dan  Jalaluddin al-Suyuti pemilik “ tanasuk al-durar fi tanasub al-suwar”. Sampai pada masa kontemporer para sarjana semisal Muhammad Rajab Bayyumi  dan Hufnaa Muhammad Syaraf memberikan perhatian lebih pada corak penafsiran dengan pendekatan kebahasaan. [16][16]
3.         Epistomologi Tafsir Teoritis
Untuk meneliti lebih jauh konstruk epistomologi tafsir teoritis dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dan sastra maka penulis terlebih dahulu memaparkan defenisi epistomologi itu sendiri. Epistomologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapatm teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran adalah kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.[17][17] Dalam hal ini penulis mencoba mengklasifikasikan tafsir teoritis ke dalam tiga fase penafsiran karena menurut asumsi penulis untuk menghadirkan tiga poin penting dari epistomolgi dibutuhkan pemetaan yang jelas. Begitu pula ,tafsir teoritis dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sastra memiliki karakteristik dan perkembangan yang signifikan serta tujuan penafsiran yang berbeda. Ketga kategori tersebut yaitu (1) epistomologi tafsir kebahasaan pada masa klasik (2) epistomologi tafsir kesusasteraan masa modern (3) epistomologi tafsir kesusasteraan pada masa kontemporer.
3.1.      Epistomologi Tafsir Kebahasaan Masa Klasik
Secara kategoris , Jhon Wansbrough memetakan karya-karya tafsir yang muncul pada era klasik  menjadi lima jenis. Pertama : tafsir naratif, yakni tafsir yang penjelasannya disertai ulasan disekitar konteks turunnya ayat, contoh tafsir model ini adalah tafsir karya Sulaiman ibn Maqatil. Kedua : tafsir legal, yaitu tafsir yang sangat kental dengan nuansa  hukumnya . tafsir karya sulaiman ini juga merupakan cfontoh yang baik bagi model tafsir jenis ini. ketiga : tafsir tekstual, yaitu tafsir yang lebih focus pada uraian tentang aspek-aspek leksikon dalam ragam bacaan ayat Al-Quran. Contohnya adalah tafsir Ma’ani Al-Quran karya al-Farra’. Tafsir ini lebih berusaha menjelaskan berbagai problem gramtika dan tekstual Al-Quran. Keempat : tafsir retorik : yaitu tafsir yang lebih menonjolkan uraian tentang retorika dan sastra Al-Quran, seperti tafsir Majaz Al-Quran karya Abu Ubaidah. Kelima : tafsir alegoris, yaitu tafsir yang mengungkap makna simbolik Al-Quran. Tafsir sufistik karya at-Tustari , merupakan contoh yang baik bagi jenis tafsir alegoris.[18][18]
Dari klasifikasi Jhon Wonsbrough dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam tafsir teoritis adalah jenis ketiga dan keempat, yaitu Tafsir Tekstual dan Tafsir Retorik.
3.1.1    Sumber Penafsiran
 Al-Quran yang diturunkan dengan bahasa Arab sebagai media komunikasi tuhan dengan manusia mendapatkan perhatian dari kaum muslim Arab pada masa itu. Bapak tafsir, Ibn Abbas dengan kecerdasan dan wawasan bahasa Arab yang mumpuni mencoba meneliti kosa kata Al-Quran dengan merujuk pada sya’ir jahiliah untuk mendapatkan makna asli. Sehingga dalam al-Risalah karya Syafi’I sebagaimana dikutip Ignaz Goldziher  berhasil merampungkan sekitar dua rastus kosa kata dan menemukan arti etimologis-nya. Penjelasan dua ratus kosa kata Gharib  dalam Al-Quran tidak serta merta berdasarkan Syai’r jahili semata namun sumber dari hadis Nabi dan penelitian filologis Kibar Sahabat dimanfaatkan oleh Ibn Abbas dalam merumuskan dan menjelaskan arti kosa kata yang Gharib (asing) atas permintaan Nafi’ bin al- Azraq. Demikian pula Ibn Abbas menukil dari filolog buku-buku pra-islam yaitu Abu al-Jald Mukahdraman dan wawasan dari Ka’ab al-Ahbar dan Abdullah bin Salam, muallaf dari agama Yahudi.[19][19]
Perluasan kekuasaan islam pada masa awal islam yang meliputi bangsa Arab maupun non-Arab mengakibatkan pengetahuan akan bahasa Arab menjelma menjadi sebuah kebutuhan dan niscaya. Al-Quran yang merupakan sumber primer kaum muslim  dan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran menjadikan keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisahkan. Sehingga tidak mengherankan ketika kamus Al-Quran menjamur pada dinasti Umawiyyah dan Abbasiah sebagai buku pedoman bangsa Arab dan non-Arab dalam memahami Al-Quran. Begitu pula Konsep I’jaz Al-Quran memotivasi para sarjana klasik memberi penjelasan hakikat kemukjizatan Al-Quran sehingga upaya yang mereka kerahkan dapat melahirkan sekian teori-teori bahasa dan sastra yang kemudian berimplikasi kuat terhadap perkembangan ilmu balaghah dan dikukuhkan sebagai disiplin ilmu yang independen.
3.1.2    Metode penafsiran
Metodologi penafsiran dengan pendekatan kebahasaan baik oleh ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin secara umum bersifat deduktif-analitik. Deduktif berarti menafsirkan teks Al-Quran dengan berupaya merincikan makna asli (exact meaning) kosa kata Al-Quran dengan merujuk pada pemakaian bahasa bangsa Arab pada masa Al-Quran diturunkan dengan pendekatan filologi terhadap syi’ir jahiliah dan bahasa Arab kuno. Analitik berarti menafsirkan Al-Quran dengan cara atomistik, parsial dan terpisah-pisah sesuai dengan urutan ayat Al-Quran dalam mushaf utsmani. Pada perkembangannya corak penafsiran kebahasaan jenis ini menyesaki Al-Quran dengan kaidah-kaidah kebahasan dari segi gramatikalnya sehingga oleh Muhammad ‘Abduh dikritik dengan mengatakan bahwa analisis I’rab Al-Quran pada penafsiran kebahasaan islam klasik tidak layak disebut sebagai tafsir tetapi sebagai ajang latihan disiplin ilmu gramatikal Arab terhadap Al-Quran.[20][20]
Pada perkembangan selanjutnya, para gramatikus yang bergelut dengan penafsiran Al-Quran merumuskan beberapa kaidah dengan pendekatan kebahasaan sebagai berikut : (1) redaksi yang bersifat umum mengandung pengertian umum yang sepadan (2) alif-lam pada kata sifat dan ism al-jins menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya (3) an-nakirah dalam konteks an-nahy, an-nafy, as-syarah atau al-istifham menunjuk pada pengertian umum.(4) al-Mudhaf (kata kepunyaan) juga menunjuk pada pengertian umum sebagai ism al-jam’I (5) ism yang disebutkan secara tersendiri menunjuk pada pengertian sefcara umum. (6) peniadaan objek kalimat yang menunjuk pada pengertian umum yang sepadan. (7) jawab as-Syart yang tidak disebutkan dalam ayat menunjukkan penting atau dahsyatnya hal yang dibicarakan.[21][21]
penafsiran retoris masa klasik merupakan benih perkembangan tafsir sastra pada masa kontemporer. Konsep majaz yang digagas oleh Abu Ubaidillah berangkat dari perkenalan akut para sarjana klasik dalam memhami doktrin I’jaz Al-Quran dari aspek retorika dan keindahan bahasanya. Yang kemudian  melahirkan teori Metafora (Isti’arah), seni perbandingan ( Tasybih), parabel (Matsal) dan metonisme (kinayah) yang merupakan bentuk-bentuk Majaz. Dan kemudian teori konstruksi teks (Nadzm) yang dirintis oleh al-Jahidz dan dilanjutkan oleh al-Jurjani dalam “ Dala’il al-Ijaz” nya dan diaplikasikan secara praksis terhadap teks Alqran oleh al-Zamakhsyari dalam “al-Kassyaf” dan Said Nursi dalam “ Isyarat al-I’jaz fi madzanni al-Ijaz” sehingga bisa disimpulkan bahwa teori Majaz dan Nadzm merupakan elemen-elemen formatif tafsir teoritis sebagaimana Nur Khalis Setiawan kisahkan.
Majaz yang diartikan sebagai lawan dari haqiqah, [22][22]sebagaimana dipahami oleh Al-Jahidz yang kemudian dikembangkan Van Ess dengan pengertian sebagai : sesuatu yang melampaui batas-batas leksikal[23][23] mengindikasikan bahwa penafsiran progresif dan non-tekstual dapat ditemukan pada penafsiran sarjana islam klasik terlebih pada literautur Mu’tazilah. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa metodologi tafsir retoris menggunakan teori-teori sastra klasik dalam menyibak keindahan bahasa Al-Quran meskipun secara umum masih menggunakan metode deduktif-analitik dari penafsiran yang mereka suguhkan.
3.1.3.   Validitas Penafisran
Dalam ilmu semantik kontemporer makna dapat diklasifikasikan dengan makna dasar ( Grundbedutung) dan makna relasional (relational Bedeutung). Makna dasar yang dimaksud disini adalah kandungan kontekstual dari kosa kata yang akan tetap melekat pada kata tersebut, meskipun kata tersebut dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat.  Sementara makna relasional adalah makna konotatif, yang dalam prakteknya, sangat bergantung kepada konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya dalam kalimat.[24][24] Menyoal validitas penafsiran teoritis dengan pendekatan kebahasaan dalam Al-Quran sejatinya keabsahan sebuah penafsiran jika penafsiran tersebut sesuai dengan makna asli (exact meaning) atau makna dasar bahasa Arab ketika Al-Quran diturunkan. Begitu pula validitas penafsiran teoritis dengan pendekatan sastra apabila sebuah penafsiran sesuai atau adanya keterkaitan (aspek relasional) dengan makna dasar.
Adapun kaidah-kaidah dengan pendekatan kebahasaan yang dirumuskan oleh para sarjana klasik mendapat legitimasi dari otoritas ahli bahasa dan para penafsir dengan menyatakan bahwa standar validitas penafsiran juga harus sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diformasikan pada masa klasik agar terhindar dari penafsiran liar yang tidak terikat dengan batas-batas leksial teks Al-Quran.
Dalam kajian epistomologi, dikenal tiga teori kebenaran yang kerap dijadikan sebagai acuan kebenaran, yaitu (1) teori kebenaran korespondensi (2) teori kebenaran koherensi, dan (3) teori kebenaran pragmatik. Kembali pada validitas penafsiran teoritis klasik sejatinya menganut teori kebenaran korespondensi. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalm pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.[25][25] Berangkat dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa validitas sebuah penafsiran apabila berkorespondensi dengan makna dasar bahasa Arab.
3.1.4.   Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik penafsiran teoritis klasik diantaranya adalah (1) minimnya budaya kritis (2) penafsiran yang dilakukan umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na ijmali ( pengertian kosa kata secara global)(3) posisi teks sebagai subjek dan Mufassir sebagai objek. Tujuan penafsiran relatif pada tataran sekedar memahami makna dan belum sampai ke dataran Maghza. [26][26]Sehingga bisa disimpulkan bahwa penafsiran teoritis masa klasik dijadikan sebgai sebuah medium untuk memahami makna Al-Quran, terlebih bagi mereka yang tidak terbiasa dengan lidah Arab.
3.2.      Epistomologi Tafsir Kesusasteraan Masa Modern
3.2.1    Sumber Penafsiran
Muhammad ‘Abduh yang juga merupakan representator penafsir modern dengan corak adab-ijtima’I ( corak sastra dan sosial), Muhammad ‘Abduh menegaskan bahwa sebaik-baik sumber penafsiran dalam memahami term Al-Quran adalah kembali kepada Al-Quran itu sendiri dengan bahasa Arab ketika diturunkan dan mengkritik upaya memahami makna teks dengan merujuk pada term agama-agama samawi yang memiliki jarak waktu yang berabad-abad.[27][27] Disamping itu sumber penafsiran lainnya adalah perangkat-perangkat interpretasi tradisional ( ilm al-ma’ani dan al-bayan atau lebih dikenal dengan Stilistika ) untuk mebuka makna teks.[28][28]dan menjadikan akal sebagai otoritas mendasar dalam interpretasi Al-Quran.[29][29] Ilmu tentang kondisi-kondisi manusia yang juga dikenal dengan sosiologi dan pendekatan historis terhadap ruang lingkup Al-Quran diturunkan mendapat perhatian oleh Muhammad ‘Abduh.[30][30] sehingga dengan bahasa Nash Hamid, Muhammad ‘Abduh telah menyatukan apa yang berasal dari tradisi (turats) dengan ilmu-ilmu modern dalam upayanya memberikan respon terhadap tantangan yang dilontarkan pada nalar muslim yang menganggap Al-Quran sebagai rujukan utamanya. Oleh karena itu tindak interpretasi yang dilakukan oleh ‘‘Abduh bertumpu pada otoritas bahasa dan otoritas pengetahuan modern [31][31]di dalam suatu bangunan metodologis yang cermat  yang sedemikian besar sejalan dengan langkah-langkah metode yang akan dijelaskan pada pada metode penafsiran kesusasteraan masa modern.
3.2.2    Metode Penafsiran
Dari hasil penelitian J.J.G. Jansen aliran penafsiran ala Mesir pada masa modern mengatakan bahwa corak penafsiran di Mesir sejak munculnya Muhammad ‘Abduh dapat diklasifikan pada tiga bagian (1) philological exegesis : penafsiran literal terhadap teks (2) Practical Exegesis : signifikansi teks Al-Quran terhadap perbuatan manusia, dan (3) Scientific Exegesis : signifikansi teks Al-Quran terhadap ilmu pengetahuan.[32][32]  Menelisik tafsir Muhammad ‘Abduh dapat dikatakan bahwa dari ketiga aspek ini ditemukan dalam penafsirannya lebih kental dengan philological exegesis sebagai sarana untuk mencapai petunjuk Al-Quran.
Metode bahasa yang sastra yang dirumuskan oleh Muhammad ‘Abduh’ untuk mendapatkan Hidayah sebagai tujuan penafsiran diformulasikan ke dalam langkah-langkah berikut[33][33] :
1. memahami data-data kosakata yang ada dalm Al-Quran menurut makna umumnya sebgaimana yang berlaku ketika diturunkan. Memahami kosakata-kosakata tersebut sedemikian rupa sehingga mufassir teresebut dapat mewujudkan hal itu melalui pemakaian-pemakaian ahli bahasa, tidak cukup mengikuti pendapat dan pemahaman si penafsir, sebab banyak kosakata yang dipergunakan pada saat diturunkan dengan berbagai makna, kemudian makna-makna itu lebih dominan daripada yang lainnya dalam perkembangan selanjutnya.
Dalam langkah ini tampak jelas bahwa Muhammad ‘Abduh menolak proses memaksakan makna yang berasal dari masa kini terhadap masa lalu sebagai akibat tidak diperhatikannya makna kosakata yang dipergunakan pada saat diturunkan. Pola pemaksaan ini menjadi umum saat ini dan tampak jelas dalam banyak buku tafsi r kontemporer. Barangkali yang paling mencolok dan nyata adalah tafsir yang disebut dengan tafsir ‘ilmy terhadap Al-Quran.
2. setelah memahami makna dari kosakata-kosakata dalam konteks pemakaian kebahasaannya, langkah berikutnya adalah memahami stilistika. Dalam hal ini diperlukan ilmu I’rab dan ilmu stilistika (Ma’ani dan al-Bayan ).
3. langkah ketiga dalam metode ini adalah “ ilmu mengenai kondisi-kondisi manusia.” Sebab orang yang meneliti kitab ini (Al-Quran) mesti mempertimbangkan kondisi-kondisi manusia dengan perbagai perkembangan mereka, faktor-faktor yang menyebabkan kondisi mereka berbeda-beda ; ada yang kuat dan lemah, ada yang maju dan terbelakang, ada yang menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi kebodohan, ada yang beriman dan ada yang kafir. Di samping itu, ia juga harus mengetahui situasi dari maju mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting adalah sejarah dengan segala jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap sebagai kelanjutan dari langkah ketiga  ; ada yang kuat dan lemah, ada yang maju dan terbelakang, ada yang menguasai pengetahuan dan ada yang diliputi kebodohan, ada yang beriman dan ada yang kafir. Di samping itu, ia juga harus mengetahui situasi dari maju mundurnya dunia secara global. Dalam hal ini dibutuhkan berbagai disiplin, yang terpenting adalah sejarah dengan segala jenisnya.
4. langkah keempat dapat dianggap sebagai kelanjutan dari langkah ketiga atau derivasi darinya, sebab pengetahuan mengenai kondisi-kondisi manusia termasuk di dalamnya adalah kondisi yang melekat pada masyarakat Arab dan lainnya pada era keNabian. Bagaimana mungkin sang mufassir dapat memahami dengan semestinya kebiasaan-kebiasaan mereka yang dinilai negative oleh ayat-ayat Al-Quran, atau yang mendekati negative jika ia tidak mengetahui kondisi-kondisi mereka dan apa saja yang ada pada mereka.
5. langkah kelima jga dapat dianggap sebagai rangkaian dari langkah keempat. Pengetahuan tentang kondisi masyarakat Arab dan laiinya ada era keNabian termasuk pula di sini “ pengetahuan mengenai perjalanan hidup Nabi SAW. dan sahabat-sahabtnya, serta pengetahuan dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan duniai dan ukhrawi yang mereka jalankan.
Langkah-langkah yang dirumuskan oleh ‘‘Abduh sebagai metode tafsir, menurut Nashr Hamid Abu Zaid berkaitan erat dengan dua otoritas yang berdampingan: bahasa dalam konteks sejarah karena bahasa berlaku pada era turunya wahyu, dan dunia, bahasa berfungsi sebagai hukum yang menggerakkan dunia baik secara alamiah maupun sosial dalam proses kesejarahannya. Teks di sini dalam pemahaman Muhammad ‘Abduh secara implicit, melalui langkah-langkah metodologisnya, merupakan struktur bahasa yang bermakna dalam konteks sosial-historis, tidak terlapas, pada saat yang sama, dari kemampuannya memproduksi makna di luar bingkai konteks tersebut.[34][34]
3.2.3.   Validitas Penafsiran
Dari pemetaan metodologis Muhammad ‘Abduh oleh  Nashr Hamid Abu Zaid kedalam dua otoritas yang saling terkait, yaitu teks dan dunia. Maka dapat disimpulkan bahwa Muhammad ‘Abduh menganut teori kebenaran Korespondensi yaitu adanya kesesuaian hasil penafsiran dengan makna asli Al-Quran ketika diturunkan dan teori pragmatis. Teori pragmatis penafsiran mengatakan bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praksis mempu memberikan solusi praksis bagi problem sosial yang muncul. Dengan kata lain, penafsiran itu tidak diukur dengan teori  atau penafsiran lain, tetapi diukur sejauh mana ia dapat memberikan solusi atas problem yang dihadapi manusia sekarang ini. berangkat dari semangat tujuan Al-Quran sebagai petunjuk kepada manusia membuat Muhammad ‘Abduh menyajikan tafsirnya sesuai dengan kebutuhan zaman (need of  the times/ hajat al-ashr).[35][35]
3.2.4.   Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Tafsir Muhammad ‘Abduh mengkritisi penafsiran dengan menggunakan dan memusatkan suatu pendekatan dan mengabaikan pendekatan-pendekatan lainnya. Hal itu Nampak jelas dari kritikan penafsiran yang disesaki dengan data-data I’rab Al-Quran yang kemudian mengaburkan petunjuk Al-Quran yang diimani kaum muslim sebagai pedoman primer.[36][36] Corak penafsiran Muhammad ‘Abduh seringkali disebut dengan tafsir sosial yang bernuansa sastrawi. Sebagaimana disinggung diatas bahwa tujuan penafsiran Muhammad ‘Abduh adalah sebagai kitab petunjuk yang darinya manusia mendapatkan hidayah. Dari sisi lain sarana yang mengantarkan pada tujuan asas Al-Quran adalah metode bahasa yang sastra.[37][37]
3.3.      Epistomologi Penafsiran Kesusasteraan Masa Kontemporer
3.3.1    Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran kesusasteraan masa kontemporer dihasilkan dari teks Al-Quran sendiri. Amin al-Khuli menegaskan bahwa analisis kebahasaan kosa kata Al-Quran dapat diklasifikasikan dan disibak makna asalnya dari dua poin yaitu dari sisi etimologis dan dari pengertian atau term Al-Quran itu sendiri.[38][38] Begitu pula upaya Al-Khuli dalam menafsirkan Al-Quran menempatkan dan memberikan derajat lebih tinggi kepada akal atas sebuah teks.[39][39]dengan memberikan peluang besar terhadap teori-teori sastra dan filsafat bahasa modern yang kemudian difilterisasi dan diaplikasikan dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam hal ini al-Khuli memberikan perhatian besar terhadap literature klasik dan modern dalam merumuskan konstruk metodologinya dalam penafsiran sastra Al-Quran. Sumber penafisran murid-murid al-Khuli semisal Ahmad Khalafullah dan Ai’syah bintu Syati’ menjadi makmum atas guru-gurunya yang kemudian dikembangkan oleh Nashr Hamid Abu Zaid yang menjadikan realitas sebagai sumber penafsiran.
3.3.2.   Metode Penafsiran
Amin al-Khuli merupakan pelopor wacana tafsir sastra Al-Quran pada abad dua puluh.  Keseriusan al-Khuli dalam mengkaji Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari statemen ini adalah banyaknya tulisan penting yang berbicara tentang bahasa sastra dan kritik sastra dalam karnya fi adab al-Mishri dan Fannal-Qawl. Interaksi al-Khuli dengan Al-Quran dalam memahami maknanya, mencoba menganalisis Al-Quran dan mendudukkan sebagai sebuah teks Arab teragung dan terbesar yang pernah ada. Kemudian dianalisis secara tematis. Kajian al-Khuli terhadap Al-Quran mengedepankan dua prinsip metodologis yaitu : studi sekitar Al-Quran (dirasah ma haula Al-Quran) dan studi tentang teks itu sendiri  (dirasah fi Al-Quran nafsih). Kajian pertama diarahkan kepada investigasi latar belakang Al-Quran, dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, beserta kodifikasi dan variasi cara baca : sebagai sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan ‘ Ulumul Quran. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosio-historis Al-Quran termasuk didalamnya situasi intelektual, Kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke tujuh ketika Al-Quran diturunkan.[40][40] Kajian ini secara umum berujung pada : (1) kajian teks, filologis, dan penjelasan tentang sejarah perkembangannya. (2) penjelasan mengenai latar belakang tempat Al-Quran muncul, sumber darimana ia lahir, bagaimana perkembangan makna-maknanya.[41][41] Selanjutnya kajian kedua pada studi tentang teks Al-Quran dari berbagai segi. (1) Ia mengawali dengan investigasi terhadap kosa kata inividua Al-Quran (mufradat, semenjak pertama diwahyukan, perkembangan, serta pemakaiannyadalam Al-Quran, agar kata-kata tersebut dapat dipahami secara totalitas (2) kemudian diikuti dengan perhatian sepenuhnya terhadap kata-kata majemuk (murakkabah), yang tentunya analisis tersebut didasarkan  pada pengetahuan tentang gramatik dan balaghah.[42][42]
Menarik untuk dielaborasi lebih lanjut pemikiran Amin al-Khuli dalam tafsir Al-Quran, al-Khuli mencoba mengaitkan balaghah dan ilmu jiwa sehingga memungkinkan adanya kemukjizatan Al-Quran secara psikologis. Al-Khuli mengakui adanya kebutuhan untuk mengetahui tafsir psikologis terhadap Al-Quran. Tafsir ini didasarkan pada pengetahuan yang komprehensif dan sejauh mungkin terhadap rahasia-rahasia gerak-gerak jiwa manusia sebagaimana yang diketahui kajian ilmu ini. Tafsir Psikologis Al-Quran menurut al-Kuhli adalah tafsir Al-Quran yang didasarkan pada upaya menangkap hal-hal yang dipergunakan oleh Al-Quran, yaitu gejala-gejala jiwa, dan hukum-hukum spritualitas. Sehingga penjelasan Al-Quran dapat diketahui  apakah dalam rangka berargumentasi, memberikan petunjuk, mencoba meyakinkan atau mendebat, membangkitkan atau mengancam.[43][43]
Proyek Metodologi yang dikembangkan al-Khuli memiliki kemiripan dengan proyek hermenutika Schleiermacher, kendati tidak ditemukan dalam karyanya deretan nama filosof dan sastrawan barat, tapi ada dugaan kuat al-Khuli telah berkenalan dengan pemikiran Schleiermacher ketia ia menetap di eropa yaitu di italia dan Jerman selama 4 tahun. Begitu pula al-Khuli menguasai dua bahasa tersebut.[44][44]
Ahmad Khalafullah, sarjana konvensional yang menganggap teks-teks kisah sebagai bagian dari teks ambigu ( mutasyabihat) merupakan elaborasi dari metode adabi dan maudhu’i yang ditawarkan oleh al-Khuli. Bukti dari statemen ini adalah pengakuan Khalaf sendiri dalam pendahuluan, disamping cara kerja yang ditempuh yang sama persis dengan yang dikehendaki al-Khuli. Cara kerja yang dtempuh Khalafullah diantaranya adalah mengumpulkan teks-teks yang berbicara tentang kisah, kemudian mengurutkan sesuai kronologi turunnya (tartib al-nuzul) dan disusun dengan member pemaknaan terhadap teks tersebut melalui jalur adabi (susastera).[45][45]
Selain Khalafullah yang mengadopsi metode al-Khuli. Bintu Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman (w 2000) yang bertindak sebagai murid juga istri setia al-Khuli menerapkan prinsip metodologis al-Khuli dalam memahami Al-Quran dalam tafsirnya “al-tafsir al-bayani li Al-Quran al-Karim” yaitu dengan membiarkan Al-Quran berbicara tentang dirinya, karena, dalam teks Al-Quran, teks salin menjelaskan satu sama lain. Pembebasan terhadap Al-Quran ini bukan berarti memahami teks tanpa menggunakan perangkat, akan tetapi, setelah pertautan antara suatu teks dengan teks lainnya diketahui, maka cara yang kemudian dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks dengan analisis linguistik dan sastra dengan medan-medan semantik yang jelas. Dalam pengantar tafsir Bintu Syati’ setidaknya memberikan 2 elemen  dan langkah teoritis penting dalam metode tafsir yang ditawarkannya. (1) penelitian terhadap makna leksikal kosa kata Al-Quran yang kemudian di jadikan  sebagai sarana untuk mengetahui makna yang dikehendaki dalam konteks pembicaraan ayat. (2) perlibatan semua ayat yang berbicara tentang satu topik tertentu yang sama. Langkah kedua ini merupakan bentuk pemberian “ kesempatan” agar Al-Quran berbicara mengenai dirinya sendiri.[46][46]
Sarjana ketiga yang mengikuti sekaligus menopang metdoe susastra adalah Syukri Ayyad. Ia menulis buku berjudul al-Din wa al-Hisab : Dirasah Qur’aniyyah. Sembari menggunakan metode analisis susastera yang dikembangkan oleh al-Khuli, Ayyad berpendapat bahwa persoalan eskatologis yang ada dalam Al-Quran merupakan symbol keagamaan dalam kemasan susastra yang hendaknya dipahami hidayahnya.prinsip metedologis Ayyad dalam tafsirnya adalah (1) investigasi terhadap makna literal kosa kata Al-Quran dengan perhatian khusus pada asal kata, perkembangan, serta pemakaiannyadalam masyarakat pada saat Al-Quran diturunkan. (2) meneliti gaya tutur Al-Quran melalui stilistik dan mikro struktur dalam kalimat. Sedangkan yang (3) adalah meneliti aspek sosial dan cultural Arab, terutama saat teks diturunkan. Ketiga langkah tersebut dalam penelitian Ayyad, menghasilkan kesiimpulan bahwa eskatologi Al-Quran bisa dipilah menjadi tiga model (1) penghadapan langsung (al-tawjih) (2) ilustratif (al-tashwir) (3) menggunakan situasi dan kondisi yang berlawanan, seperti surga versus neraka.[47][47]
Nashr Hamid Abu Zaid merupakan generasi al-Khuli yang produktif dan bahkan gigih mengembangkan metode kesusasteraan dalam kajian Al-Quran. Abu Zaid mengawali dengan penetapan hubungan atau ralasi antara teks dan interpretasi. Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, teori interpretasi  tidak bisa dipisahkan dari teori teks.dalam diskursus interpretasi klasik, keduanya dipisahkan, mengingat teks diyakini sebagai kepastian religious yang tidak membutuhkan interpretasi atau ta’wil, sementara yang kedua, yakni ta’wil, dianggap sebagai teks dalam pengertian aslinya dengan menolak teori tradisional tentangnya sebagai teks tertutup, sebaliknya, menjadikannya sebagai teks terbuka yang menuntut adanya interpretasi.” Ta’wil merupakan sisi lain dari teks” statemen abu Zaid ini berada pada level epistomologis, seperti diungkapkan Abu Zaid di beberapa kesempatan : “ teks memiliki eksistensi, bebas dari interpretasi dan komentari”. Statemen ini selayaknya dipahami bahwa teks menggiring kepada aktivitas interpretasi untuk menemukan dunianya.[48][48]
Abu zaid banyak berbicara tentang “interpretasi objektif” meski dalam kenyataannya sangat sulit, yang ia sebut dengan ta’wil sebagai pembanding interpretasi ideologis atau yang ia sebut dengan talwin. Diskusi tentang interpretasi obyektif sebagai cita-cita , sejatinya tidak bisa dipisahkan dari dua mazhab besar teori interpretasi, yakni hermeneutik. Yang pertama adalah mazhab obyektif yang diusulkan oleh beberapa sarjana seperti Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Emilio Betti, dan ED. Hirsch. Sedangkan yang kedua adalah mazhab subyektif yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikran Martin Heidegger dan Hans Georg Gadamer.[49][49]pemetaan hermeneutika dapa pula diklasifikasikan sebagai hermenutical theory yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang (author0 dan hermeneutical philosophy yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman. [50][50]Abu Zaid menggabungkan dua model hermeneutika  ini, meski terlihat pengaruh mazhab obyektif lebih besar ketimbang subyektif. Berkaitan dengan takwil sebagai pembacaan kreatif atas teks diharapkan mampu melahirkan pemahaman obyektif, Abu Zaid memisahkan antara “makna” (al-ma’na) dengan “signifikansi (al-Maghza). Pemisahan keduanya tidak pula bisa dipisahkan dari pemikiran Hirsch, yang pernah mengatakan “ bukan makna yang berubah tapi signifikansinya.[51][51]
Dari penjabaran tokoh-tokoh kontemporer yang mencoba mendekati Al-Quran dengan metode sastra dapat disimpulkan bahwa prinsip metodologis lebih bersifat interdispliner, mulai dari tematik, hermeneutik, hingga linguistik dengan pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, historis, semantik dan disiplin keilmuan masing-masing mufassir.[52][52] Teori hermeneutika yang mereka kembangkan adalah hermeneutika teoritis yang berisi cara untuk memahami. Dalam teori hermeneutika ini merupakan kajian penuntun bagi sebuah pemahaman yang akurat dan proporsional. Bagaimanakah pemahaman yang komprehensif itu? Itulah pertanyaan utama dari hermeneutika teoritis. Tentu saja sebagaimana asumsi awal bahwa perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermeneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks seperti  bagaimana makna teks secara morfologis, leksikologis dan sintaksis, perlu pula pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal? Untuk tujuan apa. Dalam kondisi apa dan bagaimana kondisi pengarangya ketika teks tersebut disusun? Dan lain sebagainya.[53][53]
            3.3.3    Validitas Penafsiran
Terkait dengan validitas penafsiran, tafsir teoritis masa kontemporer menganut tiga teori kebenaran yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme. Pertama : teori koherensi. Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dianggap benar apabila ia sesuai dengan proporsi-proporsi sebelumnya dan konsisten menerapkan metodologi yang dibangun oleh setiap penafsir.[54][54] Menelisik prinsip metodologis dan aplikasi metode dalam tataran praksis oleh Amin al-Khuli beserta murid-muridnya, sangat boleh dikatakan bahwa mereka konsisten menerapkan metode sastra atau tafsir sastra dalam mendekati Al-Quran yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam menghadapi kegelisahan-kegilsahan kaum muslim dewasa ini. kedua : teori korespondensi : seperti yang telah dijelaskan defenisinya diatas bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia berkorespondensi, sesuai dan cocok dengan fakta ilmiah di lapangan.[55][55]para penafsir sastra Al-Quran menganut teori ini lantaran mereka sangat mengindahkan ojektivitas penafsiran yang diukur oleh adanya kesesuaian antara hasil penafsiran dengan makna dasar ketika Al-Quran diturunkan dengan menggunakan pendekatan historis dan filologi. Ketiga : teori Pragmatisme : teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dikatakan benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi prkasis bagi problem sosial yang muncul.[56][56] Mengevaluasi tujuan penafsiran Tokoh-tokoh tafsir sastra kontemporer adalah al-bayan (pengantar sastra) sebagai pembaharuan terhadap teori interpretasi para sarjana klasik yang kerap dikacaukan dengan pengkaburan makna dasar teks oleh tafsir afirmatif. Tujuan penafsiran Amin al-Khuli mencoba memurnikan nalar bayani dengan pendekatan teori-teori sastra modern.
3.3.4    Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Karakteristik dasar dari penafsiran sastra kontemporer bersifat kritis. Amin al-Khuli menyatakan bahwa awal pembaharuan  adalah membunuh pemahaman lama ( awwal  al-tajdid qatl  al-qadim fahman), transformatif, solutif dan non ideologis[57][57]. Jika Tujuan dari interpretasi Muhammad ‘‘Abduh adalah semangat mendapat petunjuk dari Al-Quran maka tujuan paling awal dan mendasarbagi proses bagi Amin al-Khuli adalh “ al-Bayan” sebab tujuan inilah yang : darinya muncul berbagai tujuan lainnya dan yang mendasari berbagai tujuan tersebut ( dan di  antaranya adalah tujuan mendapatkan hidayah menurut  Muhammad ‘‘Abduh). tujuan ini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum berupaya mewujudkan tujuan manapun lainnya, apakah itu tujuan lain tersebut bersifat ilmiah atau praktis, keagamaan dan duniawi. 
4. Epilog
Dalam khazanah ilmu tafsir ditemukan dua term yang sangat akrab bagi pengkaji tafsir, yakni : Tafsir dan Ta’wil. Istilah tafsir lebih dikenal sebagai cara untuk mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Sedangkan Ta’wil lebih pada penemuan makna dari teks yang bersifat metaforis. Ta’wil dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu : Pertama : ta’wil atau penafsiran yang melewati batas-batas leksikal dan adanya keterkaitan dengan makna dasar. Penafsiran jenis ini kerap digunakan dalam tafsir retoris dan sastra Al-Quran. Kedua : ta’wil atau penafsiran yang melampaui batas-batas leksikal tanpa ada keterhubungan dari segi bahasa dengan makna dasar. Metode ta’wil jenis ini dapat dijumpai dalam tafsir sufistik.
Metode tafsir dan ta’wil jenis pertama dikategeorikan dalam nalar bayani. Sedangkan metode Ta’wil jenis kedua dikategorikan sebagai metode nalar Irfani. Aplikasi sebuah nalar dalam tahap hegemoni dan mendominasi mengakibatkan fanatisme-reduksionis dan otoritas tertinggi yang menjadi tujuan penafsiran. Pendekatan at-Ta’wil al-‘Ilmi yang merupakan tawaran solutif Amin Abdullah terhadap kegelisahan intelektual dengan menjadikan pendekatan al-Ta’wil al-Ilmi sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara sungguh-sungguh antara paradigma epistemologi Bayani, paradigma epistemologi Burhani dan paradigma epistemologi ‘Irfani dalam satu gerak putar yang saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing paradigma, khususnya jika masing-masing paradigma berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara yang satu dan lainnya. Pesan kemanusian dan keadilan yang melekat dalam al-Qur’an yang sering disebut dengan istilah rahmatan li al-alamin (universal) hanya dapat dipahami dengan baik jika para penafsir kitab suci kontemporer memahami adanya tiga paradigma epistemologi pemikiran keislaman dan mampu mendialogkan secara kritis-dinamis-proporsional baik secara pribadi maupun kelompok sehingga ekslusivitas pemikiran (ideas; thought) dan kelembagaan sosial-keagamaan (institution) dapat dihindari sedapat mungkin dan kerjasama atau cooperation antar berbagai kelompok sosial keagamaan menjadi niscaya tanpa harus mendahulukan prejudice-prejudice kultural, sosial maupun keagamaan. Hanya dengan demikian, barangkali apa yang disebut transformasi sosial dan humanisasi ilmu-ilmu keislaman lewat penafsiran dan pemaknaan pesan-pesan kitab suci yang bersifat emansipatoris dapat teraktualisasikan baik secara teori maupun praksis.[58][58]








[1][1] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.129-130
[2][2] Ibid, hlm.132
[3][3] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir, terj.M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm. 88-89
[4][4] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.133
[5][5] Ignaz Goldziher, Mazhab tafsir, terj.M. Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta : elSAQ press, 2010) hlm.94-95
[6][6] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[7][7] Dr. Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.137
[8][8] Fuad Sazchein, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[9][9] . Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.138-139
[10][10] ibid
[11][11] Ibid. hlm. 143-146
[12][12] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm. 873-874
[13][13] Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’an (Kairo: tp., 1326), hlm. 10
[14][14] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm.874
[15][15] ibid
[16][16] Ibid, hlm. 875
[17][17]J.Sudarminta, Epistomologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[18][18] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm.44
[19][19]Fuat Sazgin, Tarikh al-Turats al-Arabi, (Riyadh : jamiah Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah press, 1991) hlm. 65
[20][20] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[21][21] Drs. H. Ahmad Izzan,Mag, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung : Tafakur, 2011) hlm.127-144
[22][22] Phil. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.180
[23][23] Ibid, hlm.184
[24][24][24][24] Ibid, hlm. 166
[25][25] J.Sudarminta, Epistomologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : kanisius, 2002) hlm. 18-19
[26][26] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 45
[27][27]Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.9
[28][28] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm.130
[29][29] Ibid, hlm.133
[30][30] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.10-11
[31][31] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm. 314
[32][32] J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Quran in Modern Egypt (Leiden : E.J Brill, 1980) hlm. 96
[33][33] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm.127-129
[34][34] Ibid, hlm.129-130
[35][35] J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Quran in Modern Egypt (Leiden : E.J Brill, 1980) hlm.30
[36][36] Muhammad ‘Abduh, dalam al-A’mal al-Kamilah lil imam al-syaikh Muhammad ‘Abduh, tahq. Muhammad Imarah (Cairo : Dar al-Syuruq, 2009) hlm.11
[37][37] Nashr Hamid Abu Zayd, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm127
[38][38] Fahd bin Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumi, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ asyara, (Riyadh : al-Risalah, 1997)hlm.893
[39][39] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini ‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah, 2009) hlm.114
[40][40] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.12
[41][41] Amin al-Khuli, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm71
[42][42] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.14
[43][43] Amin al-Khuli, dalam Metode Tafsir Sastra ( Yogyakarta : Adab press,2004) hlm77-78
[44][44] Ahmad Muhammad Salim, al-Islam al-Aqlani, tajdid al-fikri ad-Dini ‘inda Amin al-Khuli (cairo : maktabah Usrah, 2009) hlm.
[45][45] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm. 32
                    
[46][46] Ibid, hlm.36-37
[47][47] Ibid, hlm. 40-41
[48][48] Ibid, hlm.42-43
[49][49] Ibid, hlm. 45-46
[50][50] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema controversial (Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 7
[51][51] M. Nur Khalis Setiawan, Al-Quran kitab Sastra Terbesar, ( Yogyakarta : elSAQ press, 2005) hlm.46
[52][52] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 84
[53][53] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema controversial (Yogyakarta :ELsaq,2011) hlm. 8
[54][54] Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 83
[55][55] Ibid
[56][56] Ibid
[57][57]Abd. Mustaqim, Epistomologi tafsir Kontemporer ( Yogyakarta : LKiS,2010) hlm. 84
[58][58] Amin Abdullah, prolog dalam Dekonstruksi Pemahaman Teks Kitab Suci Agama ( Yogyakarta : Pustaka Rihlah, 2008) hlm. 1-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar